Sakura duduk di sana, matanya terfokus ke tanah, dan meskipun tampaknya dia sedang tenang, aku tahu dia sedang merasakan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang lebih berat daripada yang bisa dia ungkapkan. Tidak ada yang mengganggu kami selain suara angin yang berdesir pelan dan gemerisik daun-daun kering yang jatuh dari pohon di sekitar restoran. Entah kenapa, suasana malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya, seakan dunia mengatur ritmenya agar kami bisa meresapi setiap detik yang berlalu.
Aku tahu bahwa aku tidak bisa terus begini. Tapi setiap kali aku mencoba untuk berbicara, kata-kataku terhenti begitu saja, terperangkap di tenggorokan. Aku mencoba mengumpulkan keberanian, mencoba mencari cara untuk mengatakan sesuatu yang bisa membuat semuanya lebih mudah, lebih jelas, tapi semakin aku berpikir, semakin aku merasa semakin jauh dari jawaban yang kuinginkan. Aku tidak ingin dia kecewa. Aku tidak ingin dia merasa terbebani oleh rasa takutku. Tapi kenyataannya, rasa takut itu sudah menguasai setiap bagian diriku.
"Aku cuma takut," kataku akhirnya, suaraku keluar begitu datar, begitu hampa. Seperti kata-kata itu bukan milikku, tapi milik seseorang yang sudah lelah hidup. Aku bahkan tak bisa mengingat kapan terakhir kali aku berbicara dengan begitu jujur, dengan begitu kosong.
Sakura tidak langsung merespon. Dia hanya menatap ke arahku, mencoba mencerna apa yang baru saja aku katakan. Aku bisa melihat bayangan keraguan di matanya. Mungkin dia berpikir aku sedang bercanda, atau mungkin dia tidak tahu bagaimana harus merespons. Suasana menjadi semakin berat, seperti ada bebatuan yang tertimbun di dadaku, menekan, membuatku hampir tidak bisa bernapas.
Dia kemudian mengalihkan pandangannya, menatap kosong ke jalan di depannya. Ada kesunyian di antara kami, seperti ada jarak yang semakin melebar. Aku merasa semakin kecil, terperangkap dalam pikiranku sendiri yang sepertinya tidak bisa berhenti berputar-putar, memutar ulang semua ketakutan dan kecemasan yang terus menghantui.
Tangan Sakura terlipat di atas lututnya, tangan yang biasanya penuh ekspresi, kali ini terasa kaku. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, seperti ada ribuan kata yang ingin dia ucapkan, namun entah kenapa dia memilih untuk diam.
Setelah beberapa saat, dia membuka mulutnya, suaranya pelan, namun jelas. "Kamu takut gagal?" tanyanya, seolah-olah mencoba memastikan, mencoba mengungkapkan ketakutannya juga. Aku hanya mengangguk, tanpa bisa berkata lebih banyak. Rasanya kata-kata itu tak cukup untuk menggambarkan semua ketakutan yang ada di dalam diriku.
Aku mengalihkan pandangan, menatap langit yang gelap, mencoba untuk mencari kedamaian yang tidak ada. "Takut... bikin kamu kecewa," lanjutku, suara itu terdengar lebih rendah, penuh keraguan. Mungkin kata-kata ini adalah yang paling jujur yang pernah aku ucapkan, tapi jujur itu terasa begitu menyakitkan. Seperti mengungkapkan sesuatu yang seharusnya tidak boleh keluar. Sesuatu yang terlalu rawan, terlalu terbuka untuk dihadapi.
Sakura akhirnya menoleh, gerakan itu begitu pelan, seolah-olah dia sedang menimbang-nimbang apakah dia benar-benar siap untuk mendengarkan lebih jauh lagi. Matanya bertemu mataku, dan di sana aku melihat sesuatu yang tidak aku harapkan: bukan kemarahan, bukan kekecewaan, tetapi kebingungannya. Seolah-olah dia tidak tahu harus bagaimana melangkah setelah mendengar aku berkata seperti itu.
"Jadi kamu pikir aku kasih kesempatan ini cuma supaya kamu bisa bikin aku senang?" tanyanya. Suaranya tenang, namun ada getaran yang tidak bisa aku abaikan. Seperti ada sesuatu yang pecah dalam dirinya. Aku merasa kalimat itu menghujam, tapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku ingin menjelaskan, ingin mengatakannya lebih jelas lagi, tapi kata-kata itu seperti terjebak dalam pikiranku.
Aku menunduk, menggigit bibir. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat kenyataan ini di depan mata. Aku ingin dia mengerti, tapi aku juga takut jika aku menjelaskan lebih dalam, dia justru semakin jauh. Aku takut menjelaskan semuanya dan membuatnya melihat aku sebagai orang yang lemah, orang yang tidak bisa menghadapinya sendiri.
“Jadi kamu pikir hubungan ini semata-mata urusan utang budi?” Sakura melanjutkan. Kali ini suaranya sedikit lebih keras, lebih tajam. Tetapi meski begitu, aku bisa merasakan kelelahan di balik kata-katanya. Keletihan yang kurasakan dalam diriku, yang dia rasakan dalam dirinya. Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Ini tentang kita, tentang ketakutan yang kita bawa masing-masing.
Aku terdiam, menundukkan kepala. Kata-kata itu seperti tamparan, membuatku merasa semakin tidak berdaya. "Aku nggak tahu," kataku akhirnya, pelan. Rasanya begitu sulit untuk mengakui bahwa aku merasa seperti itu, seperti seseorang yang tidak tahu apa yang dia inginkan, tetapi takut kehilangan apa yang dia miliki.
