Beberapa bulan setelahnya, aku dimutasi ke kantor cabang. Aku sempat bingung, sempat takut. Bagaimana dengan anak kami? Bagaimana dengan proses ini semua?
Tapi aku sudah di titik... ya udahlah. Mau ditempatkan di mana pun, aku tetap berusaha sebaik mungkin. Hidupku udah terlalu banyak "penempatan tak terduga".
Ternyata, kantor baru lebih hangat dari yang kuduga. Orang-orangnya ramah, suportif. Aku justru merasa lebih dihargai. Bahkan, direktur menempatkanku sebagai sekretarisnya. Tantangan baru. Tanggung jawab baru. Tapi aku menyambutnya.
"Mbak Nara, kalau nggak ada Mbak, bagian ini kayaknya ambyar deh," celetuk salah satu staf sambil menyerahkan berkas.
Aku tersenyum seadanya, lalu kembali menatap layar.
Aku nggak merasa hebat. Bahkan nggak tahu aku mau apa, atau akan jadi siapa. Aku cuma tahu: ini tugasku, dan aku harus selesaikan.
Mungkin belum ada rasa bangga. Tapi setidaknya... aku masih berjalan.
***
Anak kami juga menunjukkan perkembangan pesat. Terapi berjalan konsisten. Kami hadir bergantian, atau kadang bersama. Ia mulai bicara. Sedikit-sedikit, lalu makin sering. Ia mulai memeluk, mulai menggambar.
Suatu hari, ia pulang membawa gambar dari tempat terapi. Gambar tiga orang bergandengan tangan.
"Ini siapa?" tanyaku.
"Papa... Mama... Aku," jawabnya pelan.
"Kenapa kita dipegangin tangan semua?"
"Biar nggak hilang," katanya sambil tersenyum.
Kami terdiam lama. Aku menoleh pada Radit, yang tampak menunduk, menyeka sudut matanya diam-diam.
***
Di kantor baru, aku menemukan banyak wajah dan cerita baru. Rekan-rekan kerja yang ramah dan lingkungan yang lebih menghargai membuatku merasa diterima dan penting. Penempatan sebagai sekretaris direktur membawa tantangan tersendiri: jadwal yang lebih padat, tanggung jawab yang lebih besar, dan harapan yang tinggi.
Tapi di rumah, tantangan yang berbeda menunggu. Anak kami menjalani terapi rutin yang tak bisa dilewatkan, dan aku bersama Radit berusaha seimbang membagi waktu dan perhatian. Kami sudah tinggal serumah, tapi bukan berarti segalanya berjalan mulus. Kadang aku pulang terlambat, sementara Radit sudah mengurus anak di rumah. Lain waktu, Radit lembur di kantor, dan aku harus memastikan anak dapat terapi dan makan malam tepat waktu.
“Aku rapat sampai jam empat. Setelah itu, jemput anak kita, ya?” pesanku ke Radit lewat chat kantor.
Ia langsung membalas:
Oke. Si kecil hari ini terapi bicara, kan?
Aku juga udah pesen lauk favorit kamu buat makan malam. Kamu pulang bawa perut kosong aja.
Aku tersenyum kecil menatap layar. Di tengah tumpukan dokumen dan suara panggilan dari interkom, satu notifikasi dari Radit cukup membuatku merasa pulang—meski aku belum benar-benar pulang.
***
Sore itu, saat sampai di rumah, aku mendapati anak kami sudah mandi, mengenakan piyama dinosaurus kesukaannya, dan duduk anteng sambil menyusun puzzle. Radit menyambutku dengan wajah lelah, tapi tenang.
“Gimana kerjaan hari ini?” tanyanya sambil memberiku gelas teh hangat.
Aku menjatuhkan diri ke sofa, menghela napas panjang. “Direktur minta aku koordinasiin kunjungan tamu minggu depan. Semua rundown, teknis, sampai detail jam makan siang—aku yang pegang.”
Aku mengusap wajah. “Nggak ada pujian, sih. Tapi dari semua orang di tim, kenapa-kenapa selalu dilimpahin ke aku. Mungkin itu caranya ngasih kepercayaan.”
Radit tersenyum kecil sambil menyodorkan gelas teh. “Kadang orang kayak gitu bukannya nggak lihat, tapi nggak bisa nunjukin. Tapi kamu dilihat, Na. Dan dipercaya. Itu udah cukup berarti.”
***
Kami bukan pasangan yang sempurna. Tapi kami belajar saling menghargai ulang. Kadang, kami pergi berdua—bukan untuk liburan mewah, tapi untuk mengingat lagi bagaimana rasanya berjalan bersama, seiring langkah dan napas.
Di hari yang kami pilih hanya untuk kami, kami mendaki gunung yang tak terlalu tinggi. Anak kami dititipkan pada ibuku.
Di tengah heningnya hutan pinus dan suara langkah yang saling menyusul, kami bicara—bukan sekadar soal rute atau jalur menanjak, tapi tentang hidup. Tentang luka-luka lama yang kini tak lagi kami sembunyikan. Tentang harapan-harapan kecil yang tumbuh kembali seperti tunas-tunas yang menyembul dari tanah setelah hujan.
Kami juga menertawakan masa lalu dengan rasa syukur karena berhasil melewatinya.
Saat kami mencapai puncak, kami duduk berdampingan, memandangi langit yang perlahan berubah warna.
“Nafasku udah kayak mau copot,” Radit tertawa kecil.
Aku ikut tertawa. “Tapi kita nyampe juga.”
“Iya. Pelan-pelan, tapi nyampe.” Ia menoleh ke arahku. “Kayak kita.”
“Dulu kita bahkan nggak ngerti cara bertengkar yang sehat,” kataku.
Radit tertawa kecil. “Sekarang pun masih belajar. Tapi setidaknya sekarang kita nggak saling diam.”
Kami tidak butuh banyak kata setelah itu. Karena dalam diam, kami tahu: ini bukan soal naik gunung. Tapi tentang bagaimana kami memilih saling menemani, meski jalannya terjal.
***
Ada malam-malam ketika anak kami demam, dan kami bergantian menemaninya. Ada pagi-pagi ketika aku harus berangkat subuh, dan Radit yang menyiapkan sarapan.
Dan di tengah semua kesibukan, aku sadar… rumah bukan lagi sekadar tempat tinggal. Tapi ruang yang kami bangun bersama—dengan usaha yang tidak ringan, tapi penuh cinta yang pelan-pelan tumbuh kembali.
Keseimbangan ini bukan sesuatu yang statis. Kadang lebih berat di rumah, kadang di kantor, kadang di hati sendiri. Tapi kami belajar membaca ulang situasi, menyesuaikan ritme, saling menguatkan, dan meredakan yang goyah. Karena hidup bersama bukan soal membagi rata, tapi saling mengisi saat yang lain mulai lelah.