Rhesya mengamati tanaman benalu yang merambat di batang pohon balkon Glenn Café. Rhesya datang sendiri. Bahkan tadi pagi, ia berangkat sekolah menggunakan taksi. Tidak ada lagi Genta yang datang, seolah ia telah memberikan kesepakatan terbaik untuk menyudahi ini semua. Tetapi mendadak Rhesya berpikir apakah pernyataanya malam itu sangat melukai Genta? Bahkan ia tidak lagi bertemu Ferdinan beberapa pagi ini di meja makan. Rhesya tidak terlalu terkejut dengan kegiatan pagi yang selalu kosong di rumahnya.
“Minum apa?”
Rhesya mengalihkan perhatianya pada wanita yang berdiri menunggu jawabanya. Acha.
“Alpukat.”
“Makan?”
“Enggak.”
Acha mengangguk, lantas pergi meninggalkan Rhesya yang tidak habis pikir dengan kejadian apa yang baru saja menimpanya. Cintanya berakhir. Hubunganya dengan Ferdinan memburuk. Ia tinggal sendiri membawa keegoisanya. Bagaimana dengan perjodohan yang menjadi budaya itu? Rhesya menyesali perbuatanya yang buru-buru dan naif malam itu. Walaupun bukan berarti ia mendadak berubah pikiran untuk meneruskan perjodohanya dengan Genta.
Tidak butuh waktu lama sampai Acha kembali datang membawa segelas minuman pesanan Rhesya di atas meja. Perempuan itu juga ikut duduk di kursi seberang meja Rhesya. Mengamati wajah muram wanita yang terakhir datang bersama Genta, lantas kini lebih memilih sibuk menekuri benalu di balkon café.
“Ke mana Kak Genta?” tanya Acha.
Rhesya beralih menatap Acha, “nggak sama gue.”
“Lo serius dateng sendiri? Lagi ada masalah?”
“Acha, bisa tinggalin gue sendiri?”
“Terus kenapa lo milih dateng ke sini, kalau nggak mau ngobrol sama gue buat nanyain kabar Genta?”
Rhesya menghela napas. Pukul 3 sore di hari Jumat. Ia membolos latihan pramuka wajib di sekolah, hanya untuk datang ke sini. Begitupula dengan Acha yang memang selalu melewati kegiatan pramuka yang menurutnya tidak penting itu. Ia akan lebih senang membantu temanya mengurus café, ketimbang kegiatan di sekolah.
“Gue cuma mau ke bukit itu. Gue penasaran.” Rhesya mengamati bukit di seberang belakang Gleen Café. Bukit yang pernah Genta janjikan akan membawanya ke sana.
“Lo belum jadi ke sana sama Genta?” tanya Acha.
“Lo tahu?”
“Lah, satu minggu lalu, dia telfon gue jam 4 sore. Katanya mau ke bukit itu sama lo.”
“Hari Minggu kemarin maksudnya?” Bola mata Rhesya membulat.
“Iya, Hari Minggu sore. Belum jadi? Gue kira emang nggak jadi mampir ke sini.”
Rhesya jadi mengerti alasan Genta datang di Hari Minggu itu. Hari di mana ia pulang petang setelah pergi seharian bersama Ethan. Malam di mana ia memutuskan untuk menyudahi perjodohan yang mengikat dirinya juga Genta. Rhesya terlalu egois membiarkan Genta menunggunya berjam-jam di rumahnya. Lalu, ia biarkan Genta pulang begitu saja dengan berbagai macam luka. Apakah sekarang Genta baik-baik saja setelah malam itu? Rhesya tidak pernah melihat Genta lagi di kelas IPS. Juga Ethan dan kawananya, selain di kantin jika tidak sengaja berpapasan.
“Sya. Ada apa?” Acha menyentuh punggung tangan Rhesya di atas meja.
“Nggak, Cha. Gue tahu ini salah gue. Gue mau ke sana. Sendiri.” Rhesya menepis pelan tangan Acha, kemudian meneguk minuman alpukatnya menggunakan sedotan dengan cepat.
“Rhesya, Kak Genta baik-baik aja, kan? Dia udah jarang ke sini.”
