Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Pagi itu aku datang lebih awal dari biasanya.

Bukan karena semangat kerja yang tiba-tiba meledak, tapi karena satu alasan sederhana: ingin tahu apakah dia benar-benar akan ada di sana lagi.

Langkah kakiku pelan tapi penuh maksud saat memasuki taman yang mulai diselimuti sinar matahari pagi.

Daun merah-oranye berguguran dengan anggun, menari perlahan tertiup angin yang sejuk.

Pohon maple tua itu berdiri kokoh di tengah jalur setapak, seolah menjadi saksi diam dari setiap cerita yang terukir di sini.

Di bawah naungannya, aku melihat sosok yang sudah kukenal, namanya dalam pikiranku sudah tertulis: Sakura.

Dia duduk dengan postur sempurna, seperti patung hidup yang dibuat untuk melukis keindahan dunia.

Buku sketsa terbuka di pangkuannya, pensil di tangan kanan yang bergerak halus, menorehkan garis demi garis dengan penuh fokus.

Wajahnya tenang, ekspresinya dalam dan seolah melayang jauh, tapi sekali-sekali matanya menatap halaman yang dibuatnya dengan penuh cinta.

Ketika aku muncul di dekat jalur, dia menoleh sekilas.

Senyum tipis itu muncul lagi, seperti rahasia kecil yang hanya aku yang tahu.

Aku berdiri agak jauh, pura-pura menyapu dengan santai, tapi jantungku berdetak kencang.

Tangan yang memegang sapu bergetar sedikit, langkahku jadi canggung, seperti anak kelas dua yang baru saja dipuji oleh kakak kelasnya karena meminjam penghapus.

Matahari pagi menyinari daun-daun basah embun, dan dunia terasa sepi tapi penuh harapan.

Aku tahu hari ini akan berbeda.

Aku berdiri di sana, di samping jalur setapak, mencoba tampak seperti bagian dari taman.

Tapi jujur saja, aku merasa seperti penyamun yang ketahuan, padahal tidak melakukan apa-apa selain membawa sapu bambu yang terlalu besar untuk tubuhku.

Tanganku yang menggenggam gagang sapu mulai bergetar.

Tidak karena dingin, tapi karena gugup yang tiba-tiba menyeruak tanpa diundang.

Aku ingin melangkah, tapi kakiku terasa berat seperti tertambat di tanah oleh ribuan daun kering yang menunggu untuk disapu.

Pikiran berputar liar di kepalaku.

Apakah aku harus menyapanya?

Apa yang akan aku katakan?

Atau cukup diam dan berharap dia mengajak bicara lebih dulu?

Suara daun bergesekan di bawah sapu yang kuayunkan kecil-kecil terasa terlalu keras di telingaku.

Seperti aku mengganggu simfoni alam yang selama ini ia ciptakan dengan pensilnya.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Hei, Arya,” kataku dalam hati, “berani sedikit, tidak apa-apa.”

Tapi saat aku mulai melangkah mendekat, sapu di tanganku kembali bergetar.

Seperti ada magnet yang menolak untuk melewati jarak yang terasa begitu rapuh di antara kami.

Aku menatapnya lagi.

Dia sedang menatap halaman sketsanya, tampak begitu tenang dan rapi.

Sedangkan aku, hanya bisa berdiri kaku dengan sapu yang bergetar,bagaimana aku bisa dianggap lebih dari sekadar pengganggu kecil?

Tapi setidaknya hari ini, aku di sini.

Di sampingnya.

Di taman yang sama.

Dan itu sudah jadi kemenangan kecilku.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berusaha membuka mulut.

“Beautiful,” kataku pelan, menunjuk ke arah sketsa bunga yang sedang digambar Sakura.

Kata itu keluar seadanya, tanpa yakin apakah benar atau tidak.

Dia menoleh padaku, matanya yang tenang menyambut dengan senyum kecil.

Aku merasa gugup, tapi berusaha mengulang kata-kata yang kutahu.

“Flower. Han... hana? Bunga,” aku menunjuk ke mataku lalu ke sketsa, mencoba menjelaskan maksudku dengan bahasa isyarat ala kadarnya.

Sakura memiringkan kepala, lalu tertawa pelan, suara itu lembut dan jernih, seperti aliran air di sungai kecil.

“Ajisai,” katanya, suaranya seperti bisikan angin musim semi.

