Gedung seni itu tidak besar, tapi temboknya bersih dan lampu galeri digantung dengan niat.
Pameran Sakura diberi judul “Tempat-Tempat yang Ingin Pulang”. Aku tahu itu sebelum dia berani memberitahuku sendiri. Dia menggantung poster promonya di lemari es kami seminggu lalu, lalu pura-pura sibuk menyusun makanan beku setelah kulihat.
Hari pembukaannya cerah. Sakura mengenakan rok hitam panjang dan blus putih polos, penampilannya kalem, tapi dari gerak jarinya yang meremas ujung lengan, aku tahu dia gugup.
Banyak tamu datang. Teman kampus, dosen, orang tua yang dia akui "muncul karena formalitas", dan orang-orang dari dunia seni yang namanya hanya disebut dengan nada setengah bisik.
Tapi aku berdiri di pojok ruangan. Menunggu. Tidak ingin jadi pusat. Hanya ingin menyerap.
Karya Sakura berjejer di sepanjang dinding: sketsa taman kosong, gerbong kereta saat senja, perempuan muda duduk sendirian di bangku peron. Semua punya aura sepi yang lembut, seperti lukisan yang tidak mau minta perhatian, tapi diam-diam mengganggu.
Dan lalu... aku menemukan satu sudut kecil yang disorot lampu kuning hangat.
Bingkainya sederhana. Gambar hitam putih.
Seorang lelaki duduk membelakangi penonton, di dapur sempit yang penuh uap. Ia sedang memasak, dikelilingi panci, sendok kayu, dan mangkuk yang belum dicuci.
Aku tahu itu aku.
Tanpa harus melihat wajah.
Tapi yang paling menusuk adalah tulisan kecil di bawah gambar:
Ia tidak tahu sedang dilihat. Tapi ia membuat tempat itu terasa hidup.
Dadaku seperti diketuk dari dalam.
Aku berdiri lama di depan gambar itu. Orang-orang lewat, tapi suara-suara terasa jauh.
Di saat itu, aku sadar:
Selama ini aku mencoba bertahan. Mencari tempat. Menghindari deportasi.
Tapi Sakura… dia melihatku. Bahkan saat aku sendiri lupa wujudku.
Tanganku gemetar.
Aku mengedip cepat. Tapi tetap saja, mata terasa panas, dan ada satu titik di dada yang longgar.
Seseorang menyodorkan tisu dari samping. Sakura.
Dia tidak berkata apa pun.
Hanya berdiri di sampingku.
Aku ingin bilang terima kasih. Tapi mulutku kaku.
Jadi aku hanya menggenggam tangannya.
Dan berharap genggaman itu bisa menyampaikan semua yang tidak bisa kutulis di bawah gambar.