Nampaknya hidup tidak selalu sempurna untuk semua orang, seperti yang saat ini sedang dialami salah seorang siswi kelas 2 IPA-1 bernama Lunara atau yang lebih akrab disapa Nara. Di saat yang lain terlihat mengerjakan soal fisika dengan mudah, wajah Nara memperlihatkan semuanya bahwa ia tidak mengerti! Padahal beberapa saat lalu baru saja dijelaskan oleh Guru perempuan yang tengah duduk di kursi itu.
Nara ingin memiliki otak seperti teman-temannya, namun sekeras apa pun ia mencoba, tetap gagal. Entah Nara yang memang tidak benar-benar ingin menjadi pintar, atau kapasitas otaknya sekecil itu untuk menerima semua informasi?
Beberapa kali Nara menggaruk kepalanya di tengah wajah serius yang mulai frustasi. Seorang siswi yang duduk di sampingnya, terganggu dengan Nara yang mulai mengetukkan atas pena ke meja, menimbulkan sedikit kebisingan. "Sefrustasi itu yaa?!" kata siswi berambut hitam panjang sedada, sedikit bergelombang yang saat itu diikat setengah, dengan wajah menahan melakukan sesuatu pada Nara agar gadis itu diam.
Sekali pun Sheila mengambil pena Nara, Nara akan mengambil pena lainnya yang akan ia ketukkan ke atas meja, seperti itulah yang selama ini dilakukan Nara saat kepusingan mengerjakan suatu pelajaran.
"Aku benar-benar gak bisa, La!" Nara memasang wajah memelas.
Sheila menghela nafas. "Bagian yang mana?"
Lengkungan manis pun langsung terlihat menghiasi bibir Nara. "Semuanya!"
"Aku tahunya cuma sampai nomor 8, 9 sama 10 aku juga gak tahu."
"Gakpapa, yang penting nilai aku bukannya telur." Nara memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih. Sheila pun mulia mengajari Nara yang memperhatikan dengan baik.
Waktu berlalu dengan cepatnya, sebentar lagi waktu istirahat dan Nara masih berkutat pada soal nomor 5 di mana Sheila menyuruh Nara mengerjakannya sendiri setelah memberitahu sampai nomor 4. Padahal nomor 5 soalnya sama dengan nomor 1 sampai 4, namun Nara tetap tidak bisa mengerjakannya sekali pun Sheila mengajarkannya pelan-pelan. Nara pun sampai pemikiran bahwa ada masalah dengan otaknya!
Seorang siswa yang berada di barisan paling depan, memberikan bukunya pada guru, tanda sudah selesai, disusul murid yang lain. Sheila yang sudah mengerjakan soal 9 dan 10 dengan berusaha sangat keras, saat hendak ingin berdiri salah satu tangan ditahan Nara. "Ayolah, La. Bantuin aku." Dengan wajah memelas seperti sebelumnya.
"Aku sudah memberitahu kamu cara-caranya! Kalau terus dikasih tahu, kamu gak akan pernah bisa," tegas, Sheila. Disingkirkannya tangan Nara dari tangannya. Berjalan ke arah meja guru. Tatapan memelas Nara pun tidak lagi membuahkan hasil yang bagus.
"Sudahlah, kasih saja." Nara pun menyerah. Ia merasa jika sedikit lagi saja berpikir, kepalanya mungkin akan mengeluarkan asap.
Dengan langkah pasti Nara taruh bukunya di meja guru, setelahnya bel berbunyi. Nara yang sudah duduk di kursinya, menghela nafas lega. Terlepas dari ia akan mendapat nilai jelek.
"Kamu selalu bilang kalau di Rumah belajar, tapi sampai sekarang pun kamu tetap gak bisa mengerjakan satu soal pun," kata Sheila yang bingung dengan sahabatnya itu.
"Semua orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing," jawab santai Nara. Itulah kalimat pamungkas yang selalu ia gunakan saat orang-orang mulai tidak habis pikir dengan betapa bodohnya Nara.
Sheila yang tahu Nara akan berkata seperti itu hanya bisa menggelengkan kepala. "Lihatlah Rei! Kalian benar-benar sangat berbeda. Kayak langit dan bumi, kayak senin ke minggu yang jauh," ucap Sheila sembari melihat salah satu teman laki-laki sekelasnya yang tengah duduk di kursi-nya, membaca sebuah buku.
