Lamaran di Tengah Gerimis
Malam itu, New York diguyur gerimis ringan. Nafa baru pulang dari perpustakaan, lelah, dengan ransel berat di punggung dan kopi dingin di tangan. Di depan apartemen kecil yang biasa, Zac sudah berdiri — basah sebagian, dengan senyum gugup yang tak biasa.
"Aku tahu ini bukan tempat romantis, bukan di tengah taman atau restoran mahal... tapi aku sadar satu hal."
Zac berlutut perlahan, membuka kotak kecil berisi cincin sederhana. Matanya menatap Nafa seolah ia satu-satunya alasan bumi berputar.
"Aku gak mau nunggu semuanya sempurna. Karena bersamamu, bahkan hari-hari biasa pun terasa cukup."
Nafa tak langsung menjawab. Gerimis mulai turun lebih deras. Tapi ia mengangguk, air matanya ikut jatuh bersama langit.
"Iya, Zac. Karena kamu adalah tenang yang selalu kutunggu."
---
Cincin dan Cangkir Teh
Pernikahan mereka digelar di taman kecil belakang rumah sahabat Zac. Tidak ada orkestra, hanya tawa sahabat dan keluarga dekat. Nafa memakai gaun putih sederhana . Zac, dengan setelan abu-abu yang disetrika sendiri pagi itu, tak bisa berhenti menatapnya.
Mereka mengucapkan janji bukan dengan kata-kata besar, tapi dengan tatapan yang tak ingin pergi ke mana pun selain satu sama lain.
---
Apartemen Sempit, Hati Luas
Walaupun Adam menawarkan Apartemen mewah, dan Zac juga mampu membeli apartemen mewah. Nafa ingin tetap memilih tinggal di Apartemen mereka yang tak besar. Dapur dan ruang tamu dipisahkan hanya oleh rak buku. Walaupun begitu apartemennya tertata indah dengan barang-barang mewah.
Zac suka bangun pagi, menyeduh teh buat Nafa. Nafa suka menulis puisi kecil di cermin kamar mandi pakai lipstik.
Kadang mereka bertengkar soal siapa yang lupa buang sampah. Tapi malam selalu ditutup dengan punggung saling bersandar dan ucapan, "Maaf ya... besok kita coba lagi."
---
Dua Garis dan Satu Pelukan
Susu habis dan Nafa menangis. Itu tanda pertama. Zac panik karena menyangka ia berbuat salah. Tapi yang terjadi lebih dari itu. Dua garis merah di test pack membuat waktu berhenti.
"Aku hamil, Zac."
Zac tidak bicara. Ia hanya duduk di lantai kamar mandi, menarik Nafa ke dalam pelukannya.
"Kalau kamu takut, kita hadapi bareng. Kalau kamu senang, kita rayakan bareng. Tapi satu yang pasti, aku di sini, Naf."
---
Reagan dan Revolusi Kecil
Persalinan panjang. Tiga belas jam. Zac pegang tangan Nafa, baca cerita anak-anak sambil ngantuk, dan nyaris pingsan waktu potong tali pusar.
Reagan lahir di tengah peluh dan tangis — kecil, merah, dan kuat.
Hari-hari setelahnya seperti dunia baru. Popok, dot, tawa, tangis, dan begadang. Tapi juga ciuman di dahi, pelukan hangat, dan kalimat, "Kita bisa."
Suatu pagi, Reagan bicara pertama kali: "mom." Nafa menangis. Zac memeluk keduanya.
Mereka tahu: rumah bukan tempat, tapi siapa yang kita peluk saat dunia terasa berat.
Dan Reagan... adalah cinta yang mereka bangun dari pelukan yang tidak menyerah.
Rumah yang Mereka Bangun
Langit sore di pinggiran kota New York terlihat seperti lukisan—semburat oranye membalut awan tipis yang menggantung di cakrawala. Di balkon kecil apartemen sederhana, Nafa duduk bersila sambil memangku anak kecil berusia tiga tahun. Bocah itu tertawa riang saat Nafa meniup gelembung sabun dari dalam mangkuk kecil di tangannya.
“Again! Again!” seru bocah itu dalam campuran bahasa Inggris dan Indonesia, tangan kecilnya menunjuk-nunjuk gelembung yang melayang ke langit.
Dari dalam rumah, Zac muncul dengan membawa dua cangkir teh hangat. Ia mengenakan kaos longgar dan celana rumah, tampak sangat domestik namun nyaman dipandang. Ia duduk di sebelah Nafa, menyodorkan satu cangkir.
“Gak pernah bosen ya main gelembung?” katanya sambil mengacak rambut si kecil.
“Kayaknya anak ini lebih tertarik ke gelembung daripada ke mainan mahal yang kamu beli minggu lalu,” balas Nafa, tersenyum lelah tapi damai.
Zac tertawa pelan. “Berarti ibunya lebih hebat dari Amazon.”
Mereka tertawa. Ringan. Hening kemudian turun pelan, tapi bukan keheningan yang kikuk. Justru keheningan yang penuh makna. Saling diam, saling hadir.
