Seseorang Sedang Mendekat
Christian di LA
Langkah kaki Christian berat saat keluar dari terminal Bandara Internasional Los Angeles. Dengan hoodie abu-abu dan ransel di punggung, ia tampak seperti turis biasa. Tak ada yang tahu bahwa pria itu datang bukan untuk berlibur—melainkan untuk mengejar sesuatu yang hilang.
> “Iriantie bilang Nafa tinggal di sekitar Westwood…” gumamnya sambil membuka catatan kecil.
Christian menyewa mobil kecil. Tak tahu harus ke mana tepatnya, ia mulai dengan menelusuri akun media sosial Nafa. Foto-foto Nafa memang jarang, tapi dari salah satu unggahan sahabatnya dulu—Emilia—Christian mengenali latar bangunan apartemen khas LA.
> “Setidaknya aku tahu kamu masih di kota ini…” katanya sambil menatap gedung-gedung menjulang.
---
Nafa sedang menyuapi Reagan makan malam. Senyum tetap ia lemparkan. Tapi gerakannya sedikit kaku.
Matanya lebih sering menatap kosong ke arah jendela.
Zac memerhatikannya dari ruang TV. Sesekali melirik Nafa yang tampak seperti ada di dua dunia.
> “Sayang, kamu capek ya akhir-akhir ini?” tanya Zac saat mereka berdua di kamar.
> “Nggak… cuma banyak yang dipikirin,” jawab Nafa singkat.
"Akhir pekan kita liburan" Kata Zac
"Oke" Jawab nafa kemudian berlalu ke kamar mandi..
The Waves That Brought Him Back
Christian berdiri mematung di tepi pantai Santa Monica. Jaket denimnya diterpa angin laut, dan suara ombak membawa kenangannya ke masa lalu. Ke tawa Nafa. Ke malam terakhir mereka. Ke luka yang belum sembuh.
Di tangannya, sebuah catatan alamat rumah dari Iriantie. Tapi hatinya belum siap.
Belum siap untuk bertemu langsung. Belum siap jika mendengar: “I’m happy now, Christian.”
Ia duduk di atas pasir, menarik napas panjang.
> "haruskah aku datang saat ini? Seharusnya aku tidak pernah datang…"
Tiba-tiba, suara teriakan menggema:
> “Help! Somebody help! My son!”
Christian menoleh. Seorang anak kecil tergulung ombak. Tubuh mungil itu berjuang di permukaan air, terseret makin jauh.
Tanpa pikir panjang, Christian berlari menerobos ombak, berenang cepat menembus arus.
Beberapa menit kemudian, ia berhasil meraih anak itu, lalu menyeretnya ke pantai.
Anak itu batuk-batuk, basah kuyup, tapi hidup.
> “You’re okay now. You’re safe,” kata Christian lembut, menepuk punggungnya.
Langkah kaki berlari mendekat. Seorang wanita dan pria.
> “Reagan!!”
Christian mendongak. Dunianya seketika membeku.
Nafa berdiri tak jauh darinya—mata membelalak.
Zac di sampingnya. Tegang.
> “C–Christian…?” suara Nafa nyaris seperti bisikan angin.
> “You?” tanya Zac, pelan tapi tajam.
Reagan masih di pelukan Christian. Dengan polos, ia berkata:
> “Mom… Dad… this man saved me. He was so nice.”
---
Three Kinds of Silence
Ketiganya saling tatap. Angin laut pun terasa sunyi.
Christian masih duduk, menatap wajah Nafa—yang kini jauh berbeda tapi tetap sama di matanya.
Nafa menghindari tatapan itu.
Zac menggenggam tangan Nafa—refleks penuh rasa waspada.
Reagan berkata dengan polos:
> “Mister… can I see you again?”
Christian tersenyum lembut.
> “I live nearby, but… you don’t have to. Just be safe, okay? That’s enough for me.”
Reagan menoleh ke ibunya:
> “Can we invite him to our house?”
Nafa tidak menjawab. Zac langsung berbicara:
> “Thank you… for saving our son,” nadanya tenang, tapi tegas.
