"Bagus! Gladi kotor begini Ethan tidak dapat dihubungi! Apa kita gagalkan saja turnamen ini, iya?!” bentak Pak Ali yang memekakkan seluruh isi lapangan indoor basket sekolah. Membuat suasana tampak sangat hening dan menyeramkan.
“Maafkan kami, Pak. Kami masih merasa mampu sampai ke turnamen.” Saka menundukkan kepala.
“Saka, saya sangat kecewa! Camkan ini baik-baik! Saya berhenti mendampingi pelatihan kalian sampai di hari turnamen…”
“Tapi, Pak…”
Plak!
Iya, benar. Rhesya sampai menutup mulutnya sendiri menggunakan telapak tangan, ketika melihat dengan jelas bagaimana pelatih basket sekolahnya memukul wajah Saka di hadapan semua anak yang malam itu menonton gladi kotornya. Seolah sudah kebal, Saka kembali menghadap lurus ke depan, meskipun kini perasaanya begitu terluka. Ia sudah sangat muak mendapat semua perlakuan itu.
“Saya tidak peduli lagi, Saka.”
“Maafkan kami, Pak Ali.” Saka masih terus membungkukan badanya beberapa kali.
Setelah selesai dengan kalimat itu, Pak Ali pun pergi meninggalkan anak-anak didiknya, sekaligus lapangan. Gladi kotor malam ini berjalan sesuai arahan Saka, tanpa kehadiran Ethan. Hal yang menjadi bahan evaluasi dan berakhir pukulan untuk kesekian kalinya di wajah Saka.
“Nggak papa, Ka?” tanya Lana meraih pundak Saka yang sibuk mengusap ujung bibirnya yang tergores dan sedikit mengeluarkan darah.
“Nggak papa.”
“Ke mana sih, Ethan? Sialan. Kenapa pergi di saat-saat gini?” Alvian ikut geram di sebelah Genta dan Izal.
Genta menghela napas. Ia meraih pundak Rhesya lembut, sambil diusapnya. Baru pertama kali ini Rhesya melihat bagaimana pelatih ekstrakurikuler basket sekolahnya begitu tegas dan tempramen dalam mendidik mereka. Rhesya merasa kasihan pada Saka yang selalu mendapatkan imbasnya dari kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan teman-teman lainya.
“Mau pulang sekarang?” tanya Genta.
“Ayo, Kak.”
Keduanya bangkit dari tempat duduk. Meskipun masih sama-sama bingung dan mempertanyakan ke mana perginya Ethan malam ini. Tidak ada kabar, bahkan ketika Genta ikut mengirimkan pesan teks, ponsel pria itu sedang dalam keadaan tidak aktif. Tidak kalah khawatirnya dengan Rhesya yang tiba-tiba memikirkan Ethan lagi sesampainya di parkiran motor.
“Ta, langung pulang?” tanya Izal yang datang menyusul mereka.
“Iya, gue anter Rhesya dulu.”
“Habis itu bisa balik ke sini lagi? Buat nyari Ethan. Nggak biasanya dia ilang gini.”
“Pasti.”
Setelah mendapat jawaban yang ia inginkan, Izal berlalu sambil menganggukan kepala. Rhesya juga dibuat penasaran tentu saja. Raut garis cemas di wajah Rhesya tidak dapat ia sembunyikan, ketika Genta mengenakan helm di kepalanya.
“Lo mikirin apa?” tanya Genta selesai mengaitkan helm pada dagu Rhesya.
“Hah? Em, enggak, Kak.”
Genta tahu jika Rhesya tengah membohonginya. Entah mengapa raut wajah itu begitu membuat Genta tidak lega. Apa yang membuat Rhesya mengerutkan kening seolah ikut mencemaskan suatu hal? Tidak ingin mengambil pusing, apalagi mengingat ia baru saja memperbaiki hubunganya dengan Rhesya, Genta hanya tersenyum sekilas, sambil menaiki motornya.
Sepanjang perjalanan, mereka terlibat saling diam. Genta selalu mencuri pandang pada Rhesya dari spion motornya dan mendapati wajah wanita itu yang tengah berpikir keras. Genta tidak ingin berpikiran buruk, tetapi ia juga ingin tahu.
“Sya, lo sakit?” tanya Genta sedikit mengeraskan suara.
“Enggak, Kak.”
