Gadis yang tengah berjalan dengan kepala yang menunduk itu sungguh merutuki kebodohannya terjatuh dalam posisi seperti itu, terlebih di hadapan Rei! Sangat sangat memalukan. Nara pun berkali-kali menghela nafas.
Langkahnya tiba-tiba harus terhenti lantaran ada seseorang yang berdiri di hadapannya. Nara pun mengangkat kepalanya, dan lengkungan manis langsung terukir di bibirnya. "Kak Bima," ucap Nara dengan nada lembut.
"Kamu kenapa jalan nunduk gitu? Apa kehilangan sesuatu?" tanya Bima dengan nada tak kalah lembutnya dari Nara.
Nara menggelengkan kepala. "Cuma ingin jalan nunduk saja." Lalu, memamerkan deretan giginya.
Tatapan Bima berubah curiga, menatap penuh interogasi Nara. "Jangan bohong! Seseorang berjalan seperti itu pasti ada alasannya, bukan cuma ingin. Ada apa, Na? Apa ada yang membully kamu?"
"Bisa-bisanya Kak Bima kepikiran ada yang membully aku, apa karena aku sebodoh itu? Jadi orang bisa seenaknya merendahkan." Nara memajukan bibirnya.
"Kakak cuma khawatir saja, Na. Lagi pula kamu gak harus bisa apa yang bisa dilakukan orang lain, yang paling penting kamu tetap menjadi Nara yang sekarang." Bima tersenyum, lalu mengelus singkat kepala Nara yang memiliki rambut hitam lurus sedada yang saat itu dibiarkan terurai dengan poni tipis.
Dari kejauhan tanpa mereka sadari, ada yang memperhatikan. Seorang siswa yang tanpa ia sadari sekelilingnya memperhatikannya bukan hanya karena prestasi yang dimilikinya, melainkan wajah tampannya.
"Kalau gitu, Kakak tinggal yaa. Soalnya harus ke Gymnasium."
"Iya." Seraya tersenyum.
Setelah kepergian Bima, Nara menghela napas, bersiap kembali melanjutkan langkahnya. Namun, belum sempat ia benar-benar berjalan jauh, langkahnya terpaksa harus terhenti lagi karena tiba-tiba Rei berdiri di hadapannya. Apa yang dilakukan lelaki ini? Bukannya melanjutkan tidurnya itu atau kegiatan yang biasa dia lakukan, belajar.
Benar-benar dibuat bingung. Seingat Nara mereka tidak sedekat itu sampai harus ada yang dibicarakan. Bahkan selama ini mereka tidak pernah berbicara satu sama lain, jika berpikir pernah disatukan saat kerja kelompok, Nara tidak pernah sekelompok dengan Rei, sehingga mereka teman sekelas yang seasing itu.
"Ada apa ya?" tanya Nara akhirnya.
Tiba-tiba wajah Nara mendadak panas. Bukan karena sinar matahari, tapi karena... Rei. Rei yang memegang kantong kresek putih kecil pada salah satu tangan, berjongkok di hadapan Nara. "Apa yang kamu lakukan?!" Nara panik. Bahkan saking paniknya sampai melihat ke setiap arah di mana banyak yang menatap ke arah mereka.
"Rei!" panggil Nara dengan wajah sedikit lagi frustasi dengan apa yang dilakukan Rei, karena hal itu hanya akan mengundang komentar kebencian pada Nara yang semua orang tahu bahwa Nara tidak selevel dengan Rei. Bisa-bisanya Nara mendapat perhatian Rei, seperti itulah salah satu pemikiran orang-orang itu.
Diperhatikannya Rei yang menuangkan air ke kapas, lalu menempelkannya pada salah satu lutut Nara, membersihkan luka Nara dengan lembut. Luka yang Nara baru sadari berkat Rei. Nara pun memasang wajah tidak menyangka bahwa Rei akan mengetahui luka itu. Lebih sulit dipercayanya lagi Rei mengobati luka Nara!
Sheila yang merasa Nara terlalu lama akhirnya memutuskan kembali ke kelas tanpa memesan makanan, dan sebelum sampai kelas, langkah Sheila terhenti begitu saja dengan wajah terkejut dan bertanya-tanya, apa yang mereka lakukan?!
Setelah memasangkan plester, tanpa kata Rei hendak melangkah pergi namun salah satu tangannya berhasil digapai Nara. "Gak ada yang mau kamu katakan?" tanya Nara yang mulai penasaran dengan sesosok Rei yang selama ini bahkan tidak peduli padanya, namun tiba-tiba seperhatian itu?