“Gue nggak tahu, Cha. Gue pergi dulu.” Rhesya bersiap bangkit meninggalkan selebaran uang untuk Acha di atas meja.
“Sya. Hey!” panggil Acha, meskipun ia kalah cepat dengan Rhesya yang berlalu terlebih dahulu meninggalkan lantai dua.
Acha tahu ada yang tidak beres di sini. Ia buru-buru membuka ponsel, lantas menuliskan pesan pada seseorang. Acha masih berharap, ia tidak terlalu terlambat menghubungi manusia satu itu. Meskipun ia tidak tahu sedang ada di mana Genta sekarang.
***
Ethan melihat daftar pengumuman calon peserta basket nasional di mading gedung basket indoor sekolahnya. Rupanya Hito memang sekeras kepala itu meninggalkan turnamen basket. Bersamaan dengan itu, Saka dan Lana juga memasuki gedung olahraga lengkap dengan jersey basket mereka.
“Hito…”
“Nggak bisa, Than. Kita fokus aja sekarang. Tinggal dua minggu lagi. Nggak ada waktu.” Saka mengingatkan, sambil menepuk pundak Ethan supaya bergegas ke tengah lapangan untuk mengadakan rapat.
“Ethan, ayo. Pak Ali udah lagi ke sini.”
“Lan, ini beneran? Hito sampai segininya?”
Lana mengangguk lemah. Karena memang itu kenyataanya. Ia gagal membawa pulang waktu tiga harinya membujuk Hito pada Saka. Mau tidak mau, pengumuman gugurnya Hito dari daftar pemain inti basket putra sekolah telah tersebar. Tidak ada lagi nama Kazuhiro Akira Nahito dalam list itu. Kini, semua orang tahu, Hito seolah menghilang dari sekolah.
“Aureen nggak ada niat perbaikin ini setelah dia hancurin semuanya, Lan?” tanya Ethan, “apa gue perlu nemuin dia?”
“Udah berakhir, Than. Kita kan cuma fokus basket aja. Nama Hito udah nggak ada lagi di sana. Apa lagi yang mau kita kejar?” Lana menepuk pundak Ethan.
“Dia Hito, Lan. Bukan orang lain.”
Lana mengerti bagaimana maksud Ethan dalam pembicaraan ini. Jika memang ini menyangkut perasaan, Lana tidak akan lagi ikut campur. Jika untuk urusan basket, pasti Lana masih berusaha sekeras apapun yang ia bisa, sampai menyerah menjadi keputusan terakhirnya.
“Gue nggak paham. Itu terserah lo.” Lana berakhir menyudahi percakapanya dan berlalu meninggalkan Ethan, bersamaan dengan Pak Ali yang memasuki gedung. Kedua mata Ethan bertemu dengan sorot mata Pak Ali. Tidak mau ditanya lebih jauh terkait permasalahanya dengan Hito, Ethan memilih pergi menuju lapangan.
“Kita mulai pemanasan sore hari ini buat ngukur, seberapa jauh stamina kalian. Saka, bantu tulis skor,” perintah Pak Ali lantas memberikan alas tulis dan kertas catatan kepada Saka.
“Baik, Pak.”
“Tinggalin Hito. Kamu harus pastikan mereka fokus. Terutama Ethan,” bisik Pak Ali mulai menginterupsi pada Saka.
“Baik, Pak.”
Berat bagi Saka. Meskipun ia terlihat paling keras hati dalam menyikapi semua masalah di sini. Namun tetap saja, ia mengerti maksud Ethan. Hito bukan orang lain. Mereka banyak membuang waktu bersama-sama di lapangan basket. Lapangan ini tanpa Hito bagai daging yang terselip di gigi.
Tetapi siapa lagi jika bukan Saka yang akan menyemangati mereka dalam situasi kali ini? Ia telah kehilangan pemain berbakat seperti Hito? Lantas, apakah ia akan membawa tim basketnya pula pada kekalahan? Ia akan sangat malu jika memang hanya itu yang ia bisa lakukan. Saka memiliki tanggung jawab berat di pundaknya, namun melihat Ethan tampak tidak bersemangat bahkan untuk menjahili anak-anak, membuat Saka tahu jika ini adalah keputusan yang sangat berat.
“Ambil bolanya. Gue mulai dari Darren!” Saka meniup peluitnya sekali.
