Pagi ini, Aditya berjalan ke sekolah dengan langkah biasa. Tapi dari cara dia menggenggam ponsel di tangan kiri dan sedikit menunduk, aku tahu: pikirannya tidak sepenuhnya hadir. Sejak semalam, ia membuka-buka kolom komentar di channel YouTube-nya. Sebagian besar positif. Tapi beberapa komentar menyengat, seperti duri kecil yang tidak langsung terasa sakit, tapi pelan-pelan menancap.
“Ah, sok bijak. Padahal subscribernya juga baru segitu.”
“Kayaknya pura-pura depresi biar relate.”
“Gue suka kontennya dulu yang tentang game. Sekarang isinya malah curhat.”
Mereka tak tahu seperti apa beratnya malam yang baru saja dilaluinya. Mereka tak tahu seberapa besar keberanian dibutuhkan untuk membuka diri.
Tapi komentar digital itu seperti suara keras di kepala Aditya. Lebih keras daripada suara guru atau bahkan Pakde-nya.
Di kelas, pelajaran Sejarah berlangsung lambat. Bu Ratih, yang menggantikan guru yang izin, meminta semua siswa menulis refleksi tentang perjuangan para tokoh kemerdekaan.
“Bukan hanya siapa yang berjuang, tapi juga kenapa mereka merasa perlu berjuang,” katanya.
Aditya mencatat pelan. Tapi aku bisa melihat isi catatannya berbeda dari teman-temannya.
“Gue juga lagi berjuang. Bukan untuk kemerdekaan negara, tapi buat ngebebasin diri sendiri dari ekspektasi orang-orang.”
Setelah pelajaran, Bayu menyodorkan layar ponselnya ke Aditya.
“Hei, lo masuk FYP TikTok! Cuplikan podcast lo dipotong orang. Lihat, likes-nya udah belasan ribu!”
Aditya memandang layar itu. Cuplikan 15 detik dari rekaman podcast-nya viral. Kalimat yang dipotong tepat di bagian “kalau nilai gue jelek, apa gue masih pantas diperjuangkan?”
Komentarnya ribuan. Tapi justru itu yang membuat ekspresi wajah Aditya memudar. Ia tak tersenyum. Bahkan menunduk semakin dalam.
“Ada yang bilang lo lebay, Dit,” ujar Bayu tanpa sadar. “Tapi banyak juga yang relate, kok.”
Aditya tidak menjawab. Ia hanya menatap meja. Aku bisa merasakan tekanan dari tubuhnya. Bahunya menegang, kakinya mengetuk lantai tak sabar, seolah ingin kabur.
Jam istirahat, kami tidak ke kantin. Aditya menarikku ke lorong paling ujung sekolah, tempat yang jarang dilewati siswa lain. Ia duduk di lantai, punggung bersandar ke dinding, lalu membuka laptop.
Dua jendela terbuka. Satu memperlihatkan komentar penuh simpati dan kebencian di YouTube. Satu lagi adalah naskah podcast berikutnya yang baru setengah halaman.
Ia menatap keduanya bergantian.
“Gue ini siapa, ya?” gumamnya.
Ia membukaku, mengambil jurnal kecil yang mulai lecek di tepinya.
“Gue ngerasa kayak punya dua versi diri. Satu yang diem dan nggak bisa ngomong di rumah. Satu lagi yang lantang di internet. Tapi dua-duanya ngerasa… palsu.”
Sepulang sekolah, ia berhenti di studio kecil tempat mereka biasa rekaman podcast bersama Teman Pagi. Tapi hari itu, hanya Aditya yang datang lebih dulu. Ia menyalakan mic. Duduk di depan laptop. Tapi tak segera bicara.
Setelah hening cukup lama, akhirnya ia mulai merekam.
“Gue pengin cerita sesuatu yang nggak pernah gue ceritain.”
Suara napas terdengar jelas di mic.
“Gue suka banget bikin konten. Bukan karena gue pengin terkenal, tapi karena itu satu-satunya tempat di mana gue bisa ngomong tanpa harus takut dilihatin aneh. Tapi makin ke sini, makin banyak yang bilang gue ‘berubah.’ Ada yang kecewa. Ada yang bilang gue bukan gamer lagi, tapi malah jadi motivator murahan.”
Ia berhenti sebentar.
“Gue ngerti. Dulu channel ini isinya lucu-lucuan. Sekarang lebih banyak mikir. Tapi... ya karena gue juga berubah. Gue bukan cuma player Roblox. Gue juga manusia yang kadang ngerasa capek. Kadang bingung. Kadang takut gagal.”
Suara Aditya bergetar. Tapi kali ini, bukan karena takut.
“Tapi yang bikin gue takut bukan omongan orang. Tapi ketika gue mulai percaya kalau diri gue yang sebenarnya itu… nggak cukup.”
Malam itu, ia mengunggah rekaman itu dengan judul:
Episode 3: Ketika Diri Sendiri Terasa Asing
Komentar pun datang. Seperti biasa, ada yang memeluk, ada yang mencibir. Tapi malam itu, Aditya tidak membacanya satu per satu. Ia menutup laptop, menyimpan jurnal ke dalam diriku, dan berjalan ke jendela kamar.
Lampu jalan menyala lembut. Ada sepasang anak kecil bersepeda, tertawa tanpa beban.
“Besok,” katanya pelan, “gue pengin bikin video tentang hal-hal yang bikin gue masih percaya sama diri sendiri.”
Ia mencatat ide itu di buku kecilnya: “Hal-hal kecil yang bikin gue tetap gue.”
Dan aku, si ransel hitam, masih di sini. Menjaga potongan-potongan diri Aditya yang sedang berjuang menata dua dunia. Dunia nyata yang menuntut, dan dunia maya yang kadang menipu. Tapi di antara keduanya, aku tahu—ia sedang mencari versi dirinya yang paling jujur.
Yang tidak perlu disukai semua orang.
Cukup dimengerti oleh dirinya sendiri.
***