Jika dibandingkan dengan siswa satu itu, Nara memang tidak ada apa-apanya. Ibarat Nara itu semut sedangkan Rei seekor gajah. Kenapa semut dan gajah? Karena Rei sangat terlihat berkat kepintarannya hingga mampu mendapat peringkat satu sesatu sekolah sedangkan Nara, siapa yang mau melihatnya? Tak ada yang istimewa selain menjadi murid dengan peringkat terakhir sesatu sekolah.
"Tapi, apa gak terlalu membosankan hidupnya yang isinya cuma belajar, belajar dan belajar," kata Nara dengan suara sedikit keras, seolah sedang menyindir Rei.
"Nara!" Sheila sedikit membentak. Nara yang melihat tatapan tajam Sheila pun, diam.
"Gimana bisa kamu berkata seperti itu tanpa melihat diri kamu sendiri lebih dulu," ucap Sheila dengan nada pelan.
Nara tidak menjawab, kembali memperhatikan Rei yang tidak bergerak sedikit pun. Apakah semenarik itu membaca buku? Seperti itulah yang tengah dipikirkan Nara.
"Sudahlah, ayo ke Kantin," kata Nara sembari berdiri dari duduk.
Nara dan Sheila melangkah pergi dari kelas yang hanya menyisakan Rei. Manik mata yang semula hanya tertuju pada buku, menoleh ke arah pintu di mana Nara dan Sheila baru saja menghilang dari sana.
Bukan hanya bodoh Nara juga pelupa. Sudah setengah perjalanan, Nara lupa membawa dompet bahkan handphone. Alhasil harus kembali ke kelas, menyuruh Sheila duluan untuk mengamankan kursi, karena Kantin pasti sangat penuh.
"Pakai uang aku dulu saja, Na."
"Nggak, La. Selagi masih terjangkau jaraknya, aku lebih baik mengambilnya." Saat ada yang lebih mudah, Nara lebih memilih yang susah. Nara memang gadis yang unik. Padahal nanti di Kelas uang Sheila bisa langsung digantikan, namun Nara memilih kembali ke Kelas.
Selangkah lagi masuk ke dalam Kelas, langkah Nara terhenti di depan pintu. Ditatapnya Rei yang sedang tertidur, bukan? Melihat dari posisi kepalanya di atas lengannya yang terlipat di meja. Dengan langkah pelan Nara memasuki kelas. Berhenti di hadapan Rei yang benar tertidur. Nara pikir lelaki itu akan terus membaca buku. Ada saatnya seorang Rei merasa lelah.
Nara yang memperhatikan wajah Rei yang nampak sempurna itu, semakin mengakui betapa tampannya teman sekelasnya itu. Nara pun teringat saat pertama kali melihat Rei, ia sempat memiliki perasaan pada lelaki satu itu karena wajahnya yang type Nara sekali. Namun, berkat sikap dingin Rei yang bahkan mengalahkan es di Kutub Utara, Nara memutuskan tidak lagi menaruh perasaan padanya.
Mendengar langkah kaki yang kian mendekat buru-buru Nara ke mejanya, tidak ingin ketahuan sedang memperhatikan Rei, dan berkat rasa takut ketahuan itu, Nara tidak memperhatikan langkah. Nara tersandung kaki kursi, dan...
Bugh
Tubuh Nara menghantam lantai dengan suara yang nyaring. Bahkan Rei yang tadi tertidur pun perlahan membuka mata, menatap datar Nara yang masih tengkurap, seperti pancake jatuh ke lantai. 2 siswi yang baru memasuki kelas pun, terhenti langkahnya dengan wajah terkejut. Bukankah terjatuh dalam posisi seperti itu begitu menyakitkan untuk bagian depan badan?
Selain merasa sakit pada badan bagian depan, Nara harus menanggung malu. Memalukan sekali kamu, Na.
Dengan wajah menahan malu, Nara berdiri dari posisi tengkurap tanpa ada yang berniat membantu. Berjalan ke arah meja-nya, mengambil dengan cepat dompet dan handphone. Melangkah keluar dari kelas dengan kepala yang menunduk.