“We should go now.”
Christian mengangguk.
> “I’m not here to ruin anything, Nafa… I just needed to see you. To say—I never really left.”
Ghost of the Shore
Los Angeles, malam hari. Kota tetap gemerlap, tapi di dalam apartemen lantai 16 itu, Nafa duduk diam di tepi ranjang. Secangkir teh sudah dingin di tangannya. Zac tertidur di sofa, masih dalam setelan kerjanya.
Tapi pikiran Nafa tidak di sini.
Bayangan Christian, wajahnya yang lebih tirus, matanya yang masih sama… semuanya muncul berulang kali dalam kepalanya.
> “I never really left…”
Kata-kata itu menusuk. Bukan karena rasa bersalah. Tapi karena ada bagian dalam dirinya yang ternyata tidak pernah benar-benar sembuh.
---
Zac’s Quiet Panic
Beberapa hari setelah kejadian itu, Zac tampak berubah. Lebih banyak bekerja di ruangannya, lebih sedikit bertanya, lebih jarang menyentuh.
Nafa memperhatikan, mencoba bertanya.
> “Are you okay, Zac?”
Zac menoleh, tersenyum tipis.
> “I’m fine. Just… busy.”
Tapi jawabannya tak menyentuh mata.
Saat malam tiba, ia tetap tidur di samping Nafa—tapi seolah ribuan kilometer jauhnya.
Zac tahu… dia tahu siapa pria di pantai itu.
Dan ketakutan terbesarnya bukan karena Nafa akan kembali mencintai Christian.
Tapi karena mungkin… Nafa tidak pernah berhenti.
---
The Drawing
Reagan duduk di ruang keluarga, menggambar diam-diam di buku sketsanya. Crayon berserakan.
Dalam gambar itu: ada pantai, matahari, dan seorang pria tinggi dengan senyum lembut dan rambut berantakan.
Nafa melihat sekilas.
> “Who is this, Reg?”
Reagan tersenyum bangga.
> “The man from the beach. The one who saved me. He’s nice. I want to see him again.”
Nafa menggigit bibir.
Tak tahu harus menjelaskan dari mana.
> “He’s just… someone from my past.”
> “But he feels like family,” ujar Reagan polos.
Dan hati Nafa runtuh sedikit demi sedikit.
The Drawing Speaks
Pagi hari. Matahari belum tinggi, namun Reagan sudah duduk di lantai ruang keluarga, sibuk mengarsir gambar.
Nafa sedang menyiapkan sarapan di dapur. Zac keluar dari kamar, setengah menguap, lalu menghampiri anaknya.
> “Morning, buddy. What are you drawing today?”
Reagan dengan semangat mengangkat bukunya, menunjuk sosok pria di gambar.
> “It’s him, Daddy! The man who saved me from the water!”
Zac menatap gambar itu—ada pria bertubuh jangkung, dengan senyum lembut dan mata yang teduh, berdiri di pinggir pantai bersama seorang anak kecil.
Hatinya menegang.
> “I want to see him again, Dad! Please, please! He was really nice… I feel like I know him.”
Zac menghela napas panjang.
> “Do you remember his name?”
> “Umm… No. But Mom talked to him, right? She knows!”
Zac menatap Nafa yang kini berdiri kaku di ambang pintu dapur, wajahnya gugup.
Nafa tidak langsung menjawab. Ada jeda. Napasnya pendek. Lalu dengan suara rendah:
"Yes. It was... someone I used to know. But he’s not—he shouldn’t be part of our life anymore.”"
Reagan ikut berdiri, wajahnya cemberut.
> “But I like him! Why can't I meet him again?”
Zac berjalan mendekat, berlutut sejajar dengan putranya.
> “Sometimes, we meet people who help us just once. That’s all. Doesn’t mean we can see them again.”
Reagan menunduk, lalu bergumam lirih:
> “But he felt like... family.”
Kalimat itu menghantam jantung Zac.
Di belakangnya, Nafa masih berdiri kaku. Gambar itu… kata-kata anak mereka… semua mulai membuka pintu-pintu yang selama ini mereka paksa tertutup.