“Kenapa diem aja? Lagi mikir apa?”
“Nggak ada Kak Genta.”
“Ethan?”
Rhesya berharap ia salah dengar ketika Genta menyebut nama pria yang memang sedang ada di dalam pikiranya. Ragu, Rhesya menelan saliva kemudian menggelengkan kepala. Genta hanya dapat menyunggingkan senyum. Bohong lagi. Genta sudah banyak melihat bagaimana cara Rhesya ketika menatap Ethan. Mungkin saja sama seperti wanita lainya, Rhesya pun sempat dibuat terpesona dengan pribadi Ethan. Hanya sebatas itu yang dapat Genta luruskan dalam otaknya.
Motor berhenti di gerbang rumah Rhesya tepat pukul 9 malam. Rhesya turun dari motor Genta, kemudian melepas helm. Genta pun ikut turun dan meraih benda di tangan Rhesya sebelum merapihkan rambut cantik wanita itu. Sikap ringan Genta yang selalu membuat jantung Rhesya terdengar bertalu di telinga. Sangat kencang.
“Boleh gue nanya sesuatu, Sya?” tanya Genta.
“Boleh. Apa, Kak?”
“Menurut lo, Ethan orangnya gimana?”
“Hem?” Rhesya seperti mendengar hal-hal aneh yang belakangan ini mengusik pendengaranya.
“Gue penasaran.”
“Kenapa tiba-tiba nanyain Kak Ethan?” Rhesya berusaha menutupi gugupnya dengan senyum aneh.
“Menurut lo aja.”
“Em…”
Ingin sekali Rhesya menjawab sesuai dengan apa yang sedang ia pikirkan tentang Ethan. Hari pertama ia melihat cowok itu adalah ketika demo ekstrakurikuler Paskibra Ardyaksa kepada calon siswa baru SMA. Tegas suara Ethan, kemudian senyumnya ketika selesai dengan demo suksesnya. Siapa yang tidak semakin terpesona ketika melihat pria itu mengenakan jersey basket dan berlarian membawa bolanya memenangkan lomba persahabatan jurusan.
Semua lintasan ingatan tentang Ethan yang tiba-tiba menggenggam tanganya di hysteria. Tempat yang paling Rhesya takutkan. Tetapi ketika bersama Ethan, semua takutnya mendadak sirna. Lalu sekarang, apa yang akan Rhesya jawab pada Genta untuk mendeskripsikan sosok Ethan?
“Kak Ethan, keren.”
“Itu aja?”
Genta menatap Rhesya semakin tajam. Takut, Rhesya melangkah mundur sedikit demi sedikit. Ia tidak mengerti dengan arti tatapan tajam Genta kali ini. Ada apa? Genta tidak sebodoh itu. Rhesya tahu.
“Lo tahu apa masalah Ethan sama Hito? Mau gue kasih tahu?” Genta duduk di atas motornya, sambil melipat tangan di depan dada.
“Apa Kak?”
“Lo tahu Aureen? Dia pacar Hito, tapi dia suka sama Ethan. Lo pasti udah bisa nebak gimana kondisinya kan, Sya? Ini sulit buat semuanya.”
“Tapi gue rasa, Kak Ethan nggak begitu. Kak Ethan bakalan lebih milih pertemanan, daripada cewek,” jawab pasti Rhesya.
“Apa?” Genta yakin ia tidak sedang salah dengar.
Rhesya merasa bahwa tindakanya terlalu jauh. Ia menundukan kepala menekuri sepatunya. Genta tidak ingin seperti Hito yang selalu ingin bersaing dengan Ethan. Genta bukan Hito yang seberani itu. Ia bahkan hanya benalu dalam persahabatan mereka. Tetapi mendengar pembelaan Rhesya untuk Ethan, rasanya Genta sedikit salah menduga jika Rhesya hanya dapat mendeskripsikan Ethan sebatas kata, ‘keren’.
“Lo udah tahu jauh tentang Ethan?”
“Bukan gitu Kak Genta, gue…”
“Kayaknya lo kenal dia.” Genta menyunggingkan ujung bibirnya.
“Bukan. Tapi, gue cuma duga aja, Kak. Lagipula, gue nggak tahu masalah kalian apa.”
“Baguslah. Lebih baik lo nggak tahu,” lirih Genta kemudian berbalik, hendak naik ke motornya.
