Pagi-pagi buta, sebelum alarm berbunyi, aku sudah duduk di meja kecil di pojok ruang kerja. Lampu meja menyala remang, laptop menyala, dan aroma kopi instan menguar dari mug yang hampir kosong.
Jari-jariku menari pelan di keyboard. Satu paragraf. Dua. Lalu revisi. Lalu hapus. Lalu nulis lagi. Sesekali aku menoleh ke kamar, memastikan Ray masih lelap tidur di peluk Radit.
Inilah waktu paling sunyi sekaligus paling hidup buatku. Sebelum dunia sibuk memanggilku jadi ibu, jadi pekerja, jadi istri—aku adalah aku yang menulis.
***
Hari-hariku mulai terasa seperti puzzle yang harus pas semua.
Pagi: menyiapkan sarapan, mandiin Ray, antar ke daycare.
Siang sampai sore: kerja di kantor, rapat, deadline laporan.
Malam: masak makan malam, main sebentar dengan Ray, temani dia tidur, baru bisa buka laptop lagi.
Dan ya, aku capek.
Tapi juga… senang.
Ada rasa letih yang anehnya nggak pahit. Mungkin karena lelah ini bukan cuma karena rutinitas. Tapi juga karena aku sedang mengejar sesuatu yang membuat hatiku senang.
Kadang aku nulis di notes ponsel saat istirahat kantor. Kadang curi waktu sepuluh menit buat ngedit puisi. Pernah juga bangun jam tiga pagi karena ide cerita muncul di mimpi. Rasanya absurd, tapi menyenangkan.
***
Suatu malam, aku sedang duduk mengetik di meja makan. Radit lewat sambil menggendong Ray yang sudah mulai mengantuk.
"Masih nulis?" tanyanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk. "Dikit lagi. Lagi seru."
“Hebat banget sih kamu. Udah kerja seharian, masih semangat nulis,” ucapnya, lalu memberi isyarat pelan agar aku melanjutkan.
Setelah Ray tertidur dan rumah kembali sunyi, aku duduk lagi, kali ini sambil membuka kalender.
Aku belajar membagi waktu.
Belajar menolak meeting tambahan yang tak perlu.
Belajar bilang “nanti dulu” ke pekerjaan rumah yang bisa ditunda, dan “ya, sekarang” ke deadline menulis yang menunggu.
Bukan berarti aku selalu berhasil. Ada hari di mana Ray sakit, kantor chaos, dan aku bahkan tak sempat buka laptop. Tapi aku belajar satu hal:
Konsistensi bukan soal setiap hari harus produktif,
tapi soal tetap kembali, meski sempat berhenti.
***
Aku mulai rajin memposting karya di platform online. Cerpen-cerpen kecil, puisi-puisi dari hati.
Aku bukan lagi menulis demi validasi. Tapi saat tulisan itu sampai ke orang lain dan membuat mereka merasa tidak sendiri… rasanya seperti hadiah tambahan dari semesta.
Kadang aku heran sendiri, bagaimana semesta bisa menyelipkan energi baru di sela-sela kelelahan. Satu malam, setelah Ray tidur lebih cepat dari biasanya, aku bisa menyelesaikan dua halaman cerpen yang tertunda sejak minggu lalu. Lain waktu, aku hanya sempat menulis satu bait puisi di notes ponsel, tapi bait itu terasa seperti pelukan kecil untuk diriku sendiri.
Tulisan-tulisan itu belum tentu langsung kukirim ke mana-mana. Ada yang masih kusimpan rapi di folder laptop, ada yang hanya kubaca ulang sendiri saat butuh pengingat kenapa aku mulai semua ini. Tapi satu hal yang pasti: aku merasa hidup setiap kali menulis.
Menulis bukan lagi tentang "mau dipublikasikan di mana", tapi tentang "apa yang ingin benar-benar kusampaikan hari ini". Dan kadang, itu cukup. Bahkan saat tak ada yang membaca, aku tahu aku sedang menyelamatkan diriku sendiri.
Radit sering bilang, “Tulisanmu tuh kayak kamu banget, Na. Nggak usah muluk-muluk. Yang penting jujur.”
Dan aku mulai percaya, mungkin itu memang cukup: menulis dengan jujur.
Dan malam itu, sebelum tidur, aku mencatat sesuatu di jurnal kecilku:
Menulis membuatku merasa utuh.
Capek? Iya. Tapi juga bahagia.
Karena akhirnya… aku tidak sekadar menjalani hidup.
Aku juga sedang menghidupkan kembali mimpi.
Aku menutup jurnal, merebahkan tubuh, dan tersenyum.
Besok pagi, hidup akan sibuk lagi. Tapi malam ini, hatiku penuh.
Dan untuk pertama kalinya, aku tak ingin mengubah apa pun.