Pagi itu, aku terbangun lebih awal dari biasanya.
Bukan karena alarm. Bukan karena suara dari dapur.
Tapi karena dingin yang merayap lewat celah jendela dan menetap di ujung jari kaki.
Aku menggeliat pelan di bawah selimut tipis yang sudah mulai kehilangan hangatnya.
Udara musim gugur memang tidak pernah berteriak. Ia datang dengan pelan, tapi menusuk.
Aku bangkit, berjalan pelan ke pintu kamar. Tidak ada suara dari luar. Lantai kayu yang kupijak masih dingin dan sedikit berderit.
Saat kubuka pintu, selembar kertas menyapa kakiku.
Rapi. Terlipat dua.
Tidak ada amplop. Tidak ada pita merah seperti dalam drama-drama.
Hanya selembar A4 yang sederhana, tapi berat seperti batu.
Bukan surat cinta. Bukan tagihan air.
Kertas itu punya aroma samar tinta cetak yang belum lama kering.
Di pojok kanan atas, logo kecil Kusunoki Dining tampak seperti stempel takdir.
Dan di bawahnya, tiga baris kalimat pendek.
Tiga baris yang membuat tenggorokanku kering lebih cepat dari udara pagi.
Kami mengonfirmasi bahwa saudara Arya Satya dijadwalkan untuk wawancara kerja pada Sabtu, pukul 10.00 pagi, di lokasi restoran Kusunoki, Shibuya-ku.
Silakan hadir tepat waktu. Wawancara ini akan menentukan kelayakan sponsor visa kerja.
–Manajemen
Aku membaca ulang. Lalu sekali lagi.
Seolah mataku menolak percaya.
Tapi huruf-huruf itu tetap ada. Tidak berubah. Tidak memudar
Tanganku gemetar saat membacanya.
Bukan karena kaget, karena sejujurnya, aku sudah tahu surat ini akan datang.
Aku sudah menunggu. Setiap malam sebelum tidur, aku membayangkan hari ini.
Tapi bayangan tidak pernah benar-benar mempersiapkan kita untuk kenyataan.
Kenyataan datang dalam bentuk sederhana. Tanpa iringan musik dramatis.
Hanya selembar kertas. Tapi cukup untuk mengacaukan seluruh isi dadaku.
Aku kembali duduk di atas futon, kertas masih kugenggam erat.
Interview. Sponsor. Legalitas.
Kata-kata itu bergema di kepala seperti gema langkah di terowongan kosong.
Dulu, tiga kata itu bagaikan cahaya kecil di kejauhan.
Sesuatunya yang kupikir bisa kuandalkan, saat semuanya tampak kabur.
Sesuatu yang memberi bentuk pada harapan yang samar.
Tapi pagi ini, tiga kata itu terasa seperti cermin besar yang ditaruh di depan wajahku.
Cermin yang tidak bisa kuelak.
Yang menunjukkan betapa tipisnya pijakan kakiku di negeri ini.
Betapa mudahnya angin bisa menggoyahkan semua yang sudah kujalani.
Aku menarik napas pelan. Lalu membuangnya. Tapi rasanya tetap sesak.
Kertas di tanganku sudah sedikit kusut sekarang.
Keringat di telapak tanganku menodai sudutnya.
Dan entah kenapa, aku merasa marah.
Bukan pada surat itu. Tapi pada diriku sendiri.
Sudah berbulan-bulan aku berada di sini.
Menakar langkah demi langkah.
Menjaga agar tidak menyinggung, tidak membuat masalah, tidak terlihat mencolok.
Aku mencoba menjadi bagian dari tempat ini, meski kadang aku bahkan tidak tahu caranya.
Dan sekarang, semuanya dirangkum dalam tiga baris kalimat.
Wawancara ini akan menentukan kelayakan sponsor visa kerja.
Aku melirik ke arah jendela kecil di kamar.
Langit mendung.
