Loading...
Logo TinLit
Read Story - Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
MENU
About Us  

'Ikuzooo....'

Aku tidak menangis saat pesawat menyentuh tanah Jepang. Tapi jantungku berdetak seperti mau nonton konser, dan kepalaku? Sibuk mengulangi kata-kata Jepang wibu yang kuhafal.

"Selamat datang di Jepang," kata suara perempuan dari pengeras suara, lembut dan netral seperti robot pelayan hotel.

Aku melirik jendela pesawat. Landasan terlihat bersih, seolah Tuhan sendiri menyapu setiap sentinya dengan Swiffer. Di luar, langit pagi Tokyo kelabu, tapi entah kenapa terasa jauh lebih mahal daripada langit Jakarta. Bahkan mendung di sini terlihat seperti hasil editan filter Instagram premium.

Aku berdiri di antara penumpang lain. Mayoritas orang Jepang memakai masker, rapi, dan diam seperti siswa teladan yang menunggu giliran absen.

Tidak ada suara. Tidak ada drama. Tidak ada “mas saya duluan ya, anak saya udah nungguin,” atau “mas, mas, itu koper siapa?”

Yang ada hanya gerakan-gerakan kecil yang presisi: melipat selimut pesawat, menyesuaikan jaket, merapikan tali masker. Semua dilakukan dengan khidmat seperti ritual.

Dan di tengah barisan itu, aku merasa seperti nasi goreng diantara sushi. Berminyak, hangat, tapi out of place.

Tas ranselku nyangkut di lengan saat aku berusaha memungut hoodie yang terjatuh dari pangkuanku. Dalam kepanikan kecil itu, aku menoleh tanpa sengaja dan...

Bruk.

Sikuku menyenggol lengan pria paruh baya di sebelahku.

Dia menoleh. Aku langsung berkata, "Maaf," sambil menunduk refleks.

Dia... membungkuk.

Aku membalas. Membungkuk juga.

Kukira selesai. Tapi belum.

Dia membungkuk lagi.

Dan sebagai manusia yang diajarkan sopan santun sejak kecil, aku... membungkuk balik.

Kami terjebak.

Saling bungkuk.

Seperti turnamen pingpong yang tidak pernah disepakati.

Seperti sedang main adu ‘unggah-unggahan level hormat’.

Siapa yang bungkuk paling dalam, paling lama, paling ikhlas?

Dalam hati aku teriak: “STOP. UDAH. DAMAI KITA.”

Tapi tubuhku terus melakukannya. Bahkan setelah dia berhenti, aku masih sempat satu bungkukan ekstra.

Kenapa? Karena aku takut dia akan menilai: "Hmm, orang ini kurang sopan satu derajat."

Kami akhirnya berpisah arah. Dia jalan ke kanan, aku ke kiri. Tapi momen itu tertinggal di udara, seperti noda malu yang tidak bisa dibersihkan.

Aku merasa seperti baru saja gagal ujian sopan santun versi Jepang.

Tapi juga... seperti dapat pelajaran hidup dadakan.

Sopan itu bukan sekadar tindakan. Tapi stamina.

Aku menatap orang-orang di sekitarku dengan mata baru.

Ada sepasang kakek-nenek saling menunduk sebelum pergi ke arah berbeda. Bahkan petugas bandara menunduk ke mesin scanner.

Ini bukan basa-basi. Ini budaya.

Dan aku sadar, satu hal. Kalau kamu bisa menunduk dengan tulus di negeri ini, mungkin kamu akan dihormati lebih daripada orang yang berteriak paling keras di negeri sendiri.

Aku menarik napas panjang.

Lalu, pelan-pelan, aku juga membungkuk, kali ini pada udara, pada suasana, pada Jepang.

Aku keluar dari pesawat dengan semangat setengah turis, setengah peserta lomba cerdas cermat. Sambil menyeret ransel yang terus menampar betisku, aku akhirnya sampai di depan papan bertuliskan "IMMIGRATION" dalam huruf kapital yang sangat... final.

Langkahku melambat. Barisan terbagi dua: warga Jepang dan "All Passports".

Aku ikut antre bersama para pendatang. Kami diam-diam saling melirik. Semacam solidaritas sunyi.

Sesekali terdengar bunyi koper diseret, atau batuk kecil yang disensor masker.

Aku mencoba terlihat calm. Cool. Confident. Tapi jujur, dalam hati aku teriak:

“Kalau petugas nanya ‘kenapa ke Jepang?’ dan aku jawab ‘karena gabut’, itu bakal masuk red flag, nggak ya?”

