"Hito, gue mohon Hito buka, astaga. Mau sampai kapan? Kita tinggal nunggu hari Hito, sialan!”
Malam itu ada yang putus asa di depan rumah Hito, siapa lagi jika bukan Lana. Berusaha mati-matian membujuk teman satunya itu untuk lebih membuka mata. Ada pula yang pulang di petang hari dalam keadaan yang tidak mudah menerima kenyataan. Rhesya dengan segala keterkejutanya ketika mendapati motor Genta di samping mobil Ferdinan di dalam garasi rumah.
“Ke mana aja? Genta nunggu dari tadi. Pergi sama siapa? Kenapa nggak izin sama Papa?” Ferdinan sedikit melotot pada Rhesya yang semakin merasa tersudut.
“Om, biar Genta aja Om. Nggak papa.”
“Malu-maluin kamu. Pergi sama siapa?!” Ferdinan meraih pundak Rhesya, lantas diguncangnya.
Mata Rhesya sedikit berkaca. Belum sempat ia menghibur dirinya sendiri atas ucapan Ethan yang terasa memupus harapan Rhesya selama ini. Kini, dengan mudahnya Ferdinan kembali menjadi Ferdinan yang kasar padanya, bahkan di depan Genta?
“Om… udah, Om.”
“Rhesya! Kamu nggak bisu, kan?!”
“Rhesya nggak mau dijodohin! Rhesya nggak mau!” teriak Rhesya sekencang-kencangnya.
Ucapan Rhesya menghentikan pergerakan apapun di ruang tamu itu. Ferdinan membungkam mulutnya dengan mata memerah, lantas menurunkan tanganya dari pundak Rhesya yang menangis dengan matanya tanpa takut menatap Ferdinan. Rhesya tahu ini akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Belum lagi tatap mata Genta yang mengerti jika memang itu maksudnya semenjak awal. Pria itu hanya menunduk setelah mendengar perkataan yang sedikit mengejutkan untuk diucapkan wanita seperti Rhesya.
“Ngomong apa?” Ferdinan melirihkan nada bicaranya, meski terdengar sangat menyeramkan di telinga Rhesya. Lihat saja bagaimana garis nadi di tangan dan urat di leher pria itu bermunculan ketika menatap dirinya.
“Rhesya udah cukup ngertiin Papa. Rhesya selalu nurut sama Papa. Ini yang buat mama pergi. Ini kan, Pa?!” Rhesya tahu tindakanya sangat bodoh. Tetapi kini perasaanya lebih hancur lagi ketika melihat Ferdinan sudah melayangkan tanganya ke udara hanya untuk menamparnya, sebelum tindakan itu dicegah oleh Genta.
“Om, udah Om. Kita obrolin ini baik-baik. Kita berdua. Ayo.” Genta mencoba meraih pundak Ferdinan yang masih menatap Rhesya dengan amarah yang membuat Rhesya tahu jika kini ia sedang melawan papanya.
“Kamu, Papa biayain sekolah. Kamu Papa rawat Rhesya pakai keringat Papa sendiri. Kamu yang selalu Papa gendong waktu nangisin mama kamu yang selingkuhin Papa! Kamu tahu apa, Rhesya! Kenapa kamu jadi tidak punya sopan santun begini? Hah? Siapa yang ngajarin kamu? Kamu lagi kenal cowok lain?! Ayo bawa ke rumah, mana Papa mau lihat cowok pilihan kamu yang bikin kamu susah diatur begini. Mana!”
“Apa pantes orang tua ngungkit biaya sekolah? Apa pantes orang tua perhitungan buat ngeluarin keringat dan hartanya buat ngurus anak? Kalau Papa nggak mau rawat aku dari awal, bilang?! Biar aku ikut pergi sama mama dan papa baru aku waktu di hysteria!! Bilang!!” Rhesya mengeraskan suaranya lagi dan lagi, tidak peduli dengan air mata memalukan di hadapan Genta. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi setelahnya.
“Sya?” Genta mendorong pundak Rhesya yang terasa memanas di telapak tanganya, “gue mohon udah. Tolong, bicara lo mulai kelewatan.”
Ferdinan menangis mendengar kalimat itu dari putrinya sendiri yang selalu bersikap manis dan diam di hadapanya. Ferdinan merasa sakit hati ketika mendengar penuturan yang mana itu adalah isi hati dan pikiran Rhesya yang selalu ia tutupi darinya. Tidak ada komunikasi yang baik di antara keduanya, yang membuat Ferdinan bahkan tidak mengetahui perasaan dan luka apa yang dipendam Rhesya selama tinggal satu atap denganya.
“Hentiin perjodohan konyol ini, Kak! Gue nggak mau nanggung beban perasaan lo, atau siapapun. Tolong…”
Setelah mengatakanya pada Genta, Rhesya berlalu menepis tangan Genta kasar. Ia susah payah menyeka air mata dan menepuk dadanya yang sakit sambil menaiki anak tangga, menuju kamar. Berbeda dengan Genta yang sepertinya lebih dapat menyabarkan dirinya sendiri, lantas menepuk punggung Ferdinan.
“Minum dulu, Om.” Genta mengantar Ferdinan ke sofa, dengan air putih yang ia sodorkan cepat pada Ferdinan yang masih merah netranya.
“Siapa yang lagi deket sama dia Genta?” tanya Ferdinan selesai meneguk air putih dari Genta.
“Tapi, Om. Apa nggak sebaiknya memang dibatalin aja, Om?”
“Kenapa? Kamu nggak kasihan sama diri kamu sendiri, Genta? Om kasihan lihat kamu. Kamu seperti anak Om sendiri, gila kalau Om biarin kamu masih satu rumah sama orang tuamu itu. Gila juga kalau kamu dijodohin sama anak sahabat mereka yang lain, Ta. Om nggak bisa lihat kamu banyak menderita.”
“Rhesya lebih sakit, Om. Om cuma mikirin Genta selama ini, tapi Om juga kurang bicara dan ada waktu berdua sama Rhesya. Om, kasih Rhesya kesempatan buat ngomong lagi. Kasih Genta waktu juga buat mikir ulang perjodohan ini. Ini masalah Genta, mana mungkin Genta bawa-bawa Rhesya ke hidup kacau Genta. Rhesya yang punya banyak pilihan buat bebas, nggak kayak Genta.”
“Ta. Jangan dibatalin. Om masih punya waktu kan, Ta? Tolong Genta, ya?”
Genta bimbang. Ia sangat menyayangi Ferdinan. Seolah segala waktu yang tidak sempat Genta dapatkan dari ayahnya, selalu digantikan oleh Ferdinan. Cakra begitu baik dan menyayanginya juga, sampai-sampai ia dimanja olehnya ataupun Erlie. Tetapi, hanya Ferdinan yang mengerti kekacauan di rumahnya. Hanya Ferdinan yang akhirnya menjadi penengah keretakan di rumahnya.
Perasaan Genta yang mengambang di udara, bersamaan dengan Lana yang berhasil membuat Hito keluar juga dari kediaman mewahnya. Setelah melihat wajah Hito yang tanpa dosa membuka pintu, Lana cepat meraih kaos putih pria itu, lantas diseretnya keluar.
“Sial, Hito! Gue nunggu lo hampir satu jam lebih, bodoh!” Lana hampir menyerah untuk memukul pria di hadapanya yang terlihat seperti orang linglung karena memandangnya dengan mata kosong.
“Lo bukan pacar gue kan, Lan? Ngapain juga lo di situ? Buang waktu.” Hito berkata menyepelekan dengan senyum ringan di bibirnya.
“Heh, denger. Kenapa lo jadi egois gini, Hito? Lo ke mana aja selama ini, To? Anak-anak nyariin lo. Pak Ali selalu nanya ke mana lo nggak pernah ikut ekstra?”
“Lana, lo udah tahu jawabanya kenapa lo nanya? Pulang ya, Lan.”
“Hito. Gini, oke. Gue tahu lo benci Ethan, gue tahu atau mungkin lo sekarang benci kita semua, oke. Gue paham. Hito, kita masih satu tim di basket sekolah kan, To? Basket sekolah kita mau turnamen nasional, Hito. Basket kita bisa apa tanpa lo?”
“Ada Saka. Ada Ethan. Ada lo. Kurang apa lagi?”
“Hito lo capek hidup, hah?!” Lana mulai tersulut emosi dengan tanggapan nyeleneh Hito.
“Iya. Gue pengen mati aja.”
“Demi cewek?! Se-nggak berguna itu hidup lo, Hito?” Lana melepas cekalanya dari kaos Hito kasar, “nggak guna emang. Apa gue perlu nyeret cewek kecintaan lo ke sini juga, iya?!”
Hito terkekeh ringan sambil menekuri lantai keramik teras. Hito memang sudah kehilangan kewarasan jika hanya untuk berbicara soal cinta di hadapan Lana, yang notabene-nya tidak pernah berpacaran, meskipun puluhan wanita mengantre untuknya. Memang berbeda pemikiran dirinya dan Lana dalam hal ini. Hito menghela napas lelah.
“Lan. Udah, ya. Gue nggak mau berantem lagi. Lana, lo pulang sekarang. Jangan berdiri di teras rumah gue lama-lama. Lo dilihatin cewek kompleks rumah gue baru tahu rasa.”
“Gue nggak lagi bercanda Hito!” keras Lana, “gue nggak lagi mau main-main!”
“Sorry, Lan…” Hito melangkah hendak melewati Lana begitu saja. Namun cepat Lana memutar otak untuk menyadari kesalahan di ruangan ini.
“Ternyata bener kata mantan lo itu…”
Mendengar sepenggal kalimat dari mulut Lana, Hito menghentikan langkah di ambang pintu. Tanpa berbalik, ia masih mendengarkan lanjutan dari kalimat Lana yang sempat menggantung.