"Seseorang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, gue rasa lo tahu hal itu. Jadi, jangan pernah malu atau minder atas kekurangan yang lo miliki." Rei singkirkan tangan Nara dari tangannya dengan lembut. Meninggalkan Nara yang terus menatap Rei dengan wajah masih tidak sepercaya itu, bahwa Rei tidak sedingin yang ia pikirkan.
Sheila sudah sampai di hadapan Nara yang melambaikan tangan di depan wajah Nara, karena Nara melamun. "Seriusan, Na. Kalian diam-diam ada hubungan apa? Hubungan spesial kah?" tanya Sheila dengan penuh interogasi.
"Spesial apanya! Aku sama Rei gak ada hubungan apa-apa. Aku saja terkejut dengan apa yang dilakukannya." Sheila yang melihat wajah tak percaya Nara pun, percaya. Kemudian, mereka berjalan ke Kantin.
Di tengah langkah kakinya ada yang tiba-tiba merangkul Rei. Salah seorang sahabat laki-laki yang kebetulan sekelas. "Jadi, mulai tertarik nih sama si paling peringkat terakhir?" tanya Liam dengan wajah menggoda.
"Nggak," jawab singkat Rei dengan wajah datar dan tanpa menatap Liam.
"Kalau nggak kenapa seperhatian itu? Gini ya, Rei. Sekali pun Nara terluka, seharusnya lo gak peduli." Perkataan Liam benar, dan hal itu membuat Rei hanya diam. Entah Rei bingung sama diri sendiri atas apa yang sudah ia lakukan pada Nara, atau Rei ingin menyembunyikan sesuatu.
Baru saja Nara akan memasukkan sesendok bakso ke dalam mulut, datang dua orang siswi dengan wajah penasaran. "Kamu ada hubungan apa sama Rei? Kalian diam-diam pacaran ya?" tanya siswi berkacamata.
"Nggak," jawab singkat Nara yang terlihat tidak peduli. Melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda.
"Terus, kenapa Rei seperhatian itu? Sampai luka kamu saja diobati," tanya siswi dengan rambut cokelat, panjang sedada, dan dikeriting gantung itu.
Nara letakkan sendok dan garpu di mangkuk, menatap serius kedua siswi yang entah dari kelas mana. "Sekarang gini, apa kalian pikir Rei mau sama aku yang terkenal dengan si paling rangking terakhir sesatu sekolah? Bukankah berpacaran dengan aku hanya akan membuatnya terlihat bodoh?"
Kedua siswi itu diam dengan wajah seperti sedang berpikir. "Iya juga sih. Si pintar cocoknya sama si pintar," kata siswi berkacamata.
Nara mencoba tersenyum. "Itu kamu tahu." Lalu, memasukkan sesendok bakso ke dalam mulut. Setelahnya kedua siswi itu pergi dengan wajah sudah tidak penasaran lagi, percaya dengan Nara.
"Tapi ya Na, kalau kata aku si pintar gak harus sama si pintar," kata Sheila yang ternyata memikirkan hal itu.
"Untuk apa si pintar sama si bodoh? Itu hanya akan mempermalukan si pintar." Seperti itulah pemikiran Nara yang kurang bisa diterima Sheila.
"Bukankah tugas pasangan itu menerima kekurangan pasangannya? Jadi si pintar gak harus sama si pintar. Si pintar bisa menerima kekurangan si bodoh, tanpa perlu merasa malu. Gak semua hal serumit yang kamu pikirkan loh, Na." Sheila makan mie ayam-nya.
"Tapi, kalau orangnya sebodoh aku, apa bisa terima? Terlalu memalukan bukan?"
"Nara, kamu itu cuma kurang dalam pelajaran, tapi kamu berbakat di bidang lain. Kamu lupa kamu bisa melukis?" Sheila ambil botol air mineral yang masih tersegel di meja, dekatnya. Meminumnya sedikit.
"Jadi maksud kamu orang lain masih bisa menerima aku? Karena nyatanya aku masih ada kepintaran di suatu bidang?" Nara masukkan sesendok bakso ke dalam mulut.
"Iya, tapi aku pikir kalau pun kamu lemah dalam pelajaran dan gak punya skill di bidang apa pun, akan ada seseorang yang menerima kamu apa adanya. Kenapa? Karena manusia sudah memiliki pasangannya masing-masing."
"Tapi, bukankah seharusnya pasangannya itu yang sama-sama bodoh?" tanya salah seorang siswi yang baru saja tiba dengan nada menghina dan wajah sangat tidak menyukai Nara.