"Lo nggak papa, Sya? Lo murung banget, kenapa?” tanya Sheren di jam istirahat pertama.
“Ren, kayaknya gue tetep nggak bisa bohongin perasaan gue sendiri, kalau gue cinta sama Kak Ethan. Tapi Kak Genta? Gue bingung banget, Ren.”
Sheren mengangguk mengerti. Ia tahu Rhesya begitu mengagumi Ethan. Seperti halnya ia yang mengagumi Hito. Tetapi keadaan Rhesya semakin dipersulit ketika ada sosok lain yang menjadi lebih dekat dengan dirinya. Apalagi, ia adalah Genta, teman Ethan sendiri. Sheren mengusap pelan pundak Rhesya untuk lebih menyabarkan wanita itu.
“Besok pertandinganya. Nanti malam gladi bersih. Kak Ethan lagi nggak baik-baik aja, Ren. Gue khawatir besok fokus dia kepecah. Mereka udah dilepas juga dari Pak Ali. Semua beban ada di Kak Saka sekarang.”
“Lo mau nemuin Kak Ethan? Mastiin dia baik-baik aja? Terus Kak Genta?”
Rhesya tahu jika keinginanya sungguh bodoh. Tetapi Rhesya akan lebih mementingkan perasaanya untuk saat ini. Ia terlalu banyak menutupinya, belajar menerima Genta memang tidak mudah ketika cinta pertamanya masih terus bersemayam, seolah enggan mati. Rhesya bangkit dari duduknya.
“Mau ke mana?”
“Kamar mandi, bentar.”
Sheren hanya mengangguk meskipun bingung dengan Rhesya yang tiba-tiba berlari keluar dari kelas. Padahal jam istirahat sudah hampir berakhir. Rhesya mencari Ethan di sekitar kelas 11 IPS 3. Namun tidak ada. Ia malah melihat Genta yang baru saja datang dengan Alvian dari kantin. Cepat Rhesya bersembunyi di balik tembok belakang kelas IPS.
Aman, Rhesya tidak ketahuan oleh Genta. Namun ketika ia hendak berbalik, tidak sengaja kepala Rhesya yang setengah menunduk itu menabrak tubuh seseorang. Ia hendak memaki, sebelum mendongak dan mendapati Ethan yang berdiri di sana, sambil membawa es teh dalam plastik, juga mulutnya yang masih mengunyah makanan.
“Ngapain?” tanya Ethan bingung.
Bersamaan dengan Lana juga Saka yang datang dari belakang tubuh Ethan. Mereka terlihat bingung, tetapi lebih malu lagi Rhesya yang seolah tertangkap basah oleh ketiga orang itu. Seperti biasa, Lana enggan menanggapi, jadi ia lebih dulu meninggalkan mereka.
“Cari Genta? Dia kayaknya balik lewat depan.” Saka menduga sambil mengambil plastik es teh di tangan Ethan. Ini benar keduanya berbagi minuman dengan satu sedotan? Perasaan Rhesya menghangat hanya karena melihat bagaimana dekat persahabatan kedua orang di hadapanya.
Sepertinya bukan. Ethan dapat mengerti dari pandangan Rhesya padanya. Ia juga teringat akan obrolan kemarin malam dengan Genta di lorong rumah sakit.
“Lo duluan aja, Ka.”
“Gue bawa ya es teh nya.”
“Habisin aja.”
“Lo minum air putih gue aja ntar.”
Ethan hanya mengangguk sebagai jawaban kepada Saka yang pergi meninggalkan mereka. Setelah tubuh Saka menghilang dari balik tembok, keduanya terlibat diam beberapa detik. Bukan karena apa, tetapi Rhesya begitu berjuang menahan degupan jantungnya yang tidak henti bertalu untuk pria di hadapanya.
“Mau ngomong sama gue?” tanya Ethan.
“Em, iya, tapi nggak penting juga sih, Kak. Gue balik kelas aja. Maaf…”
“Sya.”
Rhesya mendongak kembali. Bola mata cokelatnya bertemu dengan manik hitam Ethan yang pekat. Angin pada pohon kersen tepat di sebelah mereka, membuat bulu roma Rhesya berdiri. Ia meremas sendiri roknya gugup dengan rona merah di pipinya yang dapat Ethan lihat dengan jelas.
“Bilang aja. Gue dengerin lo.”
Rhesya merasa sedang terbang ke alam mimpi. Hanya ada dirinya dan Ethan di sana. Ia lupa caranya bernapas. Ia lupa dengan hari-harinya yang memburuk. Bunga gypsophila yang mengering di selipan buku diary Rhesya dalam kamarnya. Bagaimana ia mencintai Ethan hanya dalam tulisan panjang tentang indah mata pria itu?