***
“Di mana?” tanya Genta dengan napas memburu di pukul 5 sore.
“Di bukit?” Acha menjawab seolah bertanya, karena tidak yakin. Rhesya telah pergi dari pukul setengah 4 meninggalkan café-nya. Entah sampai pukul lima sore begini, apakah gadis itu masih ada di sana.
“Lagian lo ngapain deh lama banget.” Acha balik berdecak kesal.
“Sorry, gue jagain Abil dari tadi nggak buka chat lo. Gue pergi ya. Makasih banyak, Cha. Gue traktir lain kali.” Genta menepuk pundak Acha satu kali, lantas berlari kembali menuruni anak tangga lantai dua.
Genta cepat menaiki motornya, untuk menuju jalanan paving seukuran satu mobil di belakang Gleen Café. Ia berharap tidak akan terlambat menemui Rhesya. Meskipun, ia tahu jika Rhesya tidak ingin bertemu denganya, namun setidaknya, ia masih memiliki waktu untuk berdiskusi dengan perempuan itu.
Jalanan di sini, semakin lama, semakin kecil dan menciut. Sampai di ujung paving, Genta menghentikan motornya, lantas menaiki ratusan anak tangga kecil yang agak licin menuju atas bukit. Senja mengiringi langkah Genta yang tergesa dengan keringat yang mulai mengalir di pelipisnya. Suara burung-burung di hutan membuat jantung Genta semakin bertalu.
Sekitar 15 menit, Genta sampai di tangga terakhir. Lahan luas di kelilingi pepohonan tinggi terpampang di depan mata. Matahari sore seolah mengenai wajahnya. Langit yang sangat cantik bertabur mega orange dan jingga. Udara yang sangat sejuk. Genta melangkah pelan mendekat pada sosok siluet wanita di atas tebing, menghadap pemandangan kota yang tampak berkelip dari atas sini. Pemandangan yang sungguh cantik dengan jingga yang mewarnai semesta.
“Sya…”
Rhesya tersentak. Ia membalikkan badan pelan-pelan. Genta? Rhesya menelan saliva kasar. Ia sungguh melihat Genta yang berdiri di sana, dengan napas memburu tengah menatapnya. Seperti sudah lama ia tidak melihat wajah Genta lagi di depan matanya.
“Udah sore. Ayo pulang.” Genta mencoba berbicara secara logis kepada Rhesya.
Rhesya tidak menjawabnya. Ia membalikkan badan, lantas kembali menekuri pemandangan di bawah sana. Sesuatu yang membuat Genta ikut berdiri sejajar dengan Rhesya untuk melihat keindahan apa yang sedang wanita itu saksikan.
“Kenapa di sini?” tanya Rhesya.
“Udah sore. Pulang, Sya. Keburu gelap di bawah. Tangganya juga licin.”
“Kenapa di sini?” Rhesya bertanya tanpa memedulikan ucapan Genta.
“Karena lo di sini.”
Keduanya menatap lurus ke depan. Angin menerbangkan helaian rambut Rhesya yang tergerai cantik. Burung-burung berbondong-bondong pulang ke sangkar setelah berpetualang seharian. Membuat perlahan Rhesya mengerti, banyak bagian dalam hidupnya yang ikut menghilang bersamaan dengan pulangnya burung-burung di langit jingganya.
“Indah banget di sini. Gue nggak mau pulang.”
Genta mengulas senyum tipis di bibirnya. Ia hanya mengangguk mengerti. Memang tempat ini begitu menenangkan. Sangat tenang, sampai membuat Genta lupa akan perasaanya sendiri.
“Gue temenin kalau gitu.” Genta duduk di atas rumput hijau kekuningan dengan kedua kaki ia tekuk.
Rhesya mengalihkan pandangan pada Genta di bawahnya. Sempat tertunda, namun ia dan Genta berhasil di sini berdua. Seperti yang pernah Genta katakan.
“Sya, lo nggak papa?”
“Hm… nggak papa. Lo sendiri?” tanya Rhesya tanpa mau menatap Genta lagi.
“Gue seneng, di sini sama lo. Meskipun telat. Tapi akhirnya gue tetep di sini nikmatin sunset-nya sama lo. Mau gue puterin lagu?”