Warna abu-abu menempel di kaca seperti debu yang tidak bisa dibersihkan.
Tokyo belum benar-benar bangun.
Tidak ada suara motor lewat. Tidak ada orang-orang tergesa berjalan ke stasiun.
Hanya kesunyian yang menggantung, seperti jeda napas sebelum sesuatu dimulai.
Aku mengambil ponsel. Layar menyala.
Jari-jariku bergerak pelan, mengetik pesan kepada satu-satunya orang yang membuat pagi-pagi seperti ini terasa sedikit lebih hangat.
“Suratnya sudah datang. Hari Sabtu jam sepuluh. Di Shibuya.”
Aku tekan kirim. Pesan itu langsung terkirim. Tapi tidak dibaca.
Tidak ada balasan.
Tidak ada tanda bahwa dia terjaga.
Mungkin Sakura masih tidur.
Mungkin ponselnya disenyapkan.
Atau mungkin... dia sudah tahu. Tapi tidak tahu harus bilang apa.
Aku menatap layar beberapa saat, lalu menundukkan kepala.
Layar itu memantulkan bayangan wajahku sendiri. Mata yang lelah.
Kulit yang mulai pucat. Rambut yang berantakan karena tidur tak nyenyak.
Wajah orang yang menggantungkan hidup pada hasil wawancara satu pagi di Shibuya.
Konyol rasanya. Tapi nyata.
Dan kenyataan, tidak selalu butuh logika untuk menyakitkan.
Lalu pikiranku mulai berandai-andai.
Bagaimana jika aku tidak datang?
Bagaimana jika aku pura-pura tidak pernah menerima surat ini?
Tapi pertanyaan-pertanyaan itu langsung kutepis.
Karena yang paling menakutkan bukanlah kegagalan.
Yang paling menakutkan adalah tahu bahwa aku tidak mencoba.
Bahwa aku menyerah sebelum berperang.
Dan pagi itu, dengan tubuh yang masih gemetar, aku menyadari:
Ini bukan cuma soal visa
Ini soal keberanian untuk berdiri, bahkan saat tanah di bawah kaki terasa rapuh.
Aku bisa saja meneleponnya.
Sakura.
Menunggu suaranya di ujung sambungan yang entah tenang, entah tergesa.
Tapi jari-jariku enggan menekan tombol hijau itu.
Ada sesuatu yang menahanku, bukan karena takut dia tak menjawab, tapi karena takut dia menjawab dengan hening.
Aku memandangi pesan yang belum dibaca.
Centang abu-abu yang menusuk seperti diam.
Tak ada tanda suara kehidupan darinya.
Dan dari situ, kekhawatiranku tumbuh liar, seperti rumput di sela-sela retakan tembok.
Aku mulai membayangkan yang tak-takut kubayangkan.
Bagaimana kalau aku gagal?
Bukan sekadar gagal wawancara.
Tapi gagal menjaga semua yang sudah kujalin di tempat ini.
Restoran ini, dapur ini, meja makan tempat Sakura duduk diam sambil memeluk mangkuk, semua itu terasa seperti dunia kecil yang perlahan kupahami.
Tapi tempat ini bukan milikku.
Nama keluargaku tak tercetak di izin usaha.
Bahkan futon tempat aku berbaring pun bukan barang yang kubeli sendiri.
Kalau aku gagal, aku harus pergi.
Dan kalau aku pergi, semua ini akan berakhir seperti mimpi siang hari, nyata sejenak, lalu lenyap begitu saja.
Bahkan jika aku berhasil pun, itu artinya pindah ke restoran utama.
Restoran besar. Bangunan tinggi dengan dapur modern dan para chef yang tidak tahu siapa aku.
Tidak ada Yamamoto-san yang memberi senyum meski aku terlalu lama mengiris bawang.
Tidak ada Sakura yang diam-diam meminum teh dari mug yang dulu kubelikan diam-diam di toko diskon.