“Kak Genta marah?”
Marah? Entahlah, rasanya Genta begitu takut dan kurang nyaman dengan cara bicara Rhesya tentang Ethan. Seolah wanita itu telah banyak meluangkan waktunya untuk mendengar isi hati Ethan, yang Genta sendiri pun tidak pernah melakukanya.
“Buat apa? Lo masuk. Istirahat. Jangan khawatir soal Ethan, kita bisa urus semuanya.”
“Maksud Kak Genta?” Rhesya meraih hoodie pria itu supaya tidak buru-buru menaiki motornya, ketika selesai mengenakan helm.
Genta berbalik, “lo khawatirin Ethan nglebihin anak-anak lain. Kenapa?”
“Kak Genta salah paham.”
“Muka lo nggak bisa bohong, Sya. Lo ada hubungan sama Ethan?”
“Kak Genta jangan keterlaluan.”
“Buat urusan apapun, gue masih bisa sabar, Sya. Tapi buat Ethan, gue nggak bisa, apalagi itu nyangkut lo.”
Setelah mengatakanya, Genta melepas tangan Rhesya pada hoodie-nya pelan, kemudian bergegas menaiki motor. Rhesya pun sudah tidak memiliki banyak kekuatan lagi untuk menahan pergi Genta dari pandangan matanya. Rhesya mengerti sifat Genta yang pendiam sebagai pengamat dalam segala situasi. Pria itu begitu jeli dalam memandang dan mencerna suasana di sekitarnya. Sampai-sampai, dugaanya tidak pernah melenceng sedikit pun tentang Rhesya yang memang tengah mencemaskan Ethan.
***
“Penerbangannya ditunda.” Lana menunjukkan jadwal keberangkatan pesawat menuju Osaka, Jepang atas nama Hito pada anak-anak lainnya di pelataran halaman SMA, bersamaan dengan Genta yang datang setelah mengantar Rhesya.
“Berarti Hito masih di rumah harusnya,” tebak Izal.
“Gue coba hubungin Aureen.” Saka mengotak-atik ponsel di tanganya.
“Lo kenapa?” Alvian berbisik pada Genta yang sudah berdiri di sebelahnya dengan wajah sedikit memerah.
“Nggak papa.”
“Berantem sama Rhesya lagi?”
“Kayaknya omongan lo bener, Al.”
“Yang mana?”
“Rhesya suka sama Ethan. Cara dia lihatin Ethan aneh. Gue…”
“Ya elah, itu bercandaan gue doang kali. Kenapa lo masukin hati, dah.”
“Kenapa ya…”
“Bego, sial.” Alvian menepuk kepala Genta lirih supaya lekas tersadar.
“Mereka di rumah sakit.”
Genta dan Alvian mendongak bersamaan pada Saka yang selesai menutup panggilanya dengan Aureen. Mereka buru-buru berlari pada kendaraan masing-masing untuk menuju rumah sakit. Berbeda dengan Genta yang berdiri mematung memikirkan apa yang tengah terjadi di sini. Seperti orang lelah, Alvian menepuk pundak Genta lagi supaya bergegas ketika motor Saka sudah lebih dulu melesat meninggalkan gerbang sekolah.
Tidak ada bulan dan bintang di angkasa. Langit terlihat sangat mendung dengan banyak gumpalan awan yang siap menjatuhkan rintik hujanya ketika Genta mendongak menatap hamparan itu dari atas motornya. Terangnya perkotaan membuatnya semakin resah. Alunan nada-nada sumbang dan gitar sendu membuatnya jatuh dalam ketakutan. Jika memang kekhawatiranya itu benar, Genta bisa apa?
Jika memang Ethan adalah pilihan Rhesya? Genta bisa apa? Ia hanya bisa melihat keduanya bahagia, seperti ketika ia melihat Aureen bersanding dengan Hito, juga mengejar cinta Ethan. Seperti ketika ia ikut berlari bersama anak-anak lainya menelusuri lorong rumah sakit untuk menemui Ethan yang tengah duduk bersama Aureen di kursi tunggu.
Tatap mata yang pertama kali Genta lihat adalah mata Ethan. Pria itu memandangnya dingin, seperti Genta yang juga begitu ingin memastikan jika semua dugaan-dugaanya itu tidak benar. Ia tidak ingin menertawakan dirinya sendiri karena bernasib sama dengan Hito yang saat ini terbaring di ruang rawat.
