Satu tahun berlalu.
Aku disibukkan dengan segala hal yang datang bertubi-tubi: menjadi sekretaris direktur di kantor cabang baru, menjadi ibu dari anak laki-laki yang sedang aktif-aktifnya bertanya, dan menjadi istri dari seorang suami yang pelan-pelan belajar lebih hadir.
Hidupku tak pernah benar-benar diam.
Tapi entah kenapa, ada bagian dari diriku yang merasa tetap... di tempat.
Dan tahun ini, aku resmi berusia 30 tahun.
Tiga puluh. Angka yang cukup bulat untuk memaksa seseorang menoleh ke belakang. Melihat jejak, menghitung pencapaian, dan mulai bertanya: “Aku sudah sampai mana?”
Jam dinding di kantor menunjukkan pukul 07.22 saat aku membuka website resmi penerimaan CPNS. Notifikasi pengumuman seleksi ujian tertulis terpampang jelas di halaman utama.
Seketika tanganku dingin.
Aku sempat daftar lagi tahun ini. Diam-diam. Tak ada yang tahu, bahkan Radit. Aku bilang padanya kalau aku sudah menyerah pada impian masa lalu. Tapi ternyata, aku tidak benar-benar menyerah. Hanya menyimpannya diam-diam seperti luka lama yang belum sembuh, tapi terus kusentuh sendiri—pelan-pelan, sambil berharap entah apa.
Kutatap layar laptop lebih lama dari seharusnya.
“Mohon maaf, Anda tidak lolos tahap seleksi ujian tertulis.”
Tanganku gemetar. Aku menutup browser. Menatap meja kantor yang rapi tapi terasa hampa. Aku tahu dunia tidak runtuh. Tapi sesuatu di dalam diriku terasa retak—lagi.
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Cahaya pagi masih lembut. Tapi tidak cukup untuk menghangatkan ruang kosong di dada.
***
Siang harinya, saat aku sedang sendirian di pantry, aku membuka Instagram. Mencoba mengalihkan pikiran, malah terbentur kenyataan.
Di story seorang teman kuliah, ada foto dirinya memakai seragam dinas. Caption-nya berbunyi, “Alhamdulillah, hari pertama ngantor sebagai dosen PNS.”
Yang lain baru saja lulus pendidikan polwan, satu lagi membagikan foto ruang kelas tempat dia mengajar. Semuanya terlihat melangkah. Meninggalkan.
Dan aku?
Masih di sini. Di meja kerja yang sama. Dengan rutinitas yang sudah hapal bahkan tanpa perlu berpikir.
Apa aku iri? Nggak. Rasanya bukan itu. Aku bahagia untuk mereka.
Tapi tetap ada ruang kosong yang menganga di dalam. Bukan karena aku tidak suka hidupku—aku mencintai banyak bagian dari hari-hariku. Tapi ada sisi lain, sisi kecil dalam diri ini, yang terus bertanya: “Kapan aku maju? Kenapa semua orang terlihat lanjut?”
Aku tahu, media sosial cuma potongan kecil. Tapi rasanya tetap menyesakkan.
Mungkin ini manusiawi. Mungkin ini cuma momen lelah yang harus dilewati.
Tapi rasanya, untuk sesaat, aku ingin berhenti jadi kuat. Ingin jujur bahwa gagal lagi kali ini... sakit juga.
***
Waktu istirahat siang, aku sengaja turun ke taman kecil di belakang gedung kantor. Duduk di bangku yang jarang dipakai siapa-siapa. Kubuka catatan digital di ponsel. Jari-jariku berhenti di folder bernama “Rencana Hidup Versi Mama”. Isinya? List mimpi yang tak semuanya milikku.
Lulus kuliah sebelum umur 23 ✔️
Jadi PNS sebelum 30 ✘
Studi lanjut sebelum 30 ✘
Punya rumah sendiri ✘
Satu per satu kutandai mana yang kuturuti, mana yang kulepaskan.
Kenapa tidak ada daftar seperti:
Bahagia di jalan sendiri
Bekerja dengan hati
Memaafkan diri sendiri saat gagal
Kenapa tidak pernah ada ruang untuk itu?
***
Malamnya, aku berdiam lama di ruang tengah. Tak menyalakan TV, tak juga menggulir ponsel. Hanya diam sambil memandangi tumpukan kertas lamaran kerja yang dulu pernah kutulis dengan penuh semangat.
Radit keluar dari kamar membawa dua cangkir teh hangat. Duduk di sebelahku, diam, lalu menoleh pelan.
“Kamu kelihatan... murung hari ini.”
Aku mengangguk. “Kayaknya aku capek terus jadi versi orang lain, Dit.”
Ia menghela napas. “Aku nggak tahu harus jawab apa, tapi... kamu nggak harus jadi siapa-siapa buat aku. Kamu cukup.”
Aku menunduk, menahan air mata yang terlalu malu untuk jatuh.
“Aku daftar CPNS diam-diam. Aku gagal lagi.”
Radit tidak terlihat kaget. Hanya mengangguk. “Kamu masih mau terus coba?”
Aku mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Kadang aku pengen, kadang aku benci. Aku bahkan nggak tahu ini impianku atau cuma sisa dari harapan orangtuaku.”
Dia menggenggam tanganku. Lama. Diam. Tapi hangat.
“Aku pengen kamu tahu, meski kamu gagal, meski kamu berhenti, aku tetap dukung. Bahkan kalau kamu besok bilang mau jualan souvenir lagi, aku akan bantu.”
Aku tertawa kecil. Sakit dan hangat itu anehnya bisa datang bersamaan.
***
Dan sebelum tidur, aku menulis satu catatan baru di jurnal digitalku:
Hari ini aku gagal lagi. Tapi hari ini juga aku sadar, aku nggak harus menang lomba mimpi orang lain. Cukup menang untuk diriku sendiri. Pelan-pelan. Tapi pasti.