Barisan bergerak lambat. Setiap orang berdiri di belakang garis kuning yang jelas-jelas ditandai dengan 3 bahasa, 2 panah, dan satu ikon orang tersenyum tapi tegang.

Di depanku, ada turis bule dengan topi lebar dan backpack penuh gantungan. Dia mengisi form imigrasi sambil jongkok.

Aku ngintip. Isinya cuma data dasar: nama, alamat hotel, nomor penerbangan, dan tujuan.

Aku pun ambil formulir. Aku isi dengan huruf kapital yang gemetar. Entah kenapa, menulis alamat hotel membuatku merasa seperti sedang berbohong.

“Hotel Sakura Inn, Shinjuku.”

Serius banget. Padahal aku cuma akan tidur dan ketiduran nonton YouTube di sana.

Giliranku.

Petugasnya seorang pria muda dengan seragam biru laut yang licin dan rapi seperti origami manusia. Wajahnya datar, tapi tidak galak. Matanya fokus. Tangannya cekatan.

Aku menyerahkan paspor dan formulir dengan dua tangan, karena katanya itu sopan. Tapi tanganku sedikit berkeringat, jadi dokumennya agak... lengket.

“Gomen,” bisikku refleks.

Petugas itu tidak bereaksi. Mungkin karena aku campur aduk antara minta maaf dan minta ampun.

Dia membuka paspor milikku. Melihat fotoku. Lalu melihat aku. Lalu... kembali melihat fotoku.

Aku menegang.

‘Apakah wajahku berubah drastis karena stres dua minggu terakhir?’

‘Apakah dia curiga aku mengganti identitas karena dosa masa lalu?’

‘Apakah dia sadar fotoku lebih kurus dan itu kriminal di sini?’

Lalu dia tersenyum.

“How long will you stay in Japan?”

Suara bahasa Inggrisnya tenang. Lurus. Tanpa intonasi.

Aku menjawab, “Ten days,” lalu buru-buru menambahkan, “For holiday. For culture. For... uhm... self-reflection.”

Petugas itu mengetik sesuatu. Lama. Sangat lama.

Atau mungkin aku yang merasa lama karena detak jantungku sudah naik ke dada.

Akhirnya, dia mengangkat stempel. Dan… dook!

Segel resmi mendarat di pasporku.

Aku nyaris mengucap Allahu Akbar tapi kutahan dalam hati.

Dia menyerahkan kembali paspor dan formulirku dengan dua tangan, seperti memberikan benda pusaka.

Aku menerimanya dengan dua tangan juga, seperti sedang menerima ijazah kelulusan hidup.

Kami saling tunduk kecil. Dan dalam sekejap, aku resmi masuk ke Jepang.

Negeri impian para wibu.

Langkahku melewati garis imigrasi seperti langkah keluar dari pintu dimensi lain.

Di belakangku, kehidupan lama. Di depanku, ketidakpastian yang sangat tertata.

Dan aku masih belum percaya, bahwa negara ini membiarkanku masuk.

Aku, yang tidak bisa membaca satu huruf pun kanji, tapi ingin mencari makna hidup di negeri yang bahkan sinyal WiFi-nya sopan.

Dan yang paling bikin aku terpaku: vending machine yang bicara.

Bukan vending machine biasa. Ini... seperti benda suci dari peradaban masa depan yang dikirim ke masa kini demi menguji apakah umat manusia sudah layak mendapatkan kenyamanan maksimal.

Kotak biru metalik itu berdiri di sudut lorong terminal seperti penjaga gerbang dunia lain. Badannya mengkilap, lengkap dengan layar sentuh yang berkedip-kedip lembut, seolah berkata: "Selamat datang, makhluk haus. Aku telah menunggumu."

Lalu dia bicara.

"Bip bip. Irasshaimase!"

Suaranya tinggi, ceria, dan... anehnya hangat. Seperti boneka yang kesurupan semangat customer service.

Aku mendadak tegak. Bahu kaku. Mata melotot. Otak panik.

"Barusan... mesin? Ngomong ke aku?"

Aku melirik kanan kiri. Tidak ada siapa-siapa. Hanya aku dan mesin ini.

Kami saling tatap (sebatas yang bisa dilakukan manusia dan mesin).

Aku merasakan tekanan sosial. Dari vending machine.