“Gue…”
Ethan sudah dapat menebak hanya dari melihat gelagat wanita di hadapanya. Suasananya sungguh rumit. Ia harus menghadapi kejadian berulang dalam pertemananya. Belum juga selesai dengan Hito, kini sudah dimulai lagi dengan Genta.
“Apa?” Ethan merendahkan wajahnya untuk menatap Rhesya yang menunduk malu-malu.
“Mau ketemu lo.”
Akhirnya Rhesya berani juga mengatakanya. Tujuan yang dari semalam ia pikirkan sampai menyita waktu tidur. Ethan mengangguk tanpa berpikiran macam-macam. Ia melihat arloji di pergelengan tangan kiri. Jam istirahat sudah habis, bersamaan dengan bel sekolah yang berdering dua kali.
“Lo masih ada kelas?” tanya Ethan.
“Masih. Tapi…”
“Mau bolos jam pelajaran? Berani, ya…” Bibir Ethan tersungging senyum ringan, namun terlihat begitu manis di mata Rhesya.
Wanita itu hanya balas tersenyum malu-malu pada Ethan. Jika waktu dapat disita, Rhesya ingin menghentikan semuanya. Ia ingin duduk bersama Ethan lagi seperti di Dufan saat itu.
“Mau ikut gue?”
“Ke mana, Kak? Lo masih ada pelajaran, kan?”
“Pak Andre. Biasanya ngasih tugas aja. Mau?”
Rhesya mengangguk setuju dengan bersemangat. Biarkan ia melewati satu mata pelajaran untuk duduk bersama Ethan di pinggir kolam renang dalam SMA yang ketika itu begitu sepi. Semua anak sudah memasuki kelas masing-masing. Mereka tidak memiliki jadwal kelas berenang juga. Jadi, Ethan memilih tempat yang sesuai untuk dirinya dan Rhesya berbicara.
“Ada apa, Sya? Lo udah nggak bisa nutupin apapun dari gue lagi. Lo kenapa belum bisa balik suka sama Genta? Dia, udah jatuh cinta, Sya. Lo masih inget pesen gue di parkiran, kan?” Ethan mengawali.
“Masih, Kak. Tapi susah. Gue udah nyoba, tapi nggak bisa.”
“Jadi bener?”
“Hem?” Rhesya menoleh pada Ethan yang juga balik menatapnya. Wajah mereka begitu dekat. Rhesya dapat melihat bagaimana kini pria itu berada tepat menatapnya. Hanya untuknya. Ini bukan surga, kan? Rhesya sungguh ragu.
“Lo suka gue, Rhesya?”
Rhesya merasa suhu tubuhnya mendadak menaik. Jantungnya berdebar tidak karuan. Wajah Rhesya memerah karena sangking sesaknya. Jadi, kini Rhesya sudah ketahuan jika mencintai Ethan? Sudah?
“Dari mana Kak Ethan tahu?”
“Dari hari pertama gue ketemu lo di parkiran. Hari-hari di mana gue mergokin lo sering merhatiin gue. Jadi bener?”
Rhesya bingung harus menjawab apa. Tetapi ia sudah tidak dapat berkelit lagi. Kabur pun percumah. Ia layaknya tikus got yang tertangkap kucing jalanan. Rhesya tidak memiliki kesempatan untuk bersembunyi.
“Maafin gue, Kak. Maaf…”
“Lo pernah mikirin perasaan Genta kalau dia tahu semua ini, Sya?”
“Kak Ethan jangan salah paham. Justru gue suka lo duluan sebelum dijodohin sama Kak Genta…” Rhesya berusaha jujur kali ini, meskipun jantungnya ingin melompat tercebur ke dasar kolam, “gue udah diem-diem lihatin lo dari sejak masuk SMA. Bukan karena gue yang sering ada di sekitar kalian semenjak sama Kak Genta.”
“Berarti gue salah nanya. Gimana perasaan lo setelah tahu Genta itu temen gue. Orang yang diem-diem lo suka?”
“Gue tahu ini masalah, Kak. Gue udah nyoba berulang kali, tapi lo selalu ada di sini, di hati gue. Gue bingung. Bingung sama semuanya. Tapi gue udah tahu jawaban lo dari waktu di hysteria kemarin. Lo nggak akan berurusan sama cewek. Lo pasti bakalan lebih milih temen lo. Jadi, gue rasa, gue mesti ngerti, kalau itu mustahil. Iya kan, Kak?”
“Ternyata lo masih inget itu. Sya, hidup gue bukan cuma soal cinta. Hidup gue udah diatur dan lebih daripada yang lo tahu. Gue harus mikir masa depan gue yang udah kesusun dari sejak kecil. Bagi gue, cinta itu nggak ada, Sya. Gue pernah pacaran satu kali sama Saskia, lo pasti tahu dia. Anak basket cewek SMA. Itupun gagal karena banyak hal yang mesti gue pertimbangin. Gue nggak hidup buat jatuh cinta, Sya. Gue hidup buat masa depan gue.”
