Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

Setelah wisuda, aku butuh jeda. Otak dan hatiku sama-sama lelah, skripsi, deadline, dan pertanyaan-pertanyaan klise dari keluarga soal "rencana hidup selanjutnya" terus datang bertubi-tubi. Aku ingin berhenti sejenak, menarik napas, dan merayakan keberhasilan kecil ini. Maka, Jepang jadi pilihanku. Liburan. Melepas penat. Mencari ruang sunyi dalam bisingnya kota besar.

Lampu kota pertama yang kulihat keluar dari Stasiun Shinjuku langsung membuatku ingin kembali masuk.

Neon di mana-mana. Iklan besar. Tulisan Jepang tanpa subtitle. Simbol-simbol asing yang berkedip cepat seperti mencoba bicara padaku dalam Morse. Orang-orang berjalan seperti digerakkan oleh motor tak terlihat. Mereka tidak pelan, tidak cepat. Presisi. Efisien. Dan, yang paling mengerikan : tidak menoleh sedikit pun.

Aku seret koper ke trotoar sempit. Roda kecilnya macet di sambungan ubin, lalu loncat dan hampir membuatku kehilangan keseimbangan. Tidak ada yang membantu. Tidak ada yang melihat.

Kupikir kota ini akan menyambutku seperti dalam anime slice of life. Tapi kenyataannya… seperti masuk ke panggung teater yang sudah mulai, dan aku tidak bawa naskah.

Hotel kapsulku seharusnya cuma berjarak enam menit jalan kaki dari stasiun, menurut peta digital. Tapi entah kenapa, aku butuh lebih dari tiga puluh menit, dua lintasan pejalan kaki, satu lorong sempit yang mencurigakan, dan lima belas kali melirik layar ponsel sambil pura-pura tidak panik.

Hari pertama di Tokyo belum juga bersahabat.

Dan ketika akhirnya sampai di depan hotel kapsul bernama Yume no Koya, aku disambut pintu otomatis yang telah terbuka. Di belakang meja kaunter, petugasnya menunjuk jam dinding dan memberi isyarat dengan tangan : check-in belum bisa. Masih terlalu awal.

Aku membungkuk, ia membungkuk. Lalu aku minggir, masih menarik koper yang kini sudah penuh rasa frustasi.

Perutku protes. Belum makan sejak di pesawat, dan teh dingin dari vending machine tidak dihitung sebagai nutrisi.

Aku menyusuri jalan dan menemukan minimarket. Lampunya terang seperti ruang operasi, dan AC-nya menyambutku seperti lemari pendingin.

Onigiri pertama yang kulihat berwarna hitam dan putih. Aku beli satu dengan gambar ikan di bungkusnya, satu lagi dengan tulisan yang entah artinya apa. Kubayar sambil tersenyum sopan ke kasir. Dia membungkuk. Aku membungkuk. Ritual nasional.

Di luar, aku duduk di bangku depan minimarket dan membuka bungkus onigiri. Kertasnya terlalu pintar. Ada nomor, lapisan plastik, dan teknik membuka yang entah kenapa seperti teka-teki matematika. Tiga menit kemudian, nasi itu akhirnya berada di tangan dan mulutku.

Rasanya… dingin. Lembap. Asin.

Aku menatap makanan itu dan bergumam, “Kayak nasi sisa kulkas, cuma dibungkus lebih elegan.”

Tapi aku habiskan juga.

Sambil makan, aku buka ponsel. Karena sinyalnya bagus. Aku buka grup WA yang berisi teman-teman kampus.

πŸ“± Arya Satya: Guess what...
πŸ“± Farel UI 2021: Mau nebar garem gacha lagi?
πŸ“± Arya Satya: Bukan. Nih.
[gambar: selfie dengan latar belakang lampu neon Shinjuku, wajah capek tapi sok cool]
πŸ“± Sarah KKI: Lah SERIUS? Itu di mana?
πŸ“± Arya Satya: Jepang. Hadiah buat diri sendiri abis wisuda.
πŸ“± Bagas BEM: Gila. Gua kira lo ngilang dari grup. Ternyata ngilang dari negara.

Aku tersenyum kecil.

Setidaknya satu hal berjalan sesuai rencana. Aku bisa pamer. Bisa membuat hidupku terlihat hebat. Bisa mengunggah selfie dengan caption bahasa Inggris yang sok puitis.