Zac mencuri pandang ke arah Nafa yang menatap langit. Mata perempuan itu sudah tak lagi penuh kecemasan seperti dulu. Masih ada bayangan gelap di sana—tapi sudah tidak menguasai.
“Kamu kelihatan lebih tenang sekarang,” ujar Zac lembut.
Nafa mengangguk. “Aku gak bohong, Zac. Ada bagian dari diriku yang… kayak gak pernah benar-benar sembuh. Tapi kamu, dan anak kita... kalian bantu aku berdiri. Kalian bantu aku temuin bagian dari diriku yang pernah hilang.”
Zac tidak menjawab langsung. Ia hanya menunduk sedikit, lalu menatap wajah Nafa dari samping. Perempuan yang dulu ia temui di ruang terapi itu... kini duduk di sebelahnya. Masih rapuh kadang-kadang. Tapi juga kuat dengan cara yang unik.
“Aku gak pernah ingin menggantikan siapa pun di hidupmu, Naf,” katanya perlahan. “Tapi aku ingin jadi tempat pulang. Tempat kamu bisa lepas lelah tanpa takut dihakimi. Tempat kamu bisa marah, sedih, dan tetap dicintai.”
Nafa menoleh, matanya berkaca. “Kamu bukan pengganti... kamu adalah bab baru yang aku pelajari untuk cinta lagi. Bukan karena aku melupakan masa lalu, tapi karena aku memilih masa depan.”
Zac menggenggam tangannya. Hangat dan mantap.
“Kadang aku takut,” bisik Nafa. “Takut kalau aku gak cukup. Takut kamu sadar suatu hari nanti kalau kamu layak dapetin seseorang yang lebih... utuh.”
Zac menggeleng cepat. “Utuh itu bukan tentang gak pernah patah. Utuh itu soal memilih tetap ada meski kita tahu bentuknya gak sempurna. Aku tetap di sini bukan karena kamu kuat terus, tapi justru karena kamu mau terus belajar berdiri.”
Anak mereka tiba-tiba tertawa kencang karena gelembung menempel di hidungnya. Zac spontan menggendong si kecil, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berpura-pura jadi robot.
“Robot papa akan melindungi bumi dan mamanya!” serunya.
Nafa tertawa, mengusap air mata yang sempat jatuh.
Dan di tengah sore yang perlahan berubah senja itu, Nafa tahu — hidup tidak selalu memaksa untuk melupakan masa lalu. Tapi hidup selalu memberi kesempatan untuk membangun ulang, jika kita cukup berani untuk percaya lagi.
Zac bukan kisah cinta masa muda yang membakar seperti api. Ia adalah cinta yang tumbuh seperti pohon. Pelan, dalam, dan memberi naungan.
Rumah yang mereka bangun bukanlah rumah yang sempurna. Tapi itu rumah yang cukup hangat untuk menyembuhkan. Rumah yang membuat luka terasa bisa dihadapi bersama, bukan ditanggung sendiri.
Dan rumah itu... dibangun dengan cinta yang tak harus menang, tapi tetap memilih untuk tinggal.
Malam turun pelan, membungkus apartemen kecil mereka dalam selimut kehangatan. Reagan sudah tertidur pulas di kamar, tubuh kecilnya meringkuk di pelukan boneka jerapah yang diberi Nafa saat ulang tahun keduanya.
Di ruang tengah, lampu temaram menyala redup. Musik instrumental pelan mengalun dari speaker. Nafa duduk di sofa sambil memijat pelan lengannya yang pegal. Zac datang dari dapur, membawa sebotol body lotion dan duduk di belakangnya.
“Boleh?” bisiknya.
Nafa mengangguk pelan. Zac mulai memijat pundaknya perlahan, jemarinya hangat dan sabar. Tak tergesa.
“Kamu capek hari ini?” tanyanya lembut.
“Lumayan,” jawab Nafa pelan, “Tapi capek yang bikin hati tenang. Capek yang... bukan karena luka, tapi karena aku punya yang dijaga.”
Zac tersenyum tipis. Ia mencium pucuk kepala Nafa sekilas.
Setelah beberapa menit hening, Nafa menyandarkan tubuhnya ke dada Zac. Jantungnya pelan tapi mantap. Zac memeluknya dari belakang, dagunya bertumpu di bahu Nafa.
“Aku kadang gak percaya,” ujar Nafa tiba-tiba, “dulu aku takut banget gak bisa jatuh cinta lagi. Takut semua laki-laki cuma akan mengingatkanku pada yang hilang. Tapi kamu beda.”
Zac menoleh sedikit, menatap wajah perempuan itu dari samping.
“Beda gimana?”
“Beda karena kamu gak pernah nuntut aku untuk sembuh. Kamu cuma duduk. Nunggu. Hadir. Kadang diem aja, tapi justru itu yang paling menyentuh.”
Zac memutar tubuh Nafa agar menghadapnya. Mereka duduk berhadapan, berlutut di atas sofa. Jarak mereka dekat. Nafasnya saling bersilangan.
