Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
MENU
About Us  

Aku tak pernah seringan ini. Tubuhku nyaris kosong.

Hanya ada sebotol minum setengah isi, dompet tipis, dan satu map plastik berisi dua lembar kertas—kertas remedial Matematika yang bahkan belum disentuh Aditya sejak dikembalikan Bu Ratih. Isinya merah. Nilai 48 dibulatkan dengan pena merah yang menusuk halaman seperti peringatan.

Tak ada buku catatan, tak ada laptop. Tak ada bekal dari nenek. Tak ada headset.

Seolah Aditya memutuskan hari ini dia hanya butuh satu hal: bertahan.

Dan aku tahu, bahkan itu pun terasa berat baginya.

Hari itu langit mendung. Sama seperti wajah Aditya. Matanya sayu, bajunya kusut. Ia berjalan dengan kepala tertunduk, lewat gang sempit menuju sekolah tanpa bersuara. Tak seperti biasanya yang minimal menyapa satpam atau senyum kecil ke pedagang roti. Hari ini, semuanya dilewati begitu saja. Dingin.

Langkahnya pelan. Bukan karena terlambat, tapi karena tidak tahu harus ke mana.

Di sekolah, Aditya duduk di bangku paling belakang. Ia menolak diajak ngobrol oleh Bayu. Raka yang biasanya cerewet pun hanya bisa menghela napas dari bangku sebelah.

“Lo marah sama kita?” tanya Raka akhirnya, lirih.

Aditya tak menjawab.

Beberapa detik kemudian, ia hanya berkata, “Enggak marah. Cuma… capek pura-pura.”

Itu kalimat paling jujur minggu ini.

Waktu istirahat, Aditya tidak ke kantin. Ia berjalan sendirian ke lapangan belakang, duduk di tribun kosong sambil menatap langit yang mendung pekat. Aku ikut terduduk di belakang punggungnya, berat karena basah.

Dia menarik napas dalam-dalam.

Dari dalam saku jaket, ia mengeluarkan HP. Membuka galeri. Foto-foto kenangan muncul: cuplikan livestream bareng Teman Pagi, thumbnail video-video pertamanya, tangkapan layar komentar positif dari subscriber yang merasa terbantu.

Semua itu... dulu jadi penguat.

Tapi sekarang, matanya hanya menunjukkan satu hal: kehilangan.

Tiba-tiba HP-nya bergetar. Sebuah notifikasi muncul.

Pesan dari Bu Ratih.

“Aditya, kapan kamu bisa ke ruang BK? Ibu tunggu kalau kamu siap. Gak harus hari ini. Tapi Ibu ada.”

Ia menatap pesan itu lama. Lama sekali. Lalu mematikan layar. Tak membalas. Tak tahu harus berkata apa.

Aku bisa merasakan isi dadanya tumpah pelan-pelan seperti air yang tak punya wadah lagi.

Sepulang sekolah, langit akhirnya pecah. Hujan deras.

Kami berdua pulang tanpa payung. Air menetes dari jaket ke kainku. Aku basah kuyup. Tapi bukan itu yang berat—yang berat adalah napas Aditya yang semakin pendek. Langkahnya yang terseret.

Sesampainya di rumah, ia langsung masuk kamar. Nenek sedang tidak di rumah—ke pasar katanya. Rumah sepi. Terlalu sepi.

Ia membuka lemari. Mengambil satu kotak kecil berisi surat-surat lama, foto almarhum ibunya, dan sepucuk surat dari ayahnya yang hanya pernah ia baca sekali.

Surat itu berbunyi:

“Ayah minta maaf, Dit. Ayah gak bisa jadi ayah yang baik. Tapi kamu kuat. Lebih kuat dari Ayah.”

Aditya meremas kertas itu hingga lecek. Melemparnya ke dinding.

Lalu duduk. Memeluk lutut.

Tak menangis. Tapi matanya kosong.

Malam datang cepat. Tapi ia tak menyalakan lampu. Tak makan. Tak bicara. Aku masih tergantung di kursi, meneteskan air dari pinggangku yang masih basah. Di dalam tubuhku, kertas remedial yang tadi ia bawa mulai lecek. Air dan tinta mulai menyatu, seperti kenangan dan amarah yang tak bisa dipisah.

Lalu, aku mendengar suara paling sunyi malam itu: suara yang tidak bersuara. Sunyi yang menyakitkan.

Ia membuka HP. Menulis di Notes:

“Gue udah coba jadi kuat. Udah coba jadi hiburan. Udah coba jujur. Tapi kayaknya gak ada ruang buat orang kayak gue. Gak di dunia nyata, gak di dunia digital.”

“Mungkin semua akan lebih baik tanpa suara gue.”

Aku ingin berteriak. Ingin mengguncangnya. Tapi aku cuma tas.

Aku hanya bisa menggenggam semua yang ia tinggalkan. Catatan, buku, luka, dan diam.

Tapi saat Aditya meletakkan HP-nya, tiba-tiba notifikasi berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Pakdenya—yang jarang sekali mengirim pesan pribadi.

“Adit, Pakde transfer ya buat SPP dan buku. Jangan sungkan kalau ada yang kamu butuh. Kalau kamu gak kuat, bilang.”

Kalimat sederhana. Tapi... cukup.

Cukup untuk membuat Aditya mengangkat wajah. Matanya memerah, tapi akhirnya mengalirkan air yang tertahan.

Ia menangis. Diam-diam. Tapi kali ini, bukan karena menyerah.

Karena untuk pertama kalinya, seseorang di keluarganya—meskipun jauh—mengingat dia masih di sini.

Masih bernapas.

Masih perlu ditanya: “Kamu butuh apa?”

Malam itu, ia kembali ke tempat tidur. Tidak membuka laptop, tidak merekam. Tapi ia menulis ulang di jurnal:

“Gue belum selesai. Gue cuma lagi jatuh. Tapi belum selesai.”

Aku tahu, bab ini bukan akhir.

Ini cuma tikungan paling gelap di perjalanan.

Dan sebagai tas yang selalu bersandar di punggungnya, aku tahu satu hal: Aditya masih bernapas. Itu cukup untuk melangkah lagi nanti.

*** 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
RUANGKASA
41      37     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Intertwined Hearts
872      478     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
Tanda Tangan Takdir
139      121     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
426      331     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
No Longer the Same
289      222     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...
No Life, No Love
893      733     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Je te Vois
491      362     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
362      246     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Monokrom
86      73     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Semesta Berbicara
890      544     10     
Romance
Suci adalah wanita sederhana yang bekerja sebagai office girl di PT RumahWaktu, perusahaan di bidang restorasi gedung tua. Karena suatu kejadian, ia menjauh dari Tougo, calon tunangannya sejak kecil. Pada suatu malam Suci memergoki Tougo berselingkuh dengan Anya di suatu klub malam. Secara kebetulan Fabian, arsitek asal Belanda yang juga bekerja di RumahWaktu, ada di tempat yang sama. Ia bersedia...