Tubuh Aditya makin berat belakangan ini. Bukan karena buku di dalam perutku yang bertambah, tapi karena langkah-langkahnya kehilangan semangat. Ada jeda aneh setiap kali ia melangkah, seolah menimbang: lanjut atau berhenti saja?
Aku menempel di punggungnya sejak pagi, dan sepanjang jalan menuju sekolah, ia tidak membuka mulut. Bahkan earphone yang biasa ia pakai untuk mendengarkan musik atau podcast Teman Pagi—hari ini menggantung mati. Sepi.
Di kelas, Aditya duduk di pojok. Tak seperti biasanya yang suka menyapa duluan, kali ini ia hanya menunduk. Wajahnya pucat, matanya sembab. Dan aku tahu, ini bukan karena begadang ngedit video seperti biasa.
Ini karena semalam, salah satu videonya yang paling jujur dan penuh luka—“Gue Nggak Kuat, Tapi Gue Masih Ada”—diturunkan oleh YouTube. Diberi label: “konten sensitif”. Alasannya? Dilaporkan terlalu banyak oleh penonton.
Padahal, video itu justru paling penting dari semuanya. Bukan soal game, bukan soal tips atau challenge, tapi tentang rasa sakit. Tentang bertahan. Tentang kenapa kita masih di sini walau rasanya ingin menyerah.
Aku masih ingat, bagaimana Aditya merekamnya di malam hujan. Ia duduk di depan kamera dengan hoodie abu-abu dan suara serak. Ia tidak menangis, tapi matanya berkaca-kaca.
Dan sekarang, video itu hilang. Dihapus. Dianggap berbahaya.
“Lo cuma cari simpati.”
“Drama.”
“Gue males nonton orang lemah.”
Komentar-komentar itu menumpuk seperti sampah dalam notifikasi. Sebagian dibaca Aditya dengan mata berkaca-kaca. Sebagian lainnya membuatnya menggigit bibir sendiri hingga hampir berdarah.
Semalam, ia hapus tiga video lama. Lalu membuka folder berisi draft video baru, dan... menghapus semuanya.
Aku bisa rasakan gerakan tubuhnya. Tangannya gemetar. Bukan karena marah, tapi karena kecewa yang membatu. Sesak yang nggak bisa diurai.
Di sekolah, beberapa teman seperti Raka dan Bayu sempat mencoba ngajak ngobrol. Tapi Aditya hanya mengangguk atau mengangkat bahu. Tak ada cerita. Tak ada senyum.
“Lo kenapa, Dit?” Raka bertanya waktu istirahat.
“Capek aja,” jawab Aditya singkat.
“Capek gimana?” Bayu ikut duduk, membuka bekal roti dan langsung menawarkan.
Aditya menggeleng. “Nggak pengin makan.”
Raka menatapnya lama. “Lo ngilang dari grup Teman Pagi juga. Kita udah dua kali rapat tanpa lu.”
Aditya mendesah pelan. “Maaf... gue cuma butuh waktu.”
Tak ada yang memaksa. Tapi ketegangan menggantung. Raka menoleh ke Bayu, seolah bertanya diam-diam, “Lo juga ngerasain kan?” Tapi keduanya memilih diam.
Sepulang sekolah, di dalam kamar yang biasa hangat dengan suara editing dan deru kipas laptop, sekarang hanya ada sunyi. Aku tergantung di kursi, masih penuh dengan kertas-kertas catatan. Beberapa sticky note mulai pudar:
"Jangan lupa minum air."
"Upload hari Rabu!"
"Video ini bisa bantu orang."
Tapi Aditya hanya menatap layar kosong.
Ia membuka channel-nya. Subscriber-nya masih ada, tapi aktivitasnya menurun drastis. Video terakhir diserbu dislike dan komentar pedas. Ia menghela napas panjang, lalu mulai menulis di komunitas channel-nya:
“Maaf kalau belakangan ini kontennya bikin nggak nyaman. Gue cuma pengin jujur. Tapi mungkin itu nggak semua orang bisa terima. Gue bakal jeda dulu. Makasih buat yang udah dengerin.”
Tak lama, notifikasi muncul.
Satu komentar dari akun anonim:
“Akhirnya sadar juga lo cuma cari perhatian.”
Aditya menutup laptop dengan kasar.
Malamnya, nenek masuk dengan sepiring pisang goreng hangat. Ia melihat Aditya hanya duduk memeluk lutut di ranjang.
“Kamu belum makan?”
Aditya menggeleng pelan. “Lagi nggak lapar, Nek.”
Nenek duduk di tepi ranjang, mengelus bahunya. “Nenek lihat akhir-akhir ini kamu murung. Ada yang mau diceritain?”
Butuh waktu lama sebelum Aditya bicara. Ia menghindari tatapan nenek.
“Aku cuma ngerasa... capek, Nek. Rasanya kayak... semua yang aku lakuin sia-sia.”
Nenek terdiam, lalu berkata lembut, “Kalau semua yang kamu lakuin bisa bikin satu orang merasa nggak sendirian, itu nggak sia-sia.”
Aditya menggigit bibir. “Tapi kalau orang-orang malah anggap aku lemah? Kalau semuanya jadi senjata balik?”
Nenek menghela napas. “Dit... bukan semua orang bisa ngerti. Tapi bukan berarti kamu salah.”
Di dalam tasku malam itu, ada satu buku tulis kecil yang tak biasanya dibawa. Buku jurnal Aditya. Ia membuka halaman terakhir dan menulis:
“Gue ngerasa kayak dunia online bisa lebih jahat daripada dunia nyata. Gue udah coba jujur, tapi malah kena. Gue pengin berhenti. Tapi di sisi lain, gue juga tahu... gue butuh tempat buat ngomong. Jadi, kalau bukan di YouTube, mungkin... gue harus nemu tempat lain.”
Kertas itu terasa lembab oleh ujung tangan yang dingin. Dan aku, si ransel, hanya bisa menyimpan tulisan itu di antara barang-barang lain. Diam-diam berharap Aditya nggak menyerah.
Keesokan harinya, ia berangkat sekolah dengan langkah berat. Aku kembali digendong, tapi tidak seperti biasanya. Hari ini, dia berjalan tanpa semangat. Wajahnya tertutup hoodie. Di tangannya, tak ada HP. Di telinganya, tak ada suara.
Tapi ketika ia lewat kantin, seorang adik kelas menyapanya pelan.
“Mas... video yang kemarin itu... bagus banget. Aku nonton diam-diam malam-malam. Makasih, ya.”
Aditya berhenti. Menoleh. Ia hanya mengangguk kecil, tapi aku tahu, kata itu menembus dinding beku di dadanya. Mungkin belum cukup untuk menghangatkan seluruh hari, tapi cukup untuk membuat langkahnya sedikit lebih ringan.
Dan aku, si ransel hitam yang selalu di punggungnya, tahu betul:
Aditya belum kalah.
Hanya sedang diam.
Sedang menunggu luka-lukanya punya suara lagi.
***