Rhesya mulai duduk di samping Genta. Menyilahkan kakinya yang masih berbalut rok seragam cokelat pramuka selutut dan tubuhnya yang masih berbalut cardigan rajut berwarna putih panjang. Merasa tanpa jawaban namun artinya mengiyakan, Genta mengeluarkan earphone dari dalam saku jaket, lantas disambungkan pada ponselnya sendiri.
Hati-hati, Genta menyelipkan rambut ke belakang telinga Rhesya, membuat aliran darah di tubuh Rhesya semakin menjalar cepat. Genta juga memasangkan salah satu earphone-nya ke telinga Rhesya, membuat mata mereka beradu. Mata yang seakan sudah lama sekali tidak ia tatap. Mata Genta dan mata Rhesya yang berkilau ketika matahari sore meredupkan sinarnya.
Tanpa ada percakapan karena gugup, Genta juga memasang salah satu earphone-nya di telinga. Lagu pertama terputar. Lagu berinstrumen ringan dari berjudul Sunsetz. Rhesya sering mendengarnya ketika sedang makan di sebuah café klasik. Lagu yang memiliki makna mendalam. Kini ia mendengarnya bersama Genta dalam diam suasana.
When you go away, I still see you…
Kebisuan dan hening ini hanya milik mereka. Jika Genta dapat berkata jujur akan perasaanya sendiri, ia akan berkata jika ia sangat kesulitan untuk bernapas beberapa hari belakangan. Ia banyak berbohong pada Erlie terkait hubunganya dan Rhesya. Kemudian Rhesya yang tidak pernah bertemu Ferdinan di rumah, meskipun mereka tinggal satu atap.
“Apa kabar, Sya?”
Rhesya menoleh menatap wajah Genta yang bersemu jingga. Gelap mulai menyelimuti mereka. Cahaya-cahaya lampu perkotaan berkilauan di bawah mereka. Membayang dua manusia yang saling menatap dalam alunan sebuah lagu.
“Maafin gue Kak Genta. Maaf…” Rhesya kelu mengatakanya.
“Ini bukan salah lo. Dari awal di meja makan malam itu, gue tahu kalau ada orang lain di hati lo. Gue nggak masalah. Lo nggak perlu nanggung apapun atas perasaan gue, ataupun keluarga gue. Lo punya banyak kebebasan Rhesya. Lo bisa pergi ke manapun lo mau.”
“Gimana sama lo, Kak?”
“Gue?” Genta tertawa ringan, menatap hamparan langit yang gelap keunguan, senja yang pulang ke peraduan, “gue bakalan tetep jadi gue, Sya. Gue bisa bilang ke bunda kalau gue nggak bisa lanjutin ini sama lo. Nanti juga gue bisa dijodohin sama anak sahabat mereka yang lain. Nggak masalah.”
“Lo nggak capek ngulang siklus sama gini?”
“Enggak, Sya. Ada atau enggaknya lo, gue harus tetep bahagain mereka. Lo nggak perlu minta maaf.”
“Gue jadi ngerasa jahat.” Rhesya menundukan kepala, menekuri rumput yang mulai tidak terlihat lagi warnanya.
“Gue juga jahat, Sya. Gue maksain lo buat masuk ke hidup gue yang berantakan. Lo boleh pulang, Sya. Kejar cinta lo itu.”
Kejar cinta? Rhesya bahkan sudah pupus harapanya ketika kata ‘menyerah’ menjadi keputusan terakhir Ethan. Sudah tidak ada lagi cinta. Tidak ada lagi yang harus Rhesya perjuangkan. Meskipun perasaan itu akan terus tumbuh untuk Ethan. Bagi Rhesya, tidak ada yang dapat mengganti posisi Ethan di dalam hatinya. Untuk saat ini.
“Hari itu, lo pergi sama dia? Cowok yang lo suka?” tanya Genta di sela kumandang adzan Maghrib perkotaan.
Rhesya tidak bisa menjawabnya. Rhesya hanya bisa menangis setelah mendengar pertanyaan Genta.
“Sya, lo nggak papa?” Genta melepas earphone di telinga keduanya. Ia raih pundak Rhesya yang bergerak naik turun, “ada yang salah?”