“Aku gak pernah butuh kamu sempurna, Naf,” ujar Zac lirih. “Aku cuma butuh kamu... tetap mau berproses. Dan terus mau aku temani.”
Mata mereka bertemu. Tidak ada bising, hanya detak jantung dan nafas yang pelan-pelan saling menyesuaikan ritme.
Zac mengusap pipi Nafa dengan punggung jari. “Kamu tahu hal paling aku syukuri?”
“Apa?”
“Waktu itu aku cuma psikiater yang kamu temui karena terpaksa... Tapi sekarang, aku adalah orang yang kamu peluk tanpa diminta.”
Nafa tertawa kecil, menahan air mata. “Gombal,” bisiknya.
Zac mendekat, menyentuhkan keningnya ke kening Nafa. “Iya, tapi bener kan?”
Nafa tak menjawab, hanya memejam dan mengangguk pelan. Saat Zac mengecup keningnya, lama dan lembut, dunia seakan berhenti. Tidak ada masa lalu. Tidak ada ketakutan. Hanya ruang kecil penuh rasa nyaman—dan dua manusia yang saling belajar mencintai dengan cara paling dewasa.
Pelan-pelan, Nafa menarik Zac ke pelukannya. Mereka diam cukup lama. Tak butuh kata, karena pelukan mereka sudah cukup menjelaskan:
Setelah beberapa saat, Zac berbisik, “Mau nari?”
“Nari?” Nafa menoleh, heran.
Zac mengangkat alisnya. “Lagu pelan, gak pakai musik. Cuma kita. Gimana?”
Nafa tersenyum kecil. “Gila. Tapi aku mau.”
Zac meraih tangan Nafa dan mulai mengayunkannya pelan di tengah balkon sempit. Tidak ada musik, hanya detak jantung dan hembusan napas mereka yang menyatu dalam irama diam.
Di pelukan Zac, Nafa merasa aman. Ia tahu, masa lalu masih ada — tapi masa kini juga nyata. Dan masa kini itu bernama Zac:
Laki-laki yang tidak pernah menuntutnya untuk lupa, tapi mengajaknya untuk hidup lagi.
Luka boleh tinggal, tapi cinta tetap bisa tumbuh.
Bahwa rumah tidak selalu tempat yang dibangun dari batu dan kayu—kadang ia hadir dalam bentuk tangan yang tak pernah melepaskan, meski badai datang.
Dan malam itu, di antara aroma teh yang masih tersisa dan suara napas Reagan dari kamar, Nafa tahu:
Ia tidak mencari pelarian… ia sudah menemukan pulang.
Diam yang Menemani
Setelah tarian kecil mereka di balkon, Nafa bersandar di dada Zac. Lama. Tanpa kata-kata. Angin malam mulai menusuk, dan mereka pun kembali masuk ke dalam apartemen.
Kamar sudah redup, hanya diterangi lampu tidur berwarna kekuningan. Reagan tidur dengan damai di ranjang kecil di sudut kamar.
Zac dan Nafa naik ke ranjang besar mereka. Tak ada adegan impulsif atau gairah meledak-ledak. Hanya keintiman dalam bentuk yang paling murni: kebersamaan yang tulus.
Zac menarik selimut hingga menutupi tubuh mereka. Nafa membaringkan kepala di lengannya. Wajahnya menghadap ke dada Zac, mendengar detak jantungnya yang pelan dan stabil—seperti jangkar yang membuatnya tak lagi hanyut.
“Zac…” bisik Nafa di sela kantuk.
“Hmm?”
“Kalau suatu hari aku goyah... kamu bakal marah gak?”
Zac tidak menjawab langsung. Ia hanya mengusap pelan rambut Nafa, menyingkirkan anak rambut dari dahinya.
“Aku akan sedih, iya,” jawabnya jujur. “Tapi aku lebih sedih kalau kamu hidup sambil pura-pura.”
Nafa menelan ludah, matanya mulai berat.
“Kamu gak pernah nanya kenapa aku masih suka melamun malam-malam.”
Zac tersenyum. “Karena aku tahu kamu sedang merapikan isi hatimu. Dan itu bukan tugas yang bisa diburu-buru.”
Mereka diam lagi. Tenang.
Zac memeluk Nafa lebih erat. Bibirnya mengecup kening Nafa pelan, seolah mengunci semuanya agar tak pergi.
“Tidurlah,” bisiknya. “Besok, kita tetap bangun sama-sama. Entah kamu masih memilih aku, atau belum bisa. Aku tetap di sini.”
Nafa mengangguk pelan dalam pelukan itu.
Dan di malam yang sunyi itu, tak ada janji besar, hanya kehadiran yang konstan. Kadang, cinta sejati tidak hadir lewat kata-kata megah. Ia hadir dalam bentuk tubuh yang tak pernah berpaling ketika yang lain masih ragu.
Nafa memejamkan mata. Untuk pertama kalinya setelah lama, ia tidur tanpa dihantui rasa bersalah. Karena ia tahu, walau hatinya masih belajar sembuh, ia sudah berada di tempat yang tepat.