***
Setelah beberapa saat hening, Sakura menghela napas pelan. Aku bisa melihat dia berjuang dengan kata-katanya, seperti ada ribuan pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya. Aku bisa merasakannya, bisa melihat betapa susahnya bagi dia untuk memproses apa yang baru saja aku katakan. Ketika akhirnya dia membuka mulut, suaranya terdengar lebih rendah dari sebelumnya, seolah dia sedang berusaha menahan emosi yang hampir tumpah.
"Kamu takut gagal?" tanya Sakura, pelan namun tajam. Kalimat itu menggantung di udara, memadatkan setiap detik yang berlalu.
Aku hanya mengangguk, dan untuk sesaat, ada perasaan hampa yang semakin menggerogoti perutku. Tidak ada jawaban yang lebih mudah, tidak ada cara untuk menjelaskan seberapa besar ketakutanku. Takut gagal bukan hanya tentang pekerjaan, atau tujuan yang tidak tercapai, tapi juga tentang diriku yang tidak pernah cukup. Takut kalau aku terlalu banyak berharap dan akhirnya akan jatuh lebih dalam, lebih jauh, lebih sakit.
"Sakura, aku..." kata-kataku tersendat lagi. Aku ingin menjelaskan lebih banyak, tapi setiap kata terasa semakin rumit. Aku tidak bisa berkata lebih banyak, karena aku tidak tahu apa yang aku benar-benar rasakan. Aku hanya tahu aku takut, dan itu saja yang bisa aku ungkapkan. Itu saja yang terasa begitu nyata.
Sakura tidak langsung bereaksi. Dia hanya menatapku, matanya mencari jawaban di wajahku, seakan berharap aku bisa memberinya sesuatu yang bisa mengubah semuanya. Tapi aku tidak bisa memberi jawabannya. Aku hanya bisa merasa kosong.
“Apa kamu pikir, aku kasih kesempatan ini cuma supaya kamu bisa bikin aku senang?” katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah, hampir seperti bisikan. Tapi walau nadanya lembut, aku bisa merasakan setiap kata itu seperti tamparan halus. Sakura berusaha untuk tidak marah, tapi ada rasa kecewa yang tidak bisa disembunyikan dalam suaranya.
Aku menunduk. Aku ingin mengatakan sesuatu, menjelaskan, tapi kata-kataku terjebak di tenggorokan. Ada kebingungan yang semakin tumbuh di antara kami, dan aku tahu itu hanya akan semakin memperburuk keadaan. “Aku nggak bisa...," aku berusaha lagi, "Aku nggak bisa ngasih kamu apa yang kamu harapkan. Aku nggak bisa cuma berpikir tentang kamu terus-terusan. Aku takut kalau aku gagal, aku akan jatuh, dan kamu akan jauh... jauh banget dari aku.”
Sakura menghela napas panjang, matanya masih menatapku dengan serius. “Jadi, kamu pikir hubungan kita ini cuma soal utang budi?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih kuat. Ada gesekan dalam suaranya yang menunjukkan bahwa ia sedang berjuang untuk mengerti. "Kalau aku kasih kamu kesempatan ini, itu bukan karena aku mau kamu ngerasa berutang sama aku, Arya."
Aku terdiam. Aku merasa seolah-olah dia sedang berusaha memahami diriku, tapi kenyataannya justru semakin membingungkanku. Aku tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan, apa yang harus aku katakan. Aku takut kalau aku bicara lebih jauh, dia justru akan semakin kecewa. Aku bukan orang yang bisa memberikan kepastian. Aku hanya tahu rasa takut ini... rasa takut kalau aku terlalu berharap dan kemudian semuanya hancur begitu saja.
Dia terdiam sejenak, seolah berpikir tentang apa yang baru saja dia katakan. Sakura memang bukan orang yang mudah mengungkapkan perasaannya, tetapi aku bisa merasakan bahwa kata-katanya yang tegas itu datang dari keinginan yang tulus untuk dipahami. Namun, seiring waktu berlalu, aku merasa bahwa kami berada di dua dunia yang berbeda.
"Arya," kata Sakura, akhirnya mengeraskan suaranya sedikit, "Aku nggak minta kamu untuk merasa berutang sama aku. Aku nggak mau kamu merasa terjebak dalam hubungan ini hanya karena rasa tanggung jawab yang kamu rasakan. Yang aku mau, kamu percaya. Tapi bukan hanya sama aku. Sama dirimu sendiri."
Aku terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan kedua yang lebih keras. Mungkin dia benar, mungkin aku memang terlalu takut untuk mempercayai diriku sendiri. Selama ini aku terlalu fokus pada rasa takut gagal, pada rasa tidak cukup. Aku merasa seperti beban yang terlalu berat untuk dibawa, dan itu menghalangi aku untuk percaya pada kekuatan diri sendiri.
“Tapi kalau kamu terus merasa seperti ini,” lanjut Sakura, “maka kita nggak akan pernah bisa berjalan bersama sebagai dua orang yang setara. Aku nggak mau jadi penolong terus-menerus. Aku ingin kita bisa berdiri di samping satu sama lain, bukan kamu terus-menerus bergantung padaku.”
Suaranya mengalun pelan, namun tajam, langsung menyentuh bagian dalam diriku yang selalu terpendam. Aku ingin menjawab, ingin mengatakan sesuatu yang bisa membuktikan aku bisa lebih baik. Tapi aku tak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Mungkin, dalam keheningan itu, Sakura sudah cukup memberi petunjuk, bahwa aku perlu belajar untuk lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih percaya pada diri sendiri.