Puncak dari segala keinginan Rhesya yang menciutkan nyalinya ada di depan mata. Ia mendongak sambil menelan saliva kasar melihat benda berkapasitas 24 orang itu dapat menerbangkan nyawa manusia di ketinggian mencapai 50 meter hanya dalam waktu 4 detik. Ethan hanya terkekeh melihat ekspresi Rhesya yang begitu tegang ketika mendengar teriakan orang-orang di atas sana. Semakin tertawa ketika Rhesya mengerjapkan bola mata berkali-kali.
“Masih mau naik?” tanya Ethan sambil mengunyah snack jagung di mulutnya.
“Em…”
“Gue beliin tiketnya, nih.”
“Aaaa, bentar, Kak Ethan. Hehe…” Rhesya menarik jaket Ethan kecil dengan cengiran kuda.
Ethan tertawa kala itu juga. Ia ikut mendongak menatap benda yang bergerak naik turun pada tower besi di atas sana, kemudian menatap gadis di sampingnya. Ethan tahu Rhesya sangat ingin mencoba wahana itu. Akan sangat menyesal jika Ethan tidak segera menuruti permintaan Rhesya pada kesempatan ini.
Melihat wahana itu selesai dengan 24 orang pertama, Ethan buru-buru membuang bungkus snack-nya ke tong sampah, lantas menarik tangan Rhesya untuk masuk ke loket tiket hysteria. Rhesya yang tidak siap, mau tidak mau ikut berlari di belakang Ethan.
“Kak…” Rhesya memukul kecil punggung Ethan, “gue mendadak nggak yakin.”
“Yakin. Nggak serem. Apa sih yang ditakutin?”
Rhesya akhirnya menutup mulut dan berakhir terkejut mendengar teriakan 24 penumpang kedua ketika menunggu di antrian wahana bersama Ethan yang tampak tidak ada takut-takutnya. Melihat wajah panik dan fokus Rhesya mengikuti arah naik turun benda itu di udara, membuat Ethan diam-diam menyembunyikan senyum di bibirnya.
“Ini beneran giliran kita habis yang itu turun, Kak?” tanya Rhesya sambil mengetuk-ngetuk sepatu putihnya ke lantai.
“Atau mau ngantri di belakang lagi?”
“Boleh. Ayo!” Rhesya hendak memutar langkah, sebelum cepat tangan Ethan menarik lengan Rhesya dengan mudahnya, sampai gadis itu kembali berdiri di depan tubuh Ethan.
“Dasar.”
“Ih, Kak Ethan.”
“Kenapa pengen naik itu? Kenapa lo selalu pengen nyoba sesuatu yang lo aja ragu mau coba?”
Rhesya menundukkan kepala. Menatap lurus ke arah antrian di depanya. Hysteria pernah menjadi hal yang mengukir kenangan buruk untuk Rhesya. Ini kali terakhir ia melihat sosok ibu di depanya. Kali terakhir Rhesya berpisah dengan ibunya. Di depan loket hysteria. Rhesya melamun seketika, memandang loket pembayaran wahana dengan pandangan yang mulai mengabur.
“Sya?” Ethan menepuk pundak Rhesya pelan.
“Em iya…” Rhesya menolehkan kepala, “sekarang?” tanya Rhesya ketika Ethan mendorong-dorong tubuhnya untuk melangkah maju bersama rombongan lainya di kloter ketiga.
Tidak dapat dipungkiri jika kini degup jantung Rhesya begitu berisik mengusik tenangnya. Kaki Rhesya sedikit bergetar ketika menapaki lantai hysteria. Tempat duduk dengan sabuk pengaman itu kini tepat di hadapanya. Apakah kini wajah Rhesya berubah menjadi pucat ketika seorang petugas memintanya untuk duduk di kursi keramat itu? Apakah Ethan melihat betapa kaku kini bibirnya untuk mengucapkan sepatah kata?
Ethan selesai dengan segala perlengkapan pengaman di tubuhnya dengan mudah. Ia tinggal menunggu Rhesya duduk di sebelahnya. Ethan seperti melihat anak kecil yang tengah menahan kencing karena takut dan mulas di perut akibat degup jantung yang ingin membolak-balikan perasaan. Ethan cepat meraih tangan dingin Rhesya ketika sudah duduk dengan perlengkapan pengaman di tubuh mungil wanita itu.