Tempat itu mungkin bergengsi, mungkin menjanjikan.
Tapi juga dingin. Terlalu terang. Terlalu profesional.
Dan aku bukan siapa-siapa di sana.
Dan kalau aku gagal…
Mungkin memang ini batasnya.
Batas dari mimpi yang kususun dari serpihan harapan.
Dari visa yang nyaris kedaluwarsa dan semangat yang tak selalu utuh.
Lalu, seperti bayangan yang datang tanpa diundang, tawaran Raka menyusup ke dalam pikiranku.
Suara dia di telepon beberapa minggu lalu masih jelas:
"Kalau lu nggak dapet sponsor, sini aja. Gue bisa bantu. Gak perlu ribet-ribet. Ada kenalan, ada jalur belakang."
Jalur belakang.
Tanpa seleksi.
Tanpa prosedur panjang yang membuat dadaku terasa sempit.
Dan yang paling penting: tanpa Sakura tahu.
Hanya perlu diam. Pura-pura. Hilang.
Seolah semuanya belum pernah ada.
Seolah aku tak pernah berdiri di dapur ini, tak pernah mengiris seledri di sebelah Sakura yang diam-diam menyenandungkan lagu Jepang lama.
Seolah aku bukan siapa-siapa.
Untuk satu detik, ide itu tampak seperti jalan keluar.
Cepat. Aman.
Meninggalkan semua kerumitan ini, semua ketidakpastian yang menggantung di depan mataku seperti kabut yang tak mau pergi.
Tapi satu detik berikutnya, ada sesuatu dalam perutku yang mengaduk.
Perasaan mual naik perlahan, menyentuh kerongkongan, membuatku ingin memuntahkan semua bayangan itu keluar dari kepala.
Karena kalau aku memilih kabur, kalau aku mengambil jalan belakang itu, maka aku sedang menampar semua yang sudah kubangun dengan tangan sendiri.
Menodai semua yang kubagikan dengan Sakura.
Dan lebih dari itu: aku akan menjadi pembohong.
Aku merebahkan tubuh ke atas futon.
Menatap langit-langit kayu yang perlahan mulai mengelupas di ujung-ujungnya.
Sudut ruangan ini sudah mulai retak. Tapi masih bertahan.
Kayu yang tua, tapi keras kepala.
Mungkin itu aku.
Aku mendengar suara samar dari lantai bawah.
Pisau dapur. Papan potong.
Mungkin Yamamoto-san sedang mulai menyiapkan sup miso.
Rutinitas yang sama. Waktu yang sama.
Semua berjalan, seperti biasa.
Seolah tak ada yang berubah. Padahal segalanya di dalam diriku telah bergeser.
Aku menutup mata. Tapi bukan untuk tidur.
Melainkan untuk mendengarkan dua suara dalam dadaku yang saling bertabrakan tanpa henti.
Suara pertama berbisik pelan:
“Pergilah. Sebelum semuanya jadi lebih rumit. Sebelum kamu menyakiti mereka. Sebelum kamu menyakiti dirimu sendiri.”
Suara kedua menjawab:
“Bertahanlah. Biarpun kamu gagal. Karena kali ini, kamu tidak lari. Kamu memilih.”
Dan di antara dua suara itu, dada ini jadi ladang perang.
Penuh debu. Penuh benturan.
Aku bisa merasakannya sampai ke ujung napas.
Penuh sesak, tapi juga penuh sesuatu yang belum bisa kuterjemahkan.
Aku membuka mata.
Langit-langit itu masih retak.
Dan anehnya, aku merasa sedikit lebih tenang melihat bahwa sesuatu yang retak pun bisa tetap di sana.
Tetap ada. Tetap menyambut mata yang menatap.
Aku menarik napas sekali lagi. Dalam. Pelan.
Dan untuk pertama kalinya sejak kertas itu kusobek dari lantai, aku berkata dalam hati:
“Biarpun gemetar, aku tetap akan datang.”