Tapi setelah itu, aku meletakkan ponsel di pangkuan. Lalu menatap ke depan. Jalanan ramai. Suara kendaraan nyaris konstan. Orang-orang datang dan pergi seperti arus air. Tapi tak satu pun yang tahu aku ada di sini. Tak satu pun yang peduli.

Seketika, aku merasa seperti karakter figuran dalam film orang lain.

Dan kota ini?

Terlalu terang untuk menyembunyikan rasa sepi.

Tapi ini baru hari pertama.

Mungkin besok, panggungnya akan terasa lebih milikku.

***

Pagi hari di kapsul hotel seperti bangun di dalam tempat pensil futuristik. Lampu lembut menyala otomatis, dinding putih plastik mengelilingi tubuhku, dan suara desis AC jadi latar belakang yang terus berdengung.

Aku bangun pelan. Kepala masih berat, tapi perasaan sedikit lebih ringan dibanding kemarin. Setidaknya aku tidak tersesat di tengah neon.

Setelah mandi dan kopi kaleng dari vending machine lantai dua, aku naik kereta ke Harajuku.

Di Harajuku, segalanya seperti hasil tabrakan antara fashion show, taman bermain, dan pesta cosplay.

Gadis-gadis dengan rambut pink dan rok mengembang melintas seperti karakter manga hidup. Toko-toko menjual pernak-pernik aneh, kaos dengan tulisan “Chicken First, Love Later,” kaus kaki bergambar sushi, dan boneka mini yang menatapku tanpa berkedip.

Aku beli satu pin berbentuk Shiba Inu pakai kacamata. Entah kenapa, lucu aja.

Di tengah keramaian itu, aku merasa sedikit... tidak sendirian. Semua orang terlihat sibuk dengan dunia mereka sendiri, tapi tidak apatis. Saling foto. Saling tertawa. Berbeda, tapi berbagi tempat.

Menjelang sore, aku memutuskan pergi ke onsen kecil yang kutemukan lewat forum backpacker.

Namanya Yuya no Sato, letaknya agak terpencil, sekitar 30 menit dari Harajuku. Aku pikir ini saatnya mencoba pengalaman yang... katanya, ‘paling Jepang’.

Setibanya di sana, aku membaca petunjuk cara mandi dari papan instruksi yang penuh ilustrasi orang telanjang dalam berbagai pose yang “etis tapi ambigu”.

Masuk ruang ganti, telanjang bulat, mandi dulu pakai bangku kecil dan sabun pinjaman, aku ikuti semua seperti siswa baru. Saat akhirnya masuk ke kolam air panas batu alami, rasa gugup tergantikan oleh keheningan hangat yang menembus kulit.

Aku bersandar. Uap mengaburkan pandangan. Rasanya seperti mandi di pemandian air hangat pacet, hanya saja ini air jepang, ada sensasi berbeda ketika berendam.

Dan untuk pertama kalinya sejak tiba, aku tidak merasa harus melakukan apa pun.

Tidak perlu terlihat bahagia. Tidak harus produktif.

Cukup diam. Menghembuskan napas. Mengendap.

Setelah keluar, malam sudah turun. Aku kembali ke hotel, tersesat satu kali karena salah ambil jalur kereta, lalu berjalan kaki sejauh 1,5 km karena salah baca peta offline. Klasik.

Setiba di kapsul, aku merebahkan tubuh. Rambutku masih lembab, tubuh sedikit pegal, tapi pikiran terasa lebih bersih.

Aku buka ponsel. Ada tiga pesan tak terjawab.

πŸ“± Dita (πŸ’›)
πŸ“± Missed call (1)
πŸ“± [Voice Note – 00:26]

Kupencet voice note.

“Sayang... kamu oke, kan? Maaf, tadi aku nelfon tapi kayaknya kamu lagi sibuk. Aku cuma pengen denger suara kamu aja. Rasanya aneh, ya. Biasanya kita bareng terus. Tapi aku seneng kamu bisa liburan kayak gini. Kamu pantas dapat waktu buat diri sendiri. Cuma... jangan terlalu lama lupa pulang, ya?”

Aku menatap langit-langit kapsul. Tiba-tiba, diam malam terasa sedikit lebih dalam.

