Pagi itu, aku kembali terasa berat.
Bukan karena buku atau botol minum—tapi karena isinya berbeda. Ada satu binder berisi catatan yang baru, kertas tugas yang tak lagi lecek, dan... sebuah pena hitam yang dulu sempat hilang di kolong meja. Pena yang biasanya Aditya pakai waktu merancang ide-ide videonya.
Tapi pagi ini, tak ada kamera. Tak ada rekaman. Tak ada YouTube.
Dan anehnya… itu terasa benar.
Dia berjalan ke sekolah tanpa tergesa-gesa. Langkahnya masih pelan, tapi kali ini bukan karena bingung atau putus arah. Ada jeda. Ada kesadaran bahwa dia tidak perlu buru-buru jadi "baik-baik saja".
Di halte dekat sekolah, ia berhenti sebentar. Melihat bayangannya sendiri di kaca jendela angkot yang parkir. Hoodie lusuh, rambut agak berantakan, mata masih sembap, tapi ada sesuatu di wajah itu yang berbeda: keberanian untuk tidak menyembunyikan luka.
Di sekolah, hari itu adalah jadwal konseling mingguan untuk siswa yang pernah dicatat mengalami "penurunan motivasi belajar". Nama Aditya termasuk.
Aku digendongnya menuju ruang BK. Di lorong menuju sana, ia berpapasan dengan beberapa teman: Ayu yang meliriknya khawatir tapi tak berani menyapa; Raka yang hanya angguk pelan; dan Bayu—yang tampaknya terus merasa bersalah.
Tapi Aditya tidak menoleh.
Bukan karena marah. Tapi karena kali ini, dia ingin menatap dirinya sendiri dulu.
Ruang BK itu hening, hangat, dan... jujur, sedikit berdebu. Tapi ada satu hal yang tidak berubah: senyum Bu Ratih yang seperti udara pagi—selalu ringan tapi dalam.
"Silakan duduk, Dit," katanya sambil mempersilakan Aditya ke kursi di depannya. Ia meletakkanku di lantai, di samping kakinya. Aku bisa melihat sepatu Aditya yang masih basah oleh embun, dan jari-jarinya yang menggenggam lutut.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Bu,” katanya lirih.
“Nggak perlu mulai dari mana-mana. Cukup duduk di sini dan jadi diri sendiri,” jawab Bu Ratih pelan.
Mereka berbicara lama.
Tentang ibunya.
Tentang ayahnya yang pergi.
Tentang nenek yang kadang terlalu diam karena takut ikut campur, dan tentang pakde yang baik tapi jauh secara emosional.
Tentang betapa beratnya menjadi anak laki-laki yang harus kelihatan kuat meski hatinya rontok.
Tentang perasaan menjadi “hiburan” di internet, tapi merasa tak berarti di dunia nyata.
“Saya takut kalau orang tahu saya sebenarnya nggak seceria yang mereka lihat,” gumam Aditya.
“Kadang kita harus berhenti jadi lucu dulu untuk bisa jadi utuh,” kata Bu Ratih sambil menyodorkan sehelai tisu.
Aku tak bisa melihat wajah Aditya saat itu. Tapi dari caranya menarik napas, aku tahu... ia baru saja meletakkan beban yang selama ini tak muat di pundaknya—dan aku pun bisa sedikit bernapas.
Sepulang sekolah, Aditya tidak langsung pulang. Ia mampir ke warnet kecil di pojok jalan. Bukan untuk main. Tapi untuk membuka satu folder di Google Drive-nya yang lama: folder naskah video yang tak pernah ia unggah.
Ia membaca ulang semua naskah itu. Beberapa konyol. Beberapa jujur. Beberapa terlalu emosional.
Lalu, ia membuka laptop, dan mulai mengetik naskah baru:
“Judul: Kalau Kamu Capek, Gak Harus Terus Tertawa.”
“Isi: Cerita tentang jadi manusia. Tentang kehilangan, tentang nggak bisa tidur, tentang rasa takut gak cukup. Tapi juga tentang satu hal penting: kamu masih di sini.”
Malam harinya, ia merekam suara tanpa kamera.
Tanpa editan.
Hanya suaranya, satu mikrofon, dan aku di sebelahnya.
“Halo, Teman Pagi. Ini bukan video lucu. Ini juga bukan walkthrough game. Ini cuma... suara gue. Malam ini.”
“Gue pengin bilang... kalau lo ngerasa sendiri, lo gak sendirian.”
“Kalau lo ngerasa capek, lo gak salah.”
“Gue juga ngerasain itu. Dan gue lagi belajar buat jujur. Pelan-pelan aja, ya?”
Esoknya, ia tak unggah video itu ke channel utamanya. Ia bikin channel baru. Namanya Belakang Panggung. Tanpa nama. Tanpa wajah. Hanya suara. Hanya kejujuran.
Ia tahu, mungkin gak banyak yang nonton. Tapi itu bukan soal viewer.
Itu tentang ruang.
Ruang untuk merasa.
Ruang untuk bernapas.
Ruang yang selama ini ia simpan sendiri—sekarang ia buka, meski perlahan.
Aku masih di punggungnya.
Masih sama seperti dulu. Tapi kali ini, aku membawa sesuatu yang lebih dari sekadar buku dan pena: aku membawa keberanian.
Dan aku siap menemaninya—ke mana pun kaki Aditya melangkah, seberat apa pun cuaca dunia.
Karena untuk pertama kalinya, langkah itu tidak lagi lari dari kenyataan.
Tapi berjalan menghadapinya.
***