Apartemen itu bahkan tidak layak disebut apartemen.
Lebih tepat disebut kotak sepatu dengan jendela.
Satu kamar tidur sempit, satu dapur kecil yang bisa disentuh dari tempat tidur jika kamu menjulurkan tangan, dan kamar mandi dengan pintu geser yang suka macet. Tapi ada balkon kecil yang cukup untuk menjemur handuk dan duduk berdua di kursi lipat plastik.
Itu cukup.
Aku dan Sakura membagi ruang seperti kita membagi bahasa: pelan-pelan, banyak tebakan, dan sedikit tabrakan.
Hari pertama pindah, kami hanya punya satu ranjang lipat dan dua piring. Tapi kami juga punya satu teko teh dan kebiasaan baru: menyeduh dua cangkir setiap pagi sebelum berangkat, aku ke dapur, dia ke kampus.
Meja makan kami adalah meja lipat yang dibeli dari toko barang bekas. Di atasnya selalu ada dua cangkir: satu warna biru muda untuk Sakura, satu merah kusam untukku.
Tidak ada yang bilang itu kebiasaan. Tapi tidak ada yang berubah sejak hari pertama.
Kami tidak pacaran seperti dalam drama.
Tidak ada adegan pelukan hangat tiap malam. Tidak ada panggilan “sayang” atau pertengkaran cemburu.
Tapi setiap kali aku pulang dan melihat sepatunya ada di rak, dunia terasa sedikit lebih bisa dihadapi.
Kami makan malam seadanya. Kadang sisa makanan dari restoran, kadang onigiri dari konbini. Tapi selalu ada satu momen kecil yang jadi ritual kami: siapa pun yang lebih dulu pulang akan menaruh air di teko listrik. Biar yang datang belakangan bisa menyeduh teh.
Pernah suatu malam aku pulang sangat larut. Dapur gelap. Sakura sudah tidur. Tapi di atas meja ada kertas kecil:
Air panas sudah disiapkan. Jangan lupa minum, ya.
☁
Aku duduk sendirian di ruang sempit itu.
Minum teh. Menatap bayangan diriku di kaca jendela.
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa terdampar di kota asing.
Aku merasa... tinggal.