Kuketik pelan.

πŸ“± Arya Satya: Aku gak lupa pulang kok sayang. Mumpung baru wisuda aku mau seneng-seneng dulu sebelum mulai kerja. Sayang banget kamu gak bisa ikutan. Kapan-kapan ayo kesini bareng.

Kusimpan ponsel di sisi bantal, lalu menarik selimut tipis.

Besok, mungkin aku ke Asakusa. Atau Ghibli Museum. Atau cuma duduk di taman sambil makan roti.

Gak harus spektakuler. Asal bisa bikin napas lebih pelan, itu sudah cukup.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku tidur... benar-benar tidur.

***

Sudah lima hari sejak aku tiba di Jepang, dan rasanya seperti mimpi yang mulai buram tapi masih hangat. Dalam beberapa hari terakhir, aku sudah menyusuri Asakusa sambil mencicipi mochi isi stroberi, naik ke observatorium Tokyo Skytree walau sedikit pusing lihat manusia sebesar semut, dan masuk ke Ghibli Museum. Tempat di mana setiap ruangan terasa seperti halaman buku cerita masa kecil yang terbuka lebar.

Aku juga sempat duduk lama di taman Yoyogi, nonton kakek-kakek latihan taiko, dan mengobrol singkat dengan turis asal Spanyol yang nyasar ke arah vending machine yang rusak.

Hari-hariku di sini tidak selalu ajaib, tapi semuanya terasa nyata, beberapa adegan yang ada di anime slice of life muncul di mataku.

Hari ini, koperku sudah setengah penuh, dan ini saatnya mengisi sisanya dengan oleh-oleh.

Aku menyusuri Takeshita Street sekali lagi. Di toko souvenir, aku ambil gantungan kunci Tokyo Tower untuk Bagas, kaos bertuliskan "NANI?!" untuk Farel, dan teh hijau kaleng untuk Sarah.

Aku juga beli kue kastela buat Dita, dan sempat ragu karena kemasannya terlalu cantik untuk dimakan, takutnya ia akan menyimpannya hingga expired.

Lalu untuk ibu, aku berhenti agak lama.

Di etalase toko kecil dekat stasiun, aku melihat sebuah handuk kecil bermotif bunga sakura. Sederhana. Tapi warnanya lembut, dan terasa seperti sesuatu yang akan disimpannya di lemari tapi hanya dipakai untuk tamu istimewa, seperti tamu bangsawan atau sejenisnya, karena begitulah ibu, lebih baik menggunakan barang yang kucel yang penting masih bisa dipakai..

Tapi untuk oleh-oleh, aku membelinya tanpa berpikir dua kali.

***

Sore itu, aku duduk di bangku taman kecil dekat hotel, menunggu waktu menuju bandara. Langit Tokyo mulai berubah warna, dari biru jernih ke ungu keabu-abuan yang lambat dan elegan. Udara masih hangat, tapi dengan angin pelan yang membawa aroma toko roti dan logam kota.

Aku buka ponsel. Menjelajah galeri. Selfie di depan kuil, makanan aneh yang ternyata enak, video burung pipit yang mencuri remah roti. Semua tampak jauh tapi menyenangkan.

Satu foto terakhir: aku tersenyum setengah di depan cermin hotel kapsul, dengan hoodie abu-abu dan latar belakang sempit yang penuh refleksi. Caption-nya belum kupikirkan.

Lalu, ponselku bergetar.

πŸ“± [Ibu Menelpon]

Aku menatap layar sebentar. Nada deringnya masih sama, lagu piano yang tenang dari playlist lama.

Kutelan napas, lalu kutekan tombol hijau.

“Halo, Bu…”

Aku mendengar deruh nafas yang terengah-engah dan isak tangis yang mencegahnya bicara, sesaat kemudian suara diujung telpon berkata.

“Nak… jangan pulang.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kacamata Monita
1255      558     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
SABTU
2906      1184     10     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
Yu & Way
165      134     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakanβ€”tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Tanda Tangan Takdir
206      173     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Ilona : My Spotted Skin
590      425     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Resonantia
401      339     0     
Horror
Empat anak yang β€˜terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
May I be Happy?
627      380     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
My Private Driver Is My Ex
443      291     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
Interaksi
429      331     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Kini Hidup Kembali
80      70     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.