Di Jepang, bahkan benda mati pun punya sopan santun.

Di dalamnya, deretan botol dan kaleng berjajar seperti pasukan elit. Teh hijau, ocha dingin, kopi susu kalori rendah, soda rasa stroberi alpukat ungu yang entah nyata atau cuma tipuan visual. Ada juga minuman yang gelasnya bergambar idol anime, yang membuatku tiba-tiba merasa seperti pria kesepian yang sangat membutuhkan bimbingan hidup.

Layar sentuh di depannya menampilkan animasi minuman yang menari. Ya. Menari. Lengkap dengan musik latar seperti dari acara TV anak-anak Jepang.

Aku menyentuh layar itu pelan, nyaris takut menyakitinya. Lalu keluar menu. Berbahasa Jepang. Semua hurufnya kanji. Panik.

Otakku langsung berpikir, "Kalau aku salah pencet, apa aku akan dipanggil security?"

Tapi naluri lapar dan penasaran jauh lebih kuat. Jika tidak mengerti maka jalan terakhir adalah ‘Learning by doing’, seperti menamatkan gim Basara di PS 2 padahal sampai tamat tetap tidak bisa membaca tulisan di main menu.

Aku tekan tombol yang warnanya biru pastel, karena terlihat paling damai.

“Pi pi pi!”

Suara mesin itu membuatku merasa seolah sedang mendaftar ujian seleksi ninja.

Dan tiba-tiba, dengan suara mekanik yang menggetarkan jiwaku:

Klunk!

Kaleng teh meluncur ke bawah. Lembut. Presisi. Tanpa goresan.

Aku memungut kaleng itu dengan dua tangan. Otomatis. Seperti menerima benda keramat dari biksu Tibet. Kalengnya dingin, dengan embun tipis yang menyelimuti permukaannya. Tulisannya semua kanji. Aku tidak tahu apa isinya. Tapi hatiku berkata: ini pilihan yang tepat.

"Yatta," bisikku.

Lalu aku menampar pipiku.

Arya, kontrol. Kamu baru beli minuman. Bukan lulus S2.

Aku berdiri di situ cukup lama, menyeruput teh dingin seperti sedang kontemplasi puisi.

Rasanya... enak. Tapi bukan sekadar enak.

Rasanya seperti: "Hai, selamat datang di Jepang. Kamu tidak sendirian. Kami punya teh rasa pelukan."

Aku memejamkan mata. Mencoba menikmati momen itu sepenuh-penuhnya. Di negeri asing. Ditemani minuman otomatis.

Aku merasa damai.

Hampir religius.

Tiba-tiba, mesin itu bicara lagi.

"Arigatou gozaimashita~!"

Aku refleks membungkuk ke arah mesin.

Lalu sadar.

Dan berpura-pura mengikat tali sepatu yang tidak ada.

Aku melihat sekeliling. Tidak ada yang memperhatikan. Tapi rasa malunya tetap tertinggal.

Aku baru saja membungkuk pada vending machine. Di depan umum. Di negara asing.

Dan, jujur saja, aku tidak menyesal.

Saat aku berjalan menjauh, aku menoleh sekali lagi ke mesin itu.

Kami saling paham.

Kami pernah berbagi momen.

Toilet publik di bandara adalah hal berikutnya yang membuatku merasa tidak layak jadi manusia.

Aku masuk dengan niat mulia: buang air kecil dan membasuh muka. Tapi begitu pintu otomatisnya terbuka, aku langsung merasa seperti melangkah ke pusat pelatihan astronot. Semuanya serba putih, steril, dan... sunyi. Tidak ada bau aneh. Tidak ada suara orang batuk. Bahkan tidak ada tanda-tanda kehidupan kecuali musik alam yang mengalun pelan dari speaker kecil di langit-langit. Burung-burung berkicau. Air terjun mengalir lembut.

Aku hampir bertanya: "Maaf, ini toilet atau taman nasional?"

Aku masuk ke bilik. Bersih. Lantai kering. Klosetnya mengkilap seperti perabot IKEA yang baru dipasang. Di sebelahnya ada panel tombol digital dengan ikon-ikon misterius yang bikin aku merasa sedang main gim puzzle. Ada simbol air. Simbol angin. Simbol burung. Simbol seperti... gelombang wifi?

Aku menatap tombol-tombol itu lama.

"Kenapa ada burung?" bisikku. "Apa ini... suara burung? Atau... penyembur air dalam bentuk burung?"

