Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Waktu tidak menyembuhkan apa pun. Tapi kehadiran—yang tulus, yang utuh—itu yang menumbuhkan harapan.

Setahun terakhir adalah tahun yang pelan. Bukan lambat karena tak ada yang terjadi, tapi justru karena segala sesuatunya terjadi dengan kesadaran penuh. Kami, dua orang dewasa yang pernah saling mencintai lalu saling menyakiti, kini sama-sama belajar membangun ulang kepercayaan yang pernah rubuh.

Aku dan Radit belum langsung tinggal serumah. Setelah malam itu—malam ketika kami memutuskan mencoba lagi tanpa janji tapi juga tanpa mundur—kami perlahan membiasakan diri untuk hadir kembali dalam hