Loading...
Logo TinLit
Read Story - Halo Benalu
MENU
About Us  

Apa yang dilakukan Rhesya di rumah Genta semalaman? Wanita itu menyapu wajah menggunakan telapak tangan kasar di atas kasur. Seusai solat subuh, Rhesya memutuskan untuk merebahkan dirinya terlebih dahulu. Mencoba memahami beberapa keadaan yang kemarin sempat ia lewati bersama Genta.

 “Gue follow ya, Kak.”

 Kini mereka saling mengikuti akun sosial media masing-masing. Belum lagi ucapan membekas Genta di balkon siang kemarin. Ia hanya ingin membahagiakan dua orang tuanya, tidak lebih. Rhesya semakin meruntuki nasibnya sendiri. Ia merasa sudah terlalu dalam masuk dalam dunia Genta. Bahkan kehidupan cemara patah mereka. Rhesya telah mengetahui segalanya.

 Tetapi hari ini, akan ada serangkaian peristiwa yang pasti tidak akan kalah mengejutkanya daripada kemarin ketika ia di rumah Genta sampai selepas isya, sekitar pukul 8. Bahkan ia dan Ferdinan untuk kedua kalinya menikmati jamuan makan malam di rumah Cakra. Kali ini, Rhesya tidak lupa jika ada janji dengan Ethan. Pria itu menunggu Rhesya di halte bus depan sekolah. Rhesya harus bersiap-siap dan tampil secantik mungkin untuk Ethan. Ia bertekad akan memantapkan hati.

 Mencintai Ethan, atau mulai menerima Genta dalam hatinya. Mendengar kata-kata Genta yang penuh akan kecurangan dalam hidupnya kemarin, membuat beban di pundak Rhesya semakin menipuk berat. Rhesya tidak habis pikir jika akan melewatkan banyak hal seperti ini dalam hidupnya.

 Suara ramai notifikasi ponselnya di atas bivat membuyarkan lamunan. Rhesya buru-buru mengecek sedang ada gosip apalagi yang memenuhi beranda ponselnya. Kali ini bola mata Rhesya yang semula sayu, terbuka lebar-lebar. Ia cepat menarik tubuhnya untuk duduk. Sebelum hendak menggeser tombol kunci ke atas, Sheren lebih dulu meneleponya.

 “Ren?” Rhesya yang lebih dulu menyapa.

 “Kak Hito bener hengkang dari basket sekolah? Pengumumanya udah resmi? Ini gara-gara rumor Kak Hito lagi marahan sama Kak Ethan? Ini masalahnya apa sih? Gue nggak rela Kak Hito keluar dari basket sekolah!” teriak Sheren yang terdengar begitu geram.

 Sampai sejauh ini? Padahal informasi turnamen nasional basket SMA Merah Putih bulan depan telah dikonfirmasi. Hal paling mengejutkanya adalah nama-nama anak yang telah terdata, baik pemain inti, maupun cadangan. Hebatnya lagi, nama Hito telah tertulis sebagai pemain inti sah di urutan kedua setelah Saka.

Apa data itu akan dicabut juga? Jika data itu diproses ulang dan nama Hito tidak ada lagi di dalam sana, sudah dipastikan takkan ada kesempatan untuk Hito masuk dalam turnamen inti basket putra sekolahnya. Ini pasti akan menjadi banyak pertanyaan dan pro-kontra anak-anak, karena kehilangan pemain unggulan seperti Hito. Siapa yang dapat menggantikan posisinya itu?

Bukan hanya Rhesya dan Sheren yang pagi ini terkejut dengan pengumuman resmi di akun sosial media basket sekolahnya, melainkan juga Lana yang pagi itu cepat menancap gas mobilnya mendatangi rumah Saka. Ditatap sedemikian rupa oleh Lana, Saka hanya bisa menggelengkan kepala. Ia sudah lelah dipukuli pelatih basket ketika menutupi masalah Hito yang selalu melewatkan latihan tanpa memberikan informasi. Hito juga sering tidak masuk sekolah akhir-akhir ini. Entah pergi ke mana anak itu. Tidak ada yang tahu.

“Ka. Lakuin sesuatu. Ini bukan lo kan yang bilang sama Pak Ali kalau Hito keluar basket? Kita masih ada waktu kan, Ka?” tanya Lana dengan napas memburu di depan rumah Saka.

“Udah lah, Lan. Realistis aja. Kalau nggak mau ya udah. Kita bisa kok menang tanpa Hito. Gue bisa usulin Juan buat masuk tim inti gantiin dia.”

“Sialan, Ka. Bukan gitu. Itu pemikiran sesaat lo aja. Gue minta lo tunda pengubahan datanya ke Pak Ali. Please, Ka. Hito masih jadi bagian dari kita. Waktunya mepet. Tiga minggu lagi, Ka.”

“Terus lo mau apa? Lo mau mohon-mohon atau berlutut di depan dia. Ngemis dia buat balik lagi ke kita? Lo mau sujud di depan dia? Yang ada di otak dia cuma cewek mulu. Dia egois, Lan.”

“Lo bisa ngomong gini karena lo selalu ada di pihak Ethan, Ka.”

“Apa? Lo ngomong apa?! Lo mau gantiin gue jadi kaptennya? Iya? Silahkan, Lan. Gue capek. Gue kasih ban kaptennya ke lo. Urus basketnya sendiri. Gue ikut cara main lo.”

“Saka, lo gila.”

“Gue gila? Gue kasih lo kesempatan tiga hari sebelum pengubahan data. Kalau lo nggak bisa juga bujuk Hito buat balik lagi ke basket sekolah, terpaksa gue bawa basket kita ke turnamen nasional ini tanpa Hito.”

Lana terdiam sekarang. Tiga hari, ya? Selesai mengatakannya, Saka kembali masuk ke dalam, tidak lupa menutup pintu putih rumahnya. Meninggalkan Lana yang menundukkan kepala menekuri teras rumah Saka dengan tangan terkepal. Kenapa di saat tim basket dihadapkan dengan pertandingan nasional, justru persahabatannya harus terpecah seperti ini. Lana harus melakukan sesuatu. Menemui Aureen, setidaknya.

***

 Rhesya turun dari bus kota tepat di halte depan sekolahnya. Ia melongok arloji di pergelangan tangan kiri dengan tergesa sembari duduk di kursi penunggu. Pukul 9 pagi. Ia mendongak lagi menatap jalanan yang masih hangat tersapu matahari. Rhesya sengaja mengurai rambut panjang sebawah pundak, dengan bando putih sedikit kebiruan kecil di kepalanya. Begitu cocok untuk wajah kecil Rhesya yang manis. Belum lagi baju pendek selengan berwarna putih, lantas dipadu dengan rok selututnya berwarna pink pudar yang begitu cantik ketika melekat di tubuh Rhesya yang terbilang tinggi dan kurus.

 “Sya?”

 Rhesya mendongak. Saat itulah degup jantung yang sudah memburu semenjak ia keluar dari rumah, semakin memburu dan berdenyut menulikan pendengaran ketika ia melihat pria yang ia tunggu datang juga. Ia tidak terbiasa melihat Ethan mengenakan pakaian sesantai itu di siang hari. Kaos putih, dan jaket bomber putih tulang sedikit keabuan dengan celana panjang hitamnya. Ini sungguh, Ethan?

 “Kak Ethan?”

 “Ayo keburu panas.”

 “Buka jam 10 lho Kak Dufannya.” Rhesya bangkit dari duduknya mengekor langkah Ethan memasuki kawasan sekolah mereka, yang memang terbuka gerbangnya setiap hari.

 “Gue belum makan. Nyari makan dulu. Lo udah makan?”

 “Udah sih, Kak.”

 Ethan menuju parkiran mobil bebas di dekat taman halaman sekolah. Rhesya masih ragu. Apakah ini sungguhan Ethan dan mobil putihnya? Ini akan menjadi pertama kali dirinya berada dalam satu mobil dengan Ethan. Rhesya sangat malu. Belum lagi ketika Ethan membukakan pintu mobil untuknya. Degup jantung Rhesya tidak berhenti meneriaki namanya.

 “Makasih banyak Kak Ethan,” malu-malu Rhesya sambil beringsut masuk ke dalam.

 Ethan hanya tersenyum membalas Rhesya, lantas berlari memutar masuk ke sisi kemudi. Katakan Rhesya sedang bermimpi saat ini. Ia bahkan tidak mengatakan pada Sheren jika akan pergi bersama Ethan di Hari Minggu cerah ini. Apa yang akan dikatakan Sheren jika tahu ia bersenang, sedangkan Sheren sedang pusing memikirkan hengkangnya Hito dari basket sekolah.

 Ethan memundurkan mobilnya, sampai ke gerbang. Ia menyapa dua satpam yang sedang shift berjaga di sekolah mereka menggunakan klakson.

 “Hati-hati, Den Ethan!” seru keduanya sambil membantu menyeberangkan mobil putih pria itu.

 Rhesya takut jika ada anak sekolah yang memergoki dirinya tengah bersama Ethan. Takut gosip itu cepat menyebar disela panasnya permasalahan Hito dan basket sekolah. Tidak berani mencuri pandang pada Ethan, Rhesya memilih menatap jalanan di Hari Minggu yang mulai dipadati pengguna kendaraan roda empat.

 “Nggak mau makan beneran?” tanya Ethan yang sepertinya akan membelokan mobil menuju kedai pinggir jalan yang tidak terlalu ramai.

 “Enggak deh, Kak. Gue pesen lainya aja.”

 “Boleh.”

 Benar tebakan Rhesya. Kedai itu yang Ethan tuju. Setelah memarkirkan mobil dibantu juru parkir kedai, keduanya turun bersamaan. Rhesya mengekor langkah Ethan menaiki anak tangga teras kedai minimalis, dengan nuansa kebarat-baratan. Rhesya belum pernah memasuki tempat ini. Seketika lonceng alarm terdengar ketika keduanya membuka pintu.

 Ethan dan Rhesya tertawa kecil bersamaan. Rhesya juga melihat Ethan seperti menertawakan lonceng kekanak-kanakan yang berbunyi,

 ‘Selamat datang, selamat makan, selamat datang, selamat makan, selamat selamat,’

 Ethan seolah ingin mengatakan, bel macam apa, sial. Rhesya mulai sedikit mengerti sikap nyeleneh Ethan yang ia lihat dari kejauhan itu. Menghentikan tawa, pria itu kini fokus pada menu-menu di meja pesanan kedai.

 “Selamat datang, Kak. Mau pesan apa?” tanya perempuan itu ramah dengan senyum yang enggan pudar menatap Ethan. Tentu saja karena ia adalah Ethan.

 “Yang enak apa?” tanya Ethan yang membuat Rhesya membulatkan mata menatap pria itu.

 “Ada menu paling favorit di kedai kami, mungkin Kakak berkenan. Menu iga bakar nasi liwet, ini udah sepaket sama ice tea-nya. Atau bisa di pesan terpisah.”

 “Boleh. Tapi minumnya caramel iced coffe aja. Rhesya mau pesen sesuatu?”

 “Mau nyoba minum yang punya Kak Ethan.”

 “Serius?”

 Rhesya hanya mengangguk sambil tersenyum.

 “Minumnya dua.”

 “Baik, Kak. Pesanan sudah saya catat. Boleh ditunggu dulu, silahkan bawa nomor meja di sisi kiri.”

 Ethan hanya membalas dengan menganggukan kepala sekali. Keduanya memilih duduk di paling ujung berdekatan dengan jendela. Baru saja pukul setengah 10 lebih, ketika Rhesya melirik arlojinya untuk kesekian kali. Ia begitu berdebar ketika duduk dalam satu meja makan berdua dengan Ethan. Ia malu dengan tatapan mata wanita-wanita di dalam kedai yang terarah ke mejanya. Pasti karena ia duduk bersama seorang seperti Ethan.

 “Kak Ethan sering ke sini?” tanya Rhesya.

 “Sesekali, ngopi doang sama Saka kalau nggak Hito. Nggak pernah sampai makan.”

 Hito? Rhesya melihat ekspresi biasa saja ketika Ethan menyebut nama pria itu. Tidak ada garis wajah kesal atau benci seperti yang ia duga. Rhesya sebenarnya tidak terlalu mengerti permasalahan mereka. Rhesya pun akan sangat lancang jika menanyakan, walaupun ia begitu penasaran.

 “Bel-nya emang gitu, Kak?”

 “Gonta-ganti. Terakhir nggak terlalu seaneh ini deh seinget gue.” Ethan tertawa lagi mengingat se-cringe apa suara bel itu, “gue nongkrong di sini kalau malem doang habis pemanasan basket di gedung olahraga depan pos polisi situ. Kalau nggak juga, nggak akan mampir.”

 Rhesya mengangguk mengerti. Ia mencoba menatap Ethan lagi. Seperti yang ia duga. Tidak butuh waktu lama untuk ia memantapkan hatinya, jika memang debaranya itu hanya untuk Ethan. Rhesya tidak meragukan lagi perasaan cintanya pada pria itu.

 “Lo punya adik? Kakak?” tanya Ethan menatap mata Rhesya yang bulat menatapnya penuh.

 “Nggak ada, Kak.”

 “Lo anak tunggal?”

 “Iya, Kak. Kakak sendiri?”

 “Gue punya kakak, cowok. Kemarin baru wisuda kuliah di ITB. Sama kayak kakak ceweknya Genta itu. Satu tahun di bawahnya tapi. Kak Tsania juga di ITB, kan?”

 Tsania, ya? Rhesya hanya mengangguk. Kemarin Genta sudah menjelaskan sedikit tentang Tsania yang berkuliah di Institut Teknologi Bandung. Kakak keduanya yang kabur dari rumah karena enggan dijodohkan. Mengingat itu, Rhesya jadi menunduk menekuri meja di depanya.

 “Kenapa?” tanya Ethan.

 “Em, nggak papa, Kak. Sekarang kakaknya masih di rumah?”

 “Masih. Tapi bulan depan dia ke Belanda. Habis nonton turnamen nasional gue paling. Kak Nando kuliah ngambil teknik industri terus lulus, langsung dapet undangan gabung di tim salah satu perusahaan Belanda. Ya udah, diterima tuh sama dia. Papa sama mama udah setuju. Jadi ya, rumah nanti sepi lagi.”

 “Wah, di Belanda, Kak? Keren.”

 Ethan menganggukan kepala. Memang tidak diragukan lagi seperti apa bibit-bibit unggul di keluarga Ethan. Rhesya sangat terkejut mendengarnya, seolah menamparnya habis-habisan jika bukan hanya tembok agama yang dapat memisahkan dua insan saling jatuh cinta, melainkan juga tembok kasta.

 “Permisih, Kak. Minumanya…”

 “Terima kasih, Kak,” senyum Rhesya mewakili Ethan yang hanya diam, namun ikut membantu menata dua gelas minum pesanan mereka.

 Setelah pelayan itu pergi, Rhesya langsung hati-hati mencoba minuman kopi, yang bahkan belum pernah ia cicipi sama sekali. Rhesya kurang suka kopi. Ia lebih suka susu atau jus buah. Tetapi ketika menicipinya, Rhesya merasa kopi tidak seburuk dan sepahit apa yang ia kira. Beruntung, masih dapat diterima oleh lidahnya.

 “Gue kira lo nggak suka kopi,” kata Ethan mengaduk minumanya menggunakan sedotan.

 “Kurang suka sih, Kak.”

 “Terus kenapa pesen itu? Mau ganti aja?”

 “Em, mau nyoba hal baru aja. Tadi juga di foto kelihatanya enak.”

 “Enak nggak?” tanya Ethan sambil meminum caramel iced coffe-nya.

 “Enak kok, Kak. Nggak seburuk yang gue pikir. Ini minuman favorit Kak Ethan?”

 “Bukan sih. Gue suka kopi. Tapi kopi yang paling gue suka malah yang sachetan di warung itu. Torabika Creamy Latte…” Ethan sedikit menertawakan dirinya.

 “Hah serius, Kak?”

 Ethan hanya mengangguk. Rhesya sungguh tidak habis pikir jika Ethan juga bisa meminum kopi bubuk sachetan yang biasa terjual di warung. Malah minuman ringan itu yang menjadi favorit Ethan. Rhesya sepertinya harus mencobanya. Apapun yang Ethan suka, Rhesya harus ikut merasakanya.

 “Gue di rumah selalu stok yang satu kotak itu…” Ethan mempraktikan bentuk kotak bungkus Torabika Creamy Latte menggunakan dua tanganya, yang membuat Rhesya tertawa kecil, “sama kalau lebaran pasti dikasih THR-nya itu sama temen-temen papa, atau temen-temen tetangga kompleks. Capek banget.”

 “Nggak kebayang dikasih satu dus kopi itu, tiap tahun.”

“Sumpah, beneran. Si Saka kalau gue ulang tahun ngasihnya lima dus kopi itu.”

“Secinta itu?” Rhesya masih sesekali tertawa.