Ini tangan Ethan? Rhesya cepat membuka mata lantas menoleh ke samping kananya. Pria itu tanpa menatap, namun mengenggam tangan Rhesya begitu erat. Lancang sekali Rhesya ketika dengan cepat meraih tangan putih Ethan yang terasa begitu hangat, berbeda dengan tanganya yang hampir memutih karena pucat. Rhesya bersumpah kini perasaanya lebih menenang ketika menggenggam tangan Ethan, seperti halnya Ethan yang balas menggengam lebih erat tanganya.
“Jangan takut. Jangan tutup mata. Kita hampir terbang.” Ethan berkata sambil terkekeh, seolah menertawakan betapa gusarnya Rhesya dalam genggaman tangan mungil itu pada tanganya.
Asal bersama Ethan, batin Rhesya yang berteriak. Ia akan mencoba sekali lagi. Sekali lagi. Ketika suara mesin hampir dibunyikan sebagai pertanda wahana akan segera beroperasi, Rhesya menarik napas dalam-dalam, lantas membuangnya pelan.
“Ini tempat terakhir gue ketemu mama, jadi gue mau nyoba ini buat lupain mama.”
Bersamaan dengan Rhesya mengakhiri ucapan, dan Ethan yang menolehkan kepala menatap Rhesya, hysteria bergerak ke atas perlahan. Ethan masih cukup mendengarnya dengan jelas, meskipun genggaman tangan Rhesya seolah semakin mengerat dan menyadarkan dirinya jika kini sepatunya tidak lagi menapak tanah.
“Aaaaaaaa!!”
Hanya sekejap sampai akhirnya Rhesya berteriak kuat sambil menutup mata karena hysteria yang tiba-tiba terpental membawa nyawanya seolah menghadap Sang Pencipta. Semua orang berteriak, namun tidak dengan Ethan yang malah memikirkan ucapan Rhesya tadi.
“Jangan merem, woy!” teriak Ethan menggoyang-goyangkan tautan tangan mereka di udara.
Waktu seolah melamban dan jantung Rhesya tidak henti-hentinya meninggalkan aktivitas terakhirnya. Perlahan Rhesya membuka mata. Bersamaan dengan hysteria yang sedang di titik paling puncak. Rhesya membuka bibirnya. Dunia tampak begitu indah dari atas sini. Semua yang tidak pernah ia lihat, kini menghias pelupuk matanya. Walaupun itu hanya sesaat, sebelum hysteria kembali bergerak turun pada setengah tower, seolah tidak ada lelahnya mempermainkan nyawa 24 orang di dalam sana yang masih berteriak-teriak.
“Nggak teriak lagi?!” Ethan mengeraskan suara.
Rhesya akhirnya memberanikan diri menoleh menatap Ethan ketika hysteria menuju puncak atas sekali lagi. Pria itu juga sedang menatapnya di antara rambut lembut yang berterbangan karena angin. Rhesya pasti sedang bermimpi karena menggenggam tangan Ethan di atas puncak hysteria. Pada ketinggian 50 meter, Rhesya menitipkan perasaanya pada pria yang semakin erat menggenggam tangan Rhesya. Ketika hysteria melaju turun, senyum bahagia dan puas tercetak lembut di bibir Rhesya. Ia bahkan mengubah teriakan takutnya, menjadi senang dan gembira. Ia bisa merasakan terbang melihat angkasa dan melihat salah satu penghuninya. Ethan. Pria yang tidak pernah ada di bayanganya akan berjalan berdua bersama seperti ini di masa depan, bahkan menghentikan rasa takut dan kecewa Rhesya di masa lalu.
Permainan berakhir. Rhesya tidak hentinya tersenyum, berbeda dengan ketika ia hendak mulai menaiki hysteria. Ethan yang melihatnya hanya tersenyum ringan dan menuntun tangan Rhesya untuk keluar dari sana karena akan bergantian dengan 24 orang berikutnya.
“Seru juga, ya. Gue udah nggak takut. Makasih banyak Kak Ethan.” Rhesya sungguh ceria di pavingan dengan rumput berbunga.
“Dibilang nggak nyeremin.”
“Asyik banget, kayak lihat dunia.”
