Ada yang menganga dalam diri
Aku sering menatap Radit diam-diam.
Seperti malam ini, saat dia menyendokkan nasi ke piringku, menyuruhku duduk duluan sambil ia membereskan piring kotor. Ray sudah tertidur lebih awal, kecapekan setelah seharian berlarian di rumah. Rumah sudah cukup rapi, tidak ada cucian menumpuk. Tidak ada pertengkaran. Tidak ada dingin di antara kami.
Radit bukan lelaki yang romantis dengan kata-kata. Tapi dia hadir. Dia tidak segan berbagi beban rumah, ikut hadir dalam setiap agenda sekolah Ray, menyapu, mencuci, bahkan mengurusi segala hal diam-diam supaya aku tidak repot. Kadang dia membawakan aku susu hangat saat aku masih berkutat dengan laptop malam-malam. Sesederhana itu. Tapi penuh.
Dan justru itu yang membuatku bertanya-tanya.
Kenapa aku masih merasa kosong?
Kenapa ada ruang dalam diriku yang tetap saja terasa menganga, meski aku sudah punya suami yang baik, anak yang lucu, dan pekerjaan yang cukup untuk menyambung hidup.
Aku merasa berdosa pada Radit. Aku tidak ingin menyalahkannya atas rasa hampa yang bukan dia sebabnya. Tapi rasa itu nyata. Seperti lubang kecil di dada yang makin lebar saat aku membandingkan diri dengan orang lain.
Aku sudah berhenti membandingkan diriku dengan unggahan Instagram teman-teman. Sudah lewat masanya aku merasa tertinggal karena tidak berseragam atau bertitel. Tapi tetap saja, ada yang menganga. Bukan iri—lebih seperti perasaan hampa yang tidak kunjung sembuh, meski semua di sekelilingku baik-baik saja.
Aku pun dulu punya mimpi.
Punya impian untuk kuliah S2, untuk jadi dosen di kota kelahiran, untuk berdiri di ruang kelas dan menyebut namaku sendiri dengan bangga. Tapi semua itu terasa makin jauh. Satu demi satu aku coba kejar, satu demi satu juga gagal kugapai.
Aku bahkan mendaftar CPNS diam-diam tahun ini juga. Aku tidak ingin dia kecewa, tidak ingin dia merasa usahanya belum cukup untuk membuatku merasa utuh. Tapi kenyataannya: aku belum utuh.
***
Malam itu, setelah dapur beres, kami duduk berdua di ruang tamu.
Radit mengangkat kakiku ke pangkuannya. Mengusap-usap telapak kakiku pelan.
"Capek, ya?"
Aku mengangguk.
Dia tidak bertanya lebih jauh. Tidak memaksa cerita. Tapi malam itu, entah kenapa aku ingin bicara.
“Dit…”
“Hm?”
“Kalau aku masih sering ngerasa kosong, kamu marah nggak?” tanyaku pelan, nyaris berbisik.
Dia berhenti mengusap. Matanya menatapku serius.
“Enggak. Tapi aku mungkin sedih.”
Aku menunduk. “Maaf ya…”
“Kenapa minta maaf?”
“Soalnya kamu udah jadi suami yang baik. Tapi aku… aku masih ngerasa kayak ada yang hilang.”
Radit diam beberapa saat. Lalu dia hanya menarikku ke pelukannya.
“Kalau kamu ngerasa kosong, jangan sendirian di situ. Ajak aku duduk di sana. Nggak apa-apa.”