Hari ini, langit biru cerah. Burung-burung bersahut-sahutan di taman kecil dekat sekolah. Tapi suasana hati Aditya—tidak cerah. Punggungnya terasa lebih tegang dari biasanya. Aku menempel erat di punggungnya, mendengar deru napas yang lebih cepat dari biasa.
Semalam, suara di ruang tengah rumahnya terdengar cukup nyaring.
“Aditya itu terlalu banyak buang waktu! YouTube, komunitas ini-itu… kapan belajarnya? Ujian sudah dekat, kamu pikir nanti SMA bisa santai begitu?”
Itu suara Pakde-nya, kakak ayah Aditya, yang akhir-akhir ini sering mampir. Terlalu sering, sampai rasanya seperti tinggal di rumah juga.
Nenek tidak menjawab keras. Tapi suaranya tetap lembut dan tegas, “Adit sudah berusaha, No. Mungkin caranya beda, tapi dia tetap belajar.”
Tapi Aditya diam di kamarnya malam itu. Dan aku bisa merasakan berat beban kata-kata itu saat ia memasukkanku ke gantungan di dinding.
Pagi ini, ulangan Matematika berlangsung di kelas. Aditya duduk dengan wajah yang agak pucat. Tangannya menggenggam pensil, tapi matanya berkedip lambat, menatap soal dengan kepala yang penuh suara-suara lain.
Aku bisa membaca sedikit isi kepalanya.
“Kalau nilai gue jelek lagi, Pakde pasti tambah ngomel.”
“Kalau gagal, semua orang bakal bilang komunitas itu cuma ganggu.”
Suasana kelas senyap. Hanya suara gesekan pensil di kertas dan desahan napas dari siswa lain. Bayu di sebelah kiri sesekali melirik jam tangan. Intan tampak tenang, tapi sesekali mengerutkan alis.
Doni dan temannya di belakang tertawa kecil, menyembunyikan contekan.
Aditya menghela napas. Ia mencoba menjawab soal demi soal, tapi aku tahu—hatinya tidak sedang di sini. Ia sedang berada di ruang tengah rumahnya semalam, mengulang percakapan yang membuatnya ragu pada pilihannya sendiri.
Sepulang sekolah, Aditya menolak ajakan Bayu dan Intan untuk mampir ke warung langganan mereka. “Besok aja, ya,” katanya.
Kami pulang lebih cepat hari itu. Di jalan, aku bisa merasakan langkahnya berat, tapi juga tergesa. Seperti ingin cepat tiba, tapi takut akan apa yang menunggu.
Di rumah, ia langsung masuk kamar. Tak lama, suara pintu diketuk.
“Aditya, ayo ke ruang tengah dulu,” suara Pakde.
Aditya ragu. Tapi akhirnya ia bangkit, meletakkanku di lantai dekat kasur. Aku tidak bisa ikut ke ruang tengah. Tapi dari balik celah pintu, aku bisa mendengar percakapan itu.
“Kamu dapat nilai Matematika 68. Itu pun karena guru kelas baik,” suara Pakde terdengar tajam. “Kamu mikir PTN itu bakal nerima anak dengan nilai segini?”
Hening.
“Kamu harusnya fokus. Nggak usah banyak kegiatan yang nggak penting. Mau jadi tukang curhat? Itu bukan kerjaan yang bisa bawa kamu ke masa depan!”
Nenek akhirnya bicara, “No, Aditya itu sudah belajar banyak, bukan cuma dari buku. Dia tahu cara berkomunikasi, dia belajar empati. Itu bekal juga.”
Tapi Pakde tidak berhenti. “Empati nggak akan bikin dia lulus SNBP atau SNBT. Realistis, Bu. Sekarang ini dunia bukan soal niat baik doang.”
Langkah kaki mendekat ke kamar. Tak lama, Aditya masuk dan langsung menutup pintu pelan. Ia tidak menangis. Tapi matanya kosong.
Ia membuka laptop. Tidak untuk edit video. Tidak juga untuk nulis jurnal.
Ia hanya membuka dokumen kosong… dan menatapnya lama.
Malam hari, ia keluar sebentar. Kami kembali ke taman kecil di dekat rumah. Tempat favoritnya sejak kecil. Duduk di bangku yang sama, di bawah lampu taman yang kuning temaram.
Aku berada di pangkuannya. Ia membuka salah satu notes dari Teman Pagi—yang ia simpan dalam saku kecilku:
“Nggak semua luka harus kelihatan biar bisa dimengerti.”
Ia membaca ulang note itu lama, lalu bergumam pelan, “Kalau mereka semua salah, kenapa sakitnya tetap segini?”
Udara malam dingin. Tapi ia tetap di sana, menatap langit. Lama. Seolah berharap ada jawaban yang jatuh dari bintang.
Setelah cukup lama, ia membuka aplikasi perekam suara di ponsel.
“Podcast episode dua,” katanya lirih. “Judulnya: Kalau Nilai Gue Nggak Bagus, Apa Gue Tetap Pantas Diperjuangkan?”
Lalu ia diam sejenak, menelan ludah.
“Kadang, nilai itu rasanya kayak tiket buat dianggap layak. Tapi gue nanya lagi ke diri gue sendiri—kalau nilai gue nggak bagus, apa itu artinya gue gagal jadi manusia?”
Suara malam merekam semuanya. Merekam suara seorang remaja yang sedang diapit antara harapan keluarga dan keinginan untuk memahami diri sendiri. Antara angka di kertas dan arti dari perasaan yang tak bisa dihitung.
Sebelum tidur, ia menulis di jurnal:
“Gue tahu mereka sayang sama gue. Tapi kenapa rasanya kayak lagi dilawan, bukan didukung?”
Jurnal itu kembali masuk ke dalam tasku. Tapi malam ini, aku bisa merasakan bahwa tulisan itu adalah bentuk pertahanan. Bukan solusi.
Ia sedang bingung. Tapi tidak menyerah. Dan selama ia terus berjalan, aku akan tetap di punggungnya—menggendong cerita yang tidak selalu punya jawaban hari ini, tapi pantas untuk terus diperjuangkan.
***