Pagi itu, matahari mengintip malu-malu dari balik tirai jendela. Aditya bersiap lebih awal dari biasanya. Ia memasukkan buku matematika, botol minum, dan satu map tipis ke dalam tubuhku. Tak lupa ia juga memasukkan USB kecil yang menyimpan draft video terbarunya—video yang dibuat bersama Reya.
Aku tahu betul perasaan Aditya pagi ini: semacam gugup yang nyaris mirip harapan.
"Lo yakin mau kasih lihat ini ke Pak Andra?" bisik Aditya pada dirinya sendiri sambil menatap USB itu.
Pak Andra adalah guru TIK di sekolah kami. Ia dikenal sebagai guru yang paling suportif terhadap minat digital siswa—terutama yang berhubungan dengan coding, desain, atau konten digital.
Dan hari ini, Aditya berniat menunjukkan video itu ke beliau.
Langkah kakinya sedikit lebih cepat dari biasa. Di atas motor, nenek menyusuri jalan gang, dan Aditya duduk di belakang sambil memelukku erat. Dari balik punggungnya, aku bisa merasakan degup jantung yang sedikit lebih kencang.
"Nanti kalau Pak Andra bilang bagus, berarti gue beneran punya peluang. Tapi kalau dia bilang biasa aja... ya udah, mungkin gue emang bukan siapa-siapa."
Aku ingin mengingatkan bahwa hidup bukan hanya soal validasi dari satu orang. Tapi aku hanya tas.
Di sekolah, pelajaran pertama adalah Biologi. Tapi Aditya tak fokus. Ia menggambar kotak storyboard di sudut buku catatannya. Kotak-kotak itu menggambarkan potongan cerita untuk video berikutnya: tentang karakter bocah yang terjebak di kota penuh aturan aneh, tapi menemukan kekuatan karena bertemu teman-teman yang juga "salah tempat" sepertinya.
"Dit, kamu perhatikan nggak sih?" tanya Bu Rani.
Aditya tersentak. "Iya, Bu! Tentang... tentang kloroplas ya?"
Satu kelas tertawa kecil. Tapi Bu Rani hanya mengangguk sambil tersenyum.
Setelah pelajaran selesai, Aditya langsung melangkah cepat ke ruang guru. Tangannya meraba saku seragam, memastikan USB itu masih ada. Aku ikut berayun ringan di punggungnya, bisa merasakan peluh di tengkuk lehernya.
"Permisi, Pak. Saya boleh minta waktu sebentar?"
Pak Andra sedang mengetik di laptop, tapi langsung menoleh dengan wajah ramah. "Aditya? Ada apa?"
"Saya mau minta pendapat Bapak. Ini... video yang saya buat. Tentang game, tapi ada narasinya. Saya mau tahu, apakah saya bisa bikin lebih baik atau saya cuma... ya, asal-asalan."
Pak Andra tersenyum. "Coba kita lihat sama-sama."
Aditya menyerahkan USB-nya. Mereka menonton bersama di laptop Pak Andra. Suara Reya terdengar jernih, menyatu dengan narasi Aditya yang kini lebih hidup. Di layar, karakter Roblox bergerak mengikuti alur cerita seperti novel interaktif.
Aku menunggu napas Aditya yang sempat tertahan.
Setelah selesai, Pak Andra mengangguk pelan.
"Ini bukan cuma video game. Ini storytelling. Dan storytelling itu... kemampuan langka."
Aditya nyaris tak percaya. "Jadi... menurut Bapak, saya bisa teruskan?"
"Saya bukan penentu jalan hidup kamu, Dit. Tapi saya tahu satu hal: kalau kamu bisa membuat orang diam dan mendengarkan, itu bukan hal biasa. Kamu punya suara. Sekarang tinggal kamu percaya itu."
Sore itu, sepulang sekolah, Aditya berjalan lebih ringan. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan untuk Reya:
Pak Andra bilang videonya bagus.
Tak lama kemudian, balasan datang:
Gue percaya dari awal. Selamat ya, Dit. Lo menang hari ini.
Tiba-tiba langkah Aditya berhenti.
Di seberang jalan, ia melihat seseorang berdiri di depan warung kelontong kecil. Wajahnya familiar. Pria dengan kaus lusuh, mata cekung, dan langkah goyah. Ayahnya.
Lima tahun lalu, lelaki itu pergi dari rumah setelah pertengkaran besar. Dan sejak itu, tak pernah ada kabar. Bahkan nenek pun menghindari topik tentang dia.
Ayah Aditya melihat ke arahnya. Wajah mereka bertemu.
Tegang. Canggung. Sunyi.
"Dit?" panggil ayahnya, ragu-ragu.
Aditya mematung. Tangannya menggenggam tali punggungku erat.
"Kamu udah gede, ya. Maaf... Bapak nggak pernah—"
"Kenapa Bapak ada di sini?" tanya Aditya, nadanya datar tapi matanya bergetar.
"Cuma... pengin lihat. Sekali aja."
"Lihat apa? Anak yang Bapak tinggalin?"
Diam.
Aku tahu, di balik kalimat itu, ada luka yang selama ini disimpan rapi di antara map, USB, dan buku-buku sekolah yang kusimpan.
"Maafkan Bapak. Bapak cuma... nyesel. Tapi telat ya."
Aditya menatap pria itu cukup lama, lalu berkata, "Saya belum tahu, Pak. Mungkin saya belum bisa maafin. Tapi... makasih udah nggak pura-pura nggak kenal."
Lalu Aditya melangkah pergi. Punggungnya berat. Tapi kali ini, bukan karena marah.
Malam itu, di rumah, Aditya tak cerita apa pun ke nenek. Ia hanya bilang, "Tadi di sekolah ada yang bilang video aku bagus."
Nenek tersenyum. "Tuh kan. Nenek juga suka nontonin diam-diam dari balik pintu."
Aditya tertawa kecil.
Dan malam itu, sebelum tidur, ia menulis di notes ponselnya:
Gue masih belum tahu mau jadi apa. Tapi hari ini gue tahu satu hal: Gue pengin terus bikin sesuatu yang bikin orang berhenti dan dengerin. Bahkan kalau yang dengerin cuma satu orang.
Aku, tas tua ini, tersenyum dalam diam. Karena tahu, pelan-pelan, Aditya sedang berjalan menuju dirinya sendiri.