Hari itu langit mendung, tapi tidak hujan. Aditya melangkah ke sekolah dengan langkah biasa—tidak tergesa, tapi juga tak terlalu santai. Aku digendong seperti biasa di punggungnya, tali bagian kananku sedikit melonggar karena pengaitnya mulai aus. Tapi hari ini, aku merasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena isinya, tapi karena sesuatu di dalam Aditya yang terasa... mengendap.
Pagi itu, ruang kelas sudah ramai saat kami tiba. Suara tawa, kursi bergeser, dan bunyi sepatu beradu di lantai. Tapi ada yang aneh. Beberapa kepala langsung menoleh ke arah kami, lalu saling berbisik. Bukan seperti biasanya. Bukan yang hangat dan bersahabat.
“Eh, itu dia,” suara seseorang lirih, tapi cukup dekat.
Aku bisa merasakan punggung Aditya menegang sedikit. Tapi ia tetap berjalan ke bangkunya, menyapa Intan dan Bayu dengan anggukan kecil. Mereka sedang membuka catatan untuk ulangan Matematika.
“Lu ngerasa nggak, suasananya kayak... berubah?” bisik Bayu pelan ke Aditya.
Aditya hanya mengangguk, lalu menatap ke arah pojok ruangan. Di sana, Doni dan dua temannya tertawa kecil sambil menunjuk ke arah ponsel. Layar ponsel itu sempat menghadap ke arah kami—sekilas, aku melihat thumbnail YouTube Aditya di sana, video terakhirnya yang berjudul "Ketika Kita Nggak Tahu Mau Jadi Apa".
“Teman Pagi apaan sih? Club mellow?” bisik salah satu dari mereka—cukup keras untuk didengar, cukup lirih untuk pura-pura tidak sengaja.
Dada Aditya naik-turun. Ia tidak menanggapi. Tapi aku tahu, ada satu bagian dari dirinya yang ingin menjawab, ingin membela. Namun seperti biasa, ia memilih diam. Memilih mencatat rasa itu dalam diamnya.
Saat istirahat, mereka duduk di bangku panjang bawah pohon ketapang. Bayu membuka bekalnya: roti sobek isi srikaya, yang ia bagi dua dengan Intan. Tapi tidak ada yang makan dengan benar-benar lahap. Pembicaraan pagi itu menggantung seperti awan tebal.
“Mereka ngerasa kita cari perhatian,” ucap Intan pelan. “Ada yang bilang kegiatan kita cuma buat konten, bukan karena peduli beneran.”
“Kayak... ngetrend doang,” lanjut Bayu.
Aku mendengar semuanya dari balik meja taman. Isinya makin berat hari ini—selain buku dan laptop, ada stiker-stiker buatan tangan yang mereka rencanakan untuk dibagikan saat pertemuan Teman Pagi minggu depan. Stiker bertuliskan:
“Lo cukup, bahkan di hari terburukmu.”
“Nggak semua luka harus disembuhkan hari ini.”
“Kalau belum bisa ngomong, nggak apa-apa. Kami tungguin.”
Aditya meraba-raba tepi salah satu stiker, lalu berkata, “Gue nggak nyangka... kita dianggap lebay.”
“Padahal kita cuma pengin jadi ruang buat orang yang nggak punya tempat,” gumam Intan.
Bayu menunduk. “Mungkin... kita perlu pikirin ulang cara kita nampilin Teman Pagi. Jangan sampai maksud baik kita malah bikin orang risih.”
Aditya terdiam cukup lama. Jemarinya menggenggam taliku. Aku bisa merasakan getaran dari telapak tangannya. Lalu perlahan, ia berkata, “Atau mungkin... kita perlu siap kalau niat baik nggak selalu dipahami. Tapi bukan berarti kita berhenti.”
Kalimat itu tidak diucapkan dengan marah. Tapi dengan keyakinan yang perlahan-lahan tumbuh, meski sempat goyah.
Sepulang sekolah, Aditya memilih duduk di bangku halte lebih lama dari biasanya. Ia membuka ponselnya, membaca komentar di videonya.
Ada yang menyemangati. Tapi juga ada komentar baru:
“Anak ini sok bijak. Baru juga remahan yutub.”
“Wkwkwk konten mellow demi views.”
Aku bisa merasakan dadanya kembali sesak. Ia tidak membalas komentar itu. Tapi wajahnya sedikit muram. Matanya menatap ke kejauhan. Aku tahu, ada yang sedang ia pertanyakan lagi tentang dirinya. Tentang apa yang sedang ia bangun.
Saat tiba di rumah, ia langsung masuk ke kamar dan menyalakan laptop. Tapi bukannya membuka folder edit video, ia membuka dokumen baru dan mulai mengetik. Kata demi kata muncul, seperti pengakuan rahasia yang akhirnya dilepaskan:
“Gue capek dibilang lebay. Padahal gue nulis karena itu satu-satunya cara biar kepala gue nggak meledak. Gue bikin video karena gue tahu rasanya jadi orang yang nyari suara di tengah sunyi. Tapi sekarang, gue takut. Takut jadi alasan orang ngetawain perjuangan orang lain.”
Layar laptop tetap menyala. Tapi Aditya berhenti mengetik. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap langit-langit kamar.
Aku diam di pojok ruangan, menyaksikannya dari atas meja. Tas yang tak bisa bicara, tapi mengerti. Karena aku tahu, semakin ia mencoba jujur pada diri sendiri, semakin besar juga kemungkinan disalahpahami.
Dan itu menyakitkan.
Malamnya, ia membuka grup Teman Pagi di ponselnya. Beberapa anak cerita tentang hari buruk mereka. Tentang guru yang marah-marah. Tentang teman sebangku yang mengejek. Tapi semua saling menanggapi dengan hangat. Tak satu pun merasa lebih tahu. Tak satu pun menertawakan.
Dan di situlah Aditya sadar: mungkin memang dunia luar belum siap mendengar semua kisah. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti mendengar satu sama lain.
Sebelum tidur, ia menulis di jurnalnya:
“Hari ini gue ngerasa sakit hati. Tapi itu juga bukti kalau gue masih peduli.”
Ia menyelipkan jurnal itu ke dalamku. Pelan, seperti biasa. Tapi kali ini, aku merasa kertas-kertas itu lebih berat dari sebelumnya. Karena isinya bukan hanya tulisan. Tapi luka. Dan keberanian untuk terus memeluk luka itu tanpa membenci diri sendiri.
Di luar kamar, hujan mulai turun. Pelan. Seolah tahu, ada hati yang butuh diredakan.
Aku hanya sebuah tas. Tapi malam ini, aku menggendong beban yang tak kasat mata. Dan aku akan terus berada di punggungnya, selama ia masih berani melangkah.
***