Mimpi, ya? Bahkan Rhesya sudah dapat melihat bagaimana cerah masa depan Ethan di tahun kedua sekolahnya. Ethan memang pantas mendapat banyak pujian atas kerja kerasnya selama ini. Ethan adalah seseorang yang banyak memiliki cita-cita, dan hebatnya semua itu berjalan sesuai impian semua orang. Bagaimana mereka begitu iri dengan pencapaian Ethan dalam segala bidang prestasinya. Rhesya mengangguk mengerti meskipun sedikit sulit membendung air matanya.
“Maafin gue, Sya.”
“Lo nggak perlu minta maaf Kak Ethan. Lo udah buat keputusan besar, yang jadi mimpi semua orang. Nggak heran gimana mereka iri sama lo. Gue harap, lo bisa jatuh cinta sama orang yang tepat di kemudian hari, Kak. Cinta nggak seburuk itu.”
Tetapi bagi Ethan cinta memang seburuk itu. Ia selalu menjadi masalah dalam romansa orang-orang yang bahkan dirinya sendiri saja selalu kosong untuk jatuh cinta pada orang baru, setelah mengakhiri hubunganya dengan Saskia. Impian, Ethan kini hanya harus fokus dalam segala pencapaianya.
“Hm, gue paham.”
“Gue cinta lo Kak.” Wajah Rhesya bersemu merah ketika mengungkapkanya lirih sambil memandang bayangan mereka berdua pada permukaan air kolam, “lo cinta pertama gue. Gue yakin kalau itu lo. Gue beruntung bisa kasih cinta yang nggak pernah gue rasain ke siapapun buat lo. Semua orang selalu mandang lo musuh buat mereka tanpa dapat lo pahami, karena mereka takut terancam posisinya ketika ada di samping lo, tanpa mereka tahu cara pikir lo yang sederhana. Dan ketika gue lihat itu semua, gimana cara lo memperbaiki dan menjaga persahabatan kalian, gue semakin jatuh cinta. Tapi sayang, waktunya salah.”
“Makasih banyak, Sya. Makasih, lo buat gue hidup lagi, secara nggak langsung. Gue bukan enggan memperjuangkan lo, tapi…”
Rhesya menoleh pada Ethan yang menghentikan ucapan. Memperjuangkan? Apa maksud dari kata itu? Jantungnya berdenyut nyeri. Apa pernah cinta Rhesya terbalas oleh Ethan? Apa pernah?
“Lo bukan punya gue, Sya. Lo milik Genta. Gue nggak sebaik Genta. Percaya sama gue. Dia bisa meratukan wanitanya, sedangkan gue nggak. Gue keras akan mimpi gue, tapi terima kasih, lo udah bikin gue sadar, kalau gue terlalu tertutup buat jatuh cinta. Mungkin itu yang bikin gue putus dari Saskia.”
“Apa maksudnya?”
Ethan menghadap Rhesya. Lama sekali mereka terlibat adu pandang. Air-air dalam kolam itu seolah berkecipak kepada mereka. Mendengar konsonan sunyi ini, Ethan tidak menyangka jika hatinya tiba-tiba menjalar kehangatan.
“Gue mau lo perjuangin lagi Genta. Jangan pernah kecewain dia berulang, Sya. Dia bisa jagain lo lebih daripada gue. Pastiin dia baik-baik aja dan bisa hidup berdua sama orang yang tepat. Nggak masalah kan, Sya? Kalau kita gantungin perasaan kita di sini?”
“Kak Ethan…” Rhesya meneteskan air matanya perih ketika mendengar ucapan Ethan, “kenapa mesti kayak gini?! Kenapa lo mesti bilang, kalau lo bisa aja balas perasaan gue?! Ini terlambat! Gue benci!!”
“Sya, denger…” Ethan meraih pundak Rhesya, menghapus air mata di pipi wanita itu menggunakan jari panjangnya, “kita dua manusia yang datang di tempat dan waktu yang salah. Jangan dipaksain, jangan pernah. Kita bisa bilang kalau kita saling cinta, tapi gue bukan Genta yang bisa bahagiain lo lebih lama. Lo harus bahagia, Sya. Lebih daripada saat lo ketawa di hysteria. Lebih daripada lo waktu makan corndog sama gue, atau naik bianglala sama gue. Tolong, Sya.”
Rhesya tidak bisa. Ia terlalu lelah untuk menggantungkan lebih banyak perasaanya pada Ethan. Ia hampir mendapatkan cintanya, jika waktu tidak mendorongnya jatuh dalam tempat yang salah. Pria itu, cinta pertamanya telah membalas perasaanya. Tetapi mengapa?