Karena aku bodoh, penasaran, dan merasa aman dalam peradaban modern, aku tekan.

Yang terjadi berikutnya tidak bisa dijelaskan dengan logika manusia.

Sebuah pancuran air menyembur dari belakang. Tepat. Sasaran tepat sasaran. Aku tidak siap. Tidak secara fisik, tidak secara mental, apalagi spiritual.

"ASTAGA!" jeritku. Tapi karena ini Jepang, jeritannya tertahan di tenggorokan. Jadi yang keluar cuma desisan seperti ular dehidrasi.

Airnya hangat. Lembut. Dan... presisi. Seperti sniper. Tapi bukan sniper biasa, sniper spa.

Aku berdiri dengan celana setengah melorot, tangan menahan dinding, mencoba tidak jatuh karena shock, dan pada saat yang sama berusaha memahami:

Apakah... apakah ini kebiasaan lokal?

Apakah aku sedang dimurnikan sebelum masuk kuil?

Atau... apakah aku baru saja dibaptis ulang sebagai warga dunia modern?

Setelah lima belas detik yang terasa seperti satu semester penuh pencerahan, air berhenti.

Aku terdiam. Diri ini... bukan lagi aku yang tadi.

Ada rasa malu. Tapi juga... rasa bersih yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

Lalu aku lihat tombol lain: “Dry.”

Aku tekan. Angin hangat menyapa. Aku hampir menangis.

Toiletnya menyembur air, lalu mengeringkan.

Ini bukan toilet. Ini teman hidup.

Sambil berdiri di depan wastafel, aku melihat diriku di cermin. Rambut awut-awutan, mata berkaca-kaca, pipi memerah. Bukan karena malu, tapi karena aku baru saja diubah oleh alat kebersihan berteknologi tinggi.

Aku, Arya, anak manusia, telah naik level.

Dua menit kemudian, aku keluar dari bilik dengan langkah pelan. Tenang. Bukan karena masih trauma. Tapi karena aku sekarang tahu: ada jenis kenyamanan yang belum pernah kuketahui selama ini. Dan aku mungkin... tidak akan pernah bisa kembali ke cara hidup lama.

Di luar terminal, aku disambut angin Tokyo yang tajam tapi bersih. Aku menarik napas dalam-dalam. Troli koperku berderak di atas permukaan trotoar seperti dalam iklan maskapai.

Kupandangi kota di kejauhan. Lampu-lampu kecil seperti bintang elektronik. Ini bukan Jakarta. Ini dunia lain. Dan aku, Arya Satya Ramadhan, akhirnya tiba. Di negeri di mana semua terasa sempurna. Dan aku, mungkin, akan menemukan versi sempurna dari diriku juga.

Sambil menyeret koper, aku melangkah menuju stasiun kereta ekspres ke Shinjuku. Tiket sudah kupesan lewat aplikasi. Aku merasa seperti orang penting. Sekali dalam hidupku, aku ingin tahu rasanya jadi tokoh utama.

Petunjuk arah sangat jelas. Bahkan terlalu jelas. Sampai aku sempat curiga: “Ini Jepang atau simulasi buatan Google?”

Kereta ke Shinjuku datang tepat waktu. Tidak satu menit pun telat. Langit berubah jadi senja, dan jendela kereta memperlihatkan lanskap kota Tokyo yang semakin padat. Aku menempelkan jidat ke kaca. Kota ini seperti puzzle. Rapi, tenang, dan rumit.

Dan aku duduk diam, menyeruput sisa teh kalengku, mencoba mengingat rasa ini: awal yang sederhana.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tanpo Arang
36      30     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
116      103     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Da Capo al Fine
259      219     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Ruang Suara
173      123     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Atraksi Manusia
443      326     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Matahari untuk Kita
608      358     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
170      112     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Tumbuh Layu
324      210     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
That's Why He My Man
709      510     9     
Romance
Jika ada penghargaan untuk perempuan paling sukar didekati, mungkin Arabella bisa saja masuk jajan orang yang patut dinominasikan. Perempuan berumur 27 tahun itu tidak pernah terlihat sedang menjalin asmara dengan laki-laki manapun. Rutinitasnya hanya bangun-bekerja-pulang-tidur. Tidak ada hal istimewa yang bisa ia lakukan di akhir pekan, kecuali rebahan seharian dan terbebas dari beban kerja. ...
Ilona : My Spotted Skin
458      335     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...