“Hito nggak papa?” tanya Saka pada Ethan.
“Hm, cuma luka ringan,” jawab Ethan, “sorry, lo pasti dimarahin Pak Ali lagi.”
“Nggak papa. Nggak masalah.” Saka menepuk pundak Ethan, menenangkan pria itu yang pasti begitu merasa bersalah.
“Lo mau ngomong sama gue, Ta? Ngapain lihatin gue mulu?” Ethan beralih pada Genta.
“Nggak.”
Ethan bukan sekali mengenal kepribadian Genta. Pria itu memiliki sisi pengamat yang baik. Ethan dapat menduga bagaimana resah Genta ketika melihat dirinya. Ia pun tidak kalah takutnya, jika rumor buruk yang ada di tangan Hito itu terdengar sampai ke telinga Genta. Ia sudah tidak ingin lagi meluruskan apapun. Cukup dengan Hito yang banyak menguras tenaga.
“Udah bisa dijenguk?” tanya Lana.
“Masuk aja.”
Satu per satu bergiliran masuk, namun tidak dengan Genta yang memilih duduk di kursi tunggu, seberang Ethan duduk. Keduanya masih bertahan, bahkan ketika detik waktu terus mengaburkan orang-orang yang lalu-lalang di lorong itu. Sampai habis, mereka berpamitan untuk pulang, menyisakan Ethan dan Genta yang masih berada dalam posisi yang sama, hanya untuk saling melempar pandangan.
“Ngomong aja, Ta.”
“Lo bicara sama Rhesya?”
Ethan menyunggingkan senyum tipis di ujung bibirnya. Ia sudah dapat menduga jika ini adalah arah pembicaraan mereka. Ia membenarkan posisi duduknya.
“Iya.”
“Kapan?”
“Di parkiran, lo pun lihat,” jawab Ethan.
“Di luar itu?”
“Apa yang lo denger?” Ethan masih mencoba memberi sedikit penekanan.
“Rhesya pernah manggil gue pakai nama lo. Sekarang dia lagi khawatir banget tahu lo nggak dateng buat gladi kotor.”
Genta merasa sesak ketika mengatakanya. Mengatakan jika ini adalah beberapa fakta yang selalu ia sembunyikan diam-diam. Sedangkan Ethan dapat melihat satu kasus yang sama dialami oleh Hito, yang sudah sangat lelah ia tangani. Ethan mengangguk mengerti.
“Terus?” Ethan menanyakan kembali.
“Gimana kalau dia suka sama lo?”
“Ta, lo mending pulang.”
“Jawab dulu.”
“Genta gue…”
“Gue bukan Hito, Than. Gue bukan dia. Kalau harus bersaing sama lo, gue jelas kalah tanpa perlawanan. Gue cuma benalu di antara kalian. Gue bukan apa-apa di antara kalian. Gue nggak bisa. Tapi Ethan, lo harus tahu satu hal. Gue mulai cinta sama Rhesya. Gue minta Ethan, jangan lagi. Gue nggak akan nyerah kalau soal dia, sekalipun itu lo.” Entah Genta mendapatkan keberanian dari mana untuk berbicara seperti itu di hadapan Ethan, bersamaan dengan detik waktu yang terus bergulir sampai dini hari dengan rintik gerimis yang jatuh di atap rumah sakit.
“Bagus. Gue suka gaya lo.”
“Gue serius Ethan.”
“Lo tenang aja. Gue cuma bagian nonton cerita kalian aja, Ta. Satu lagi, lo bukan benalu.”
Ethan berdiri dari duduknya seusai mengatakan kalimat yang membuat Genta semakin mematung. Ia bahkan tidak dapat menebak bagaimana perasaan Ethan kali ini. Mendadak ia merasa takut dengan ucapan Ethan yang terdengar begitu serius mengatakan kalau dirinya bukanlah benalu. Sama halnya seperti Rhesya.
“Lo ngatain gue cupu. Itu udah jelas kalau gue cuma benalu yang numpang sama lo, sama kalian.”
“Cupu, bukan berarti benalu, Ta. Balik paud aja kalau nggak paham.”
“Gue nggak akan nyerah, sekalipun dia suka lo atau dia cinta lo, Ethan! Nggak akan!”