Ethan tertawa sambil menepuk-nepuk kepala Rhesya lembut. Lihatlah bagaimana kini pipi Rhesya merona merah yang ia sembunyikan sambil menekuri sepatu. Teriakan 24 orang di hysteria selanjutnya tidak ada henti-hentinya. Mengalihkan kembali pandangan Rhesya menatap hysteria yang meluncur ke puncak, kemudian turun lagi, sebelum melompat lagi mempermainkan nyawa mereka. Rhesya tersenyum ringan.
“Jadi, ini tempat terakhir lo ketemu mama lo?” tanya Ethan. Rhesya membalikkan badan, menatap Ethan dengan degup jantung yang masih enggan menghilang, padahal hysteria sudah selesai ia lalui.
“Iya, Kak.”
“Umur berapa?” tanya Ethan sambil melangkah menyusuri setapak.
“Tujuh tahun, Kak.”
“Tujuh tahun? Lo besar tanpa mama?” Ethan menghentikan langkah di depan sebuah pekarangan rumput dengan bermacam bunga.
“Iya. Gue sama papa di rumah. Tapi papa juga sibuk banget. Weekend juga kadang nggak ada waktu buat main sama gue.”
Ethan mengangguk mengerti. Kedua bola matanya tiba-tiba menangkap satu bunga berwarna putih terjatuh di rerumputan samping mereka berdiri. Ethan segera mengambilnya. Bunga mungil cantik yang membuat Rhesya mendekatkan dirinya pada Ethan untuk ikut melihatnya.
“Cantik banget, Kak. Ini bunga apa?”
“Gypsophilia. Mereka bilang baby breath.” Ethan meletakkan satu bunga itu di telapak tanganya yang terbuka di hadapan Rhesya.
“Baby breath? Bukan dari Indonesia? Gue lihat juga cuma satu di daerah sini?”
“Iya, bunga musim panas. Ini cocok banget di tempat panas begini. Tapi bunga ini kayaknya satu-satunya deh yang baru ditanam di sini, karena biasanya tumbuh di daerah Australia, Afrika, sekitar Kepulauan Pasifik. Bunga impor,” jelas Ethan.
“Cantik banget bunganya kecil-kecil, Kak. Gue baru lihat.”
“Mau tahu nggak simbolnya apa?”
“Simbol? Ada maknanya, Kak?”
“Ada dong…” Ethan meraih tangan Rhesya, yang sukses membuat empunya menahan napas karena sangking terkejutnya. Ethan meletakkan bunga itu di telapak tangan Rhesya, “bunga ini punya simbol kepolosan, kesucian, tahu apa makna lainya?”
Rhesya hanya menggeleng lemah dan tidak lepas menatap mata Ethan yang sangat indah di jarak yang begitu dekat. Rhesya sudah jatuh dalam jutaan bunga gypsophilia. Tidak dapat dipungkiri jika ia telah benar-benar mencintai Ethan. Apa yang harus Rhesya lakukan setelah ini?
“Cinta yang abadi. Bunga ini bisa kasih banyak kasih sayang, makanya sering dipakai di karangan bunga pernikahan. Mau simpen bunganya?”
“Mau.” Rhesya kelu untuk berkata. Ia terlalu mencintai pria itu, sampai-sampai lupa caranya bernapas.
“Kasih ke Genta. Pasti dia tahu. Seneng tuh bocah bisa lihat bunga langka itu di sini. Si cupu itu jarang main soalnya.” Ethan melepaskan tanganya dari Rhesya lantas berbalik.
Apa? Rhesya seolah kembali ke dunia yang sebenarnya. Dunia di mana bukan hanya ada Ethan dan dirinya. Rhesya mengerutkan kening dengan telapak tangan yang membawa bunga gypsophilia itu perlahan mengepal dan jatuh lunglai di udara. Rhesya menatap punggung Ethan yang masih tanpa dosa melangkah menjauh dari tempatnya berdiri.
Sampai di jarak tujuh langkah, Ethan berhenti karena tidak mendengar langkah kaki di belakangnya. Ia menoleh ke belakang dengan kening berkerut. Semakin bingung lagi ketika mendapati Rhesya masih berdiri mematung di pelataran depan hysteria memandang lurus ke arahnya dengan pandangan yang sulit Ethan artikan.