“Kita bisa lari bareng, Kak Ethan…”
“Nggak…” potong Ethan cepat, “ini bukan tentang perasaan lo, ataupun gue. Ini soal Genta yang banyak menderita karena rumahnya sendiri. Rhesya, maafin gue…” Ethan meraih puncuk kepala Rhesya, yang kemudian jatuh dalam pelukanya.
Ethan telah penasaran dari awal ia melihat Rhesya yang selalu mencuri pandang padanya. Senyum dan tertawa Rhesya ketika malu-malu di hadapanya. Ethan tidak pernah melihat wanita yang masih dapat menjaga diri dengan baik ketika berdua denganya. Wanita yang tidak pernah melewati batas sikap ketika berjalan bersamanya.
“Terus gimana sama cinta gue, Kak? Gimana?!” Rhesya memukul pelan pundak Ethan.
“Buang ya, Sya.”
“Lo gila?! Lo kira segampang itu?!” Rhesya melepaskan dirinya dari pelukan Ethan.
“Mau gimana? Lo nggak bisa hadirin dua orang dalam hati lo, Sya. Lupain gue, lo harus belajar buat jatuh cinta sama Genta. Cinta nggak egois kan, Sya? Iya, kan?”
Tetapi buat lo, gue harus egois. Ingin sekali Rhesya jawab seperti itu. Namun, tidak bisa. Ia terlalu kelu untuk menyakiti Ethan lagi dengan perasaanya yang berantakan. Rhesya menghapus air mata di pipi kasar, sebelum bangkit dari duduknya. Tidak bisa berlama-lama dengan Ethan, ia memilih berlari meninggalkan kolam renang. Meninggalkan Ethan yang menunduk dan melepas Rhesya pergi.
Pria itu menyunggingkan senyumnya samar memandang bayanganya sendiri di permukaan air yang tenang. Ethan memang pecundang dalam hal percintaan. Tidak seperti pernyataan tegas Genta di lorong rumah sakit yang mengatakan akan memperjuangkan cintanya, meskipun harus berhadapan denganya. Bagi Ethan, ini bukan waktu yang tepat untuk jatuh cinta dan memperebutkan wanita layaknya bola basket. Ia harus kembali lebih rasional dalam menghadapi permasalahan ini. Meskipun ia tiba-tiba merasa sakit dan sesak di dada untuk kedua kalinya. Apa benar, jika rasa penasaran Ethan hari itu telah berubah menjadi cinta ketika mendengar tawa Rhesya di hysteria? Apa benar? Bukankah pemenangnya adalah Saskia?
“Parah banget, Than?”
Ethan mendongak cepat ketika mendengar suara seseorang yang ikut duduk di pinggir kolam renang. Hito? Pria itu datang ke sekolah hari ini tanpa mengenakan seragam dengan kening yang masih berhias plester.
“To? Lo ngapain di sini?”
“Ngurus pindahan.”
“Makud lo?”
“Sorry, Than. Buat semuanya. Gue keras kepala. Egois. Gue tahu banyak nyusahin kalian selama ini. Gue minta maaf.”
“Lo ngurus pindahan apa? Bukannya lo cuma pulang bentaran?”
“Gue pulang ke Osaka, Than. Gue bakalan nerusin pendidikan di sana, sampai lanjut kuliah.”
“Bukanya bisnis ayah lo masih belum selesai di Indo? Kenapa mesti pindah? Kenapa nggak nunggu kelulusan? Seenggaknya kita bisa wisuda bareng?”
“Gue juga maunya gitu. Tapi, setelah dipikir ulang, gue nggak bisa di sini terus, Than. Gue harus berkembang, biar ayah nggak terus-terusan bahas lo. Gue pulang sendiri. Ayah sama ibu masih di sini, buat nerusin sisa pekerjaannya. Gue nggak mau emosi terus-terusan sama lo cuma karena omongan ayah.”
“To…”
“Haha, udah jangan minta maaf. Bukan salah lo.”
“Kapan berangkatnya?”
“Habis turnamen kalian. Jadi, lo harus menang. Bawa pialanya pulang. Seenggaknya hadiah buat perpisahan kita.”
“Lo dateng, kan?”
“Gue dateng, pasti,” senyum Hito seolah kembali seperti dulu. Ethan menyunggingkan bibirnya menepuk pundak pria itu. Keduanya terkekeh menatap air kolam yang tenang.
“Jadi, Ethan lagi jatuh cinta?” tanya Hito meledek, “kedua kalinya setelah Saskia?”
“Saskia, tetep jadi yang pertama, To. Nggak peduli mau sebanyak apapun yang dateng nantinya.”