“Heem. Enak banget sumpah.”

Rhesya mengakhiri senyumnya dengan meminum lagi kopi yang terasa manis ketika melihat senyum Ethan. Apalagi ketika hidangan Ethan datang. Pria itu mengembangkan bibirnya dengan begitu manis, sambil bersiap melahap nasi liwet hangatnya tanpa menggunakan sendok, melainkan langsung menggunakan tangan yang terbalut sarung tangan plastik. Rhesya seperti kehilangan Ethan yang terlihat begitu keren di sekolah. Kini di hadapanya adalah Ethan yang sederhana ketika menikmati makanan.

“Nggak mau nyoba, Sya?

 “Gue kenyang, Kak. Lihat lo makan selahap itu aja gue jadi ikutan kenyang.”

 “Harus nyoba. Buru. Apa perlu gue suapin?”

 Hah? Rhesya cengo detik itu juga. Menatap Ethan yang begitu santai ketika mengatakanya. Bahkan pria itu bisa sempatnya berbicara segila itu pada Rhesya dengan masih sibuk memisahkan daging iga bakarnya dari tulang. Tanpa menatap Rhesya, tanpa memedulikan bagaimana merah meronanya pipi Rhesya ketika Ethan mengatakanya.

 “Hem?” Ethan mendongak kali ini, dengan makanan yang belum habis ia kunyah di dalam mulut.

 Kedipan jarum jam bahkan tak mampu menggerakan tatap mata keduanya yang terkunci. Ethan juga terkejut ketika mendapati Rhesya yang tengah memandangnya sebingung itu. Bola mata yang sulit untuk Ethan artikan sebagai Rhesya yang sedang salah tingkah di hadapanya.

 “Sya?”

 “Hah? Iya?”

 “Cobain dikit. Mau?”

 “Em, boleh…” Rhesya begitu ragu menjawabnya.

Ia tidak fokus kali ini. Pria di seberang mejanya sungguh membuat jantung Rhesya semakin cepat memompa darah. Ingin sekali Rhesya pergi ke tempat paling dingin dan tak ada orang untuk menyembunyikan gugup yang melewati batas maksimal kendali tubuhnya.

 “Makan sendiri, atau gue suapin?”

 “Em, sendiri aja, Kak.”

 “Ini nih ambil sarung tangan plastiknya samping gue.” Ethan menunjuk dengan dagunya.

 Rhesya hanya mengangguk, sebelum mengambil sarung tangan itu. Lekas ia kenakan supaya tidak terlalu kentara jika pikiranya mulai kosong ketika bersama Ethan. Bodohnya ia terlalu terlihat jika salah tingkah di hadapan pria sesantai Ethan. Belum sampai Dufan saja sudah seperti ini, apalagi jika ia menghabiskan seluruh cerita hari ini bersama Ethan? Apakah Rhesya masih dapat menahan jantungnya yang tidak hentinya berdebar hanya untuk Ethan? Apakah dapat ia menerima ucapan-ucapan santai Ethan lagi di Dufan nanti?

 Ini baru awal dari cerita hari ini, bukan? Belum masuk bagian intinya? Rhesya sudah ingin pulang dan menguburkan dirinya di bawah selimut dan bantal. Tuhan, Rhesya akhirnya memohon supaya waktu ini cepat berlalu. Rhesya takut tidak dapat menyembunyikan perasaanya di hadapan Ethan.

 “Lo kalau sama Genta, kaku gini juga, Sya?” tanya Ethan saat melihat Rhesya memasukkan nasi dan daging ke dalam mulutnya.

 “Hem? Em, iya.” Rhesya asal saja mengiyakan.

 Ethan tertawa kecil, ah, sangat manis di mata Rhesya. Selang beberapa detik, Ethan berakhir menggeser piringnya ke tengah meja. Lebih akhirnya lagi, mereka makan satu piring berdua di kedai yang asing untuk Rhesya. Mereka saling tertawa dengan Rhesya yang masih enggan menyembunyikan degupan jantungnya.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Je te Vois
491      362     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
GEANDRA
378      299     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Ikhlas Berbuah Cinta
801      636     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...
JUST RIGHT
101      86     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
1758      1076     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Finding the Star
980      739     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Penantian Panjang Gadis Gila
267      210     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
A Missing Piece of Harmony
219      173     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
426      331     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
No Life, No Love
894      733     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...