Hari-hari berlalu seperti kerikil kecil yang dilemparkan ke danau—membuat riak, lalu menghilang. Tapi aku, tas hitam ini, tetap ada di punggung Aditya. Menyaksikan semuanya.
Hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Ia memasukkan laptop, bukan hanya buku pelajaran. Selembar kertas bergambar sketsa logo channel YouTube-nya terselip di antara folder. Tangannya sedikit gemetar.
"Gue ikut lomba. Kalau menang, bisa dapat pelatihan langsung sama YouTuber terkenal. Kalau kalah... ya, biasa aja. Nggak rugi juga."
Tapi aku tahu, dia berusaha bersikap seolah ini bukan hal besar. Padahal, dalam diamnya, ia bertaruh pada hal yang tak pernah ia sebut: mimpinya sendiri.
Di sekolah, ruang aula tengah diatur untuk lomba presentasi digital antar pelajar. Bukan cuma dari sekolah kami, tapi juga dari beberapa sekolah lain di kota ini. Aditya dan Ayu mendaftar sebagai tim.
"Kita urutan keempat," ujar Ayu sambil melihat daftar.
"Lo siap?" tanya Aditya.
Ayu mengangguk. "Lo?"
"Enggak," jawab Aditya jujur. "Tapi ya udah, tinggal maju aja."
Saat tim-tim lain tampil, Aditya duduk dengan kaki gelisah. Tangannya menggenggam tali pundakku, erat. Ayu menyentuh bahunya.
"Lo nggak sendirian. Kalau lo gugup, liat gue aja."
Ketika giliran mereka tiba, Aditya dan Ayu naik ke atas panggung. Proyektor menyorot layar besar. Slide pertama: "Bermain Sambil Belajar: Mengubah Game Jadi Cerita."
Aditya memulai, suaranya pelan tapi jelas. Ia berbicara tentang bagaimana game Roblox bisa dipakai sebagai alat bercerita visual. Tentang bagaimana ia membuat narasi dari peta buatan sendiri. Ayu menambahkan penjelasan teknis, seperti bagaimana mereka menyunting video dan menulis naskah.
Penonton diam. Tapi bukan karena bosan. Melainkan karena penasaran.
Satu detik yang terasa seperti satu tahun.
Lalu, tepuk tangan pertama terdengar. Diikuti lainnya.
Aku tahu, dada Aditya saat itu penuh. Bukan sombong, tapi lega. Ia telah menyeberangi sesuatu yang lama ia takuti: panggung. Sorot mata. Kemungkinan ditolak.
Tapi tidak semua hari cerah.
Dua hari setelah lomba, saat pengumuman pemenang dipasang di papan pengumuman, Aditya dan Ayu berdiri lama di depan kertas itu.
Nama mereka tak ada di daftar tiga besar.
"Serius?" bisik Ayu. "Padahal... orang-orang kelihatan suka."
Aditya hanya diam.
"Gue salah ngomong ya waktu presentasi? Atau transisinya terlalu cepat?"
"Nggak, Yu. Presentasinya bagus kok. Mungkin emang bukan waktu kita."
Tapi aku bisa merasakan berat punggung Aditya hari itu. Berat yang tak berasal dari buku, tapi dari kecewa yang diam.
Di rumah, ia duduk diam di depan laptop. Membuka video rekaman presentasi mereka. Memutar ulang. Menghentikan di menit-menit tertentu.
Lalu matanya berhenti pada satu bagian. Saat ia sendiri berbicara. Wajahnya gugup. Tangannya sesekali menyentuh kerah. Tapi ada sesuatu di sana—ketulusan.
Dan Aditya tiba-tiba berkata, lirih, "Kalau bukan mereka yang percaya, ya gue harus percaya duluan."
Lalu ia membuka dokumen baru dan mulai menulis naskah untuk video berikutnya.
Beberapa hari kemudian, Ayu mengajaknya ke rooftop sekolah. Tempat yang biasanya sepi. Hanya mereka berdua.
"Lo sedih ya, Dit? Soal lomba itu."
"Sedikit. Tapi lebih ke... kosong. Kayak nunggu sesuatu yang nggak datang."
Ayu duduk di sebelahnya. "Gue juga. Tapi gue juga mikir, justru karena gagal itu kita tahu rasanya. Dan besok kalau berhasil, kita lebih paham gimana caranya bersyukur."
Aditya mengangguk pelan. Lalu bertanya, "Lo pengin jadi apa, Yu?"
Pertanyaan itu seperti kaca yang dilempar ke tengah keheningan.
Ayu terdiam. Lama.
"Gue pengin bantu orang. Entah jadi guru, entah kerja sosial. Tapi kadang gue takut, Dit. Takut apa yang gue bisa nggak cukup."
"Sama," jawab Aditya. "Gue pengin orang tahu gue ada. Tapi gue juga takut ketahuan siapa gue sebenarnya."
Rooftop itu menjadi tempat pengakuan-pengakuan kecil. Dan aku, tas usang ini, menjadi saksi diam atas dua remaja yang sedang mengukur jarak antara impian dan kenyataan.
Malam itu, di kamar, Aditya menempel gambar kecil di tembok. Gambar itu adalah desain logo channel-nya, disalin tangan dengan pensil warna.
Di bawahnya ia menulis:
Kalau nggak ada yang percaya, gue tetap jalan. Karena mimpi itu bukan milik orang yang ditonton. Tapi milik orang yang terus nyoba.
Aku tahu, ia masih belum tahu akan jadi apa. Tapi ia sudah memutuskan satu hal: ia akan terus bergerak.
Dan itu cukup, untuk hari ini.
***