“Sya? Mau beli jajan nggak? Gue traktir lagi.” Ethan melukiskan senyum manis di bibirnya.
Jangan lagi. Rhesya tidak menjawab pertanyaan Ethan, sampai membuat pria itu memutar arah dan kembali mendekat pada Rhesya yang tidak mau mengikuti langkahnya.
“Ada apa?” tanya Ethan bingung.
“Gue suka sama orang lain. Dia bukan Kak Genta,” lirih Rhesya sambil menundukkan kepala.
“Apa?” Ethan sampai ikut merendahkan wajahnya hanya untuk mendengarkan bicara Rhesya yang seolah tertuju untuk dirinya sendiri, bukan untuk Ethan.
Rhesya mendongak, menatap Ethan di jarak yang lebih dekat daripada sebelumnya. Pria itu mencoba menyejajarkan tinggi badan mereka yang terpaut lumayan jauh. Tetapi Rhesya semakin menciut kala mata itu menatapnya biasa saja. Tidak seperti dirinya, yang menatap Ethan dengan cinta.
“Mau jajan apa?” Rhesya pasrah menanyakanya.
“Lo mau apa?”
“Mau corndog sama ice tea.” Rhesya berusaha senormal mungkin. Memaksakan senyumnya yang canggung di sela teriakan orang-orang di hysteria.
“Boleh. Ayo.”
“Kak Ethan…” Rhesya menghentikan langkah pria tinggi di hadapanya, “Gimana kalau ada orang yang suka sama lo? Lo tahu itu, tapi dia punya ikatan sama orang? Entah pacar, atau apa.”
“Lo lagi nanyain kabar gue sekarang yang lagi ada masalah sama Hito?”
Rhesya mengerutkan kening bingung, “hem?”
“Gue kira lo udah tahu masalah gue sama Hito dari Genta.” Ethan melanjutkan langkah lagi, disusul Rhesya di sampingnya.
“Belum, Kak. Kak Genta cuma bilang kalian lagi sedikit renggang, tapi kalian lagi nyari solusinya.”
“Em, kalau lo nanya perasaan gue, jelas gue serba salah. Gue bingung tapi gue ngerasa bersalah. Gue udah minta maaf, tapi gue nggak berharap Hito mau maafin gue. Gue milih ngalah kalau urusanya cewek sama temen gue. Apalagi gue sadar kalau posisinya dia cewek Hito. Gue ngerasa nggak becus jaga pertemanan.”
“Nga-ngalah?” Rhesya hampir kehilangan harapan. Ia menghentikan langkah padahal penjual corndog sudah hampir tinggal beberapa langkah tapak sepatu lagi. Ethan menoleh pada Rhesya yang tampak tidak puas dengan jawabanya.
“Gue nggak mau berantem soal itu sama temen-temen gue sendiri, apalagi Hito. Menurut gue, cewek bukan bagian hal yang mesti direbutin, Sya. Mereka juga bukan barang taruhan atau bola basket. Gue mau normal-normal aja. Gue nggak pernah ada niatan suka sama cewek temen gue sendiri. Urusan dia suka gue atau enggak, menurut gue, tinggal gue aja yang ngatur perasaan gue sendiri, biar nggak balik suka sama dia.”
“Sekalipun misal lo suka dia?” Rhesya masih terus mencari celah kesempatan, padahal kini hatinya sedikit terluka ketika jawaban mengalah menjadi keputusan pasti Ethan.
“Sekalipun misal gue suka dia, iya.”
“Sepenting itu pertemanan menurut lo, Kak?”
“Dia Hito, bukan orang lain. Mereka temen-temen gue, bukan orang lain.”
“Bukanya itu nyakitin lo, Kak?”
“Mungkin. Tapi gue bakalan ngerasa pecundang yang nggak punya malu kalau harus bersaing sama mereka soal cewek, Sya. Gue bukan orang yang kayak gitu.”
Rhesya menundukkan kepala. Begitu, ya? Batin Rhesya mulai merasa semuanya semakin terasa percumah. Ia tahu ini hanya bagian dari skenario Tuhan. Tetapi mengapa rasanya sangat terluka di hatinya?
“Kenapa? Kenapa nanya perasaan gue, Sya?”