“Ajisai?” aku mengulang, lidahku terasa kaku dan canggung mencoba mengucapkannya.

“Ah... jisai?”

Dia mengangguk sambil tersenyum, seolah memberiku izin untuk belajar pelan-pelan.

Lalu dia menunjuk bunga di semak di dekat bangku, bunga yang sama dengan yang dia gambar.

Aku menatap bunga itu, yang memang cantik dengan kelopak-kelopak kecil berwarna lembut.

“Indonesia... bunga... eh, mungkin... tidak ada ini?” aku coba menjelaskan, merasa sedikit malu.

Dia mengangguk lagi, kemudian berbisik, “Rain... flower.”

“Rain flower?” aku mengulang, lalu menunjuk ke langit, membuat gerakan hujan turun dengan jari-jari.

Dia tertawa kecil, ikut membuat gerakan yang sama, dan tiba-tiba kami tertawa bersama.

Tawa kami bukan karena lelucon lucu.

Tapi karena kami sedang mencoba.

Berusaha memahami dunia yang satu sama lain jalani dengan cara yang berbeda.

Di antara tawa dan kata-kata yang canggung, ada kehangatan yang tumbuh perlahan, seperti bunga yang mulai mekar di pagi hari.

Setelah tawa kami mereda, suasana menjadi lebih tenang.

Kami tidak perlu kata-kata lagi.

Hanya bahasa tubuh yang berbicara.

Aku menunjuk seekor burung kecil yang meloncat-loncat di antara dedaunan yang berguguran.

Sakura menoleh, mengikuti arah jari yang menunjuk. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

Kami diam sejenak, menyaksikan burung itu bermain di udara yang sejuk.

Seolah dunia berhenti sejenak hanya untuk kami berdua.

Lalu kami saling melirik, dan dengan ekspresi yang sama-sama mengerti, kami mengangguk perlahan.

“Ya. Burung,” pikirku.

Dia membalas dengan senyum tipis.

Tidak ada percakapan panjang, tidak ada kata-kata berlebihan.

Hanya perasaan sederhana yang mengalir, menyambungkan dua jiwa yang berbeda bahasa namun sama-sama ingin dimengerti.

Taman pagi itu terasa hidup, namun sunyi dengan cara yang nyaman.

Sakura kembali menunduk pada sketsanya, aku kembali dengan sapuku, tapi kali ini langkahku lebih ringan.

Ada sesuatu yang tumbuh di antara kami, seperti bibit kecil yang siap mekar pada waktu yang tepat.

Saat matahari mulai menurun, mengubah langit menjadi kanvas jingga lembut, Sakura perlahan menutup bukunya.

Dia berdiri dengan anggun, mengangkat kepala, dan menatapku.

Senyumnya kali ini lebih hangat, seolah menyimpan janji tak terucap.

“Bye-bye,” katanya pelan, suaranya ringan namun jelas.

Aku mengangkat tangan, membalas dengan sederhana, “See you.”

Dia berjalan menyusuri jalan setapak yang diterangi cahaya senja.

Langkahnya tenang, hampir seperti tarian alam yang menyatu dengan bisikan angin.

Ketika dia menghilang dari pandanganku, aku melihat sesuatu di bangku tempat dia duduk.

Satu lembar kertas tersisa, sketsa bunga yang belum selesai.

Garis-garisnya tegas dan rapi, namun masih menyimpan ruang kosong, seperti cerita yang belum selesai.

Aku menatap kertas itu lama.

Perasaan hangat menyelimuti dada, campuran antara kagum, penasaran, dan sedikit kerinduan yang baru tumbuh.

Tanpa sadar, aku meraih dan melipatnya dengan perlahan.

Kertas itu kugenggam erat, lalu kusimpan di saku dalam seragam yang masih bau pupuk, sebuah harta kecil dari hari yang sederhana tapi berarti.

Di taman yang luas dan dunia yang terasa asing, aku menemukan sesuatu yang membuatku merasa tidak sendirian.

Sesuatu yang kecil, tapi sangat berharga.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tok! Tok! Magazine!
87      75     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Layar Surya
1128      679     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
328      243     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Surat yang Tak Kunjung Usai
601      411     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
HABLUR
603      309     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
May I be Happy?
347      239     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
FAYENA (Menentukan Takdir)
285      240     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
Langit-Langit Patah
23      21     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Rumah Tanpa Dede
113      75     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Unframed
429      319     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...