“Lo anggep Ethan cuma saingan lo. Bukan sahabat lo. Gue paham kenapa Aureen maksa putus dari lo. Siapa juga yang betah lama-lama sama orang keras kepala yang cuma mau dengerin omonganya sendiri? Gue juga paham sama tindakan Saka kali ini buat ngeluarin lo sekalian dari basket sekolah. Gue baru sekali ngadepin lo Hito.”
Jemari Hito terkepal kuat. Sakit sekali mendengarnya dari mulut Lana yang bahkan tidak pernah ada masalah dengan dirinya selama ini. Lana adalah sosok yang paling dekat dengan Hito selain Ethan dalam pertemanan mereka. Tetapi kini, ia bahkan bisa mendengar seorang pendiam dan irit bicara seperti Lana mengatakan sepatah kalimat panjang yang langsung menusuk hatinya.
“Sekarang lo ikut mau ninggalin gue kan, Lan? Kayak Aureen? Pergi aja, Lan. Pergi.” Suara Hito tampak begitu lemah dan letih dengan segala keadaan.
“Jawab dulu. Itu bener?”
“Kenapa harus ada manusia berwujud Ethan di dunia ini? Emang dunia ini nggak adil aja kan, Lan?” ujar Hito tanpa membalikan badan menghadap Lana, “semuanya cuma buat Ethan. Dunia ini seolah milik Ethan. Semua orang ada di pihak dia. Sampai kapan, Lan? Sampai kapan dunia maksa gue buat berdiri dalam satu pijakan yang sama dengan Ethan? Sampai kapan juga gue harus dibanding-bandingin sama Ethan dalam hal apapun? Sampai kapan, Lan?”
Lana menyibak rambutnya sendiri menggunakan telapak tanganya ke belakang. Ia menghela napas berat sambil mencerna baik-baik apa yang Hito ucapkan, walaupun sedikit terdengar seperti orang dalam gangguan jiwa. Ternyata selain pendiam dan irit bicara, Lana juga bukan tipikal seseorang yang peka terhadap lingkungan sekitarnya, sampai-sampai ia tidak menyadari ada konflik batin yang terasa panas dingin antara Hito dan Ethan dalam pertemanan mereka yang tampak adem dan tidak ada masalah.
“Terus sekarang apa mau lo Hito? Lo nyerah gitu aja? Lo bunuh karir basket lo itu di SMA? Apa ini sepadan Hito sama semua yang lo rasain waktu dibandingin sama Ethan?”
“Sepadan.”
“Lo gila?” Lana menyunggingkan bibirnya, lelah berbicara pada Hito.
“Gue nggak punya apa-apa selain Aureen, Lan. Lo pun tahu. Cuma dia yang nggak bandingin gue sama Ethan di depan mata gue, tapi kenapa? Kenapa justru dia juga lari ke Ethan? Kenapa?”
Lana tidak lagi mau menjawab. Ia hanya menyerah untuk membujuk Hito. Ternyata semua yang Aureen katakan benar, hanya itu yang dapat Lana simpulkan. Ia akhirnya melangkah menuruni anak tangga teras rumah Hito tanpa sepatah kata. Membuat Hito memutar kepala dan menatap punggung Lana yang hampir menghilang di balik gerbang tinggi rumahnya.
“Lan!” Hito kali ini mengeraskan suara.
Ketika Lana menoleh di ujung pintu, Hito akhirnya berkata, “gue mau pulang ke Jepang. Gue lagi ngurus surat pindahan sekolah.”
Lana tidak tahan. Ia bergegas berlari kembali menuju teras rumah Hito, tidak lain dan tidak bukan hanya untuk memukul wajah pria itu. Lana cukup sabar menahanya sedari tadi. Tetapi mungkin kali ini tidak lagi, jika Hito hanya ingin mempermainkanya.
“Diem Hito! Lo rusak mimpi kita buat menangin turnamen basket nasional sebelum masa kita di basket sekolah habis tahun ini! Sialan!” Lana tidak habis memukul wajah Hito di lantai.
“Lana. Sorry.”
“Arghhh!! Minta maaf sama anak-anak basket, bodoh!” teriak Lana geram.
“Aden, udah Aden.” Satpam rumah Hito yang memang sudah curiga akan berdebatan mereka dari pos jaga, segera datang melerai kedua pria itu.
“Lan… pukul gue, Lan.”
“Den, Lana. Sudah ya. Mau Bapak antar keluar, Den? Mari…”
“Gue harap lo masih bisa mikir pakai otak lo yang pencundang itu, To.” Lana mengucapkanya dengan pasti, sebelum berlalu dari teras rumah Hito membawa tangan putihnya yang gemetar dan memar kemerahan.
“Den, Lana…Aduh… Den Hito nggak papa?” bingung satpam itu melihat Lana pergi, sedangkan dirinya membantu Hito berdiri.
Lana pulang dengan kekalahan malam ini. Atau Genta yang juga menelan pahit di hidupnya untuk kesekian kali di atas motornya sepulang dari rumah Rhesya. Atau Rhesya yang masih tidak berhenti menangis mengurung dirinya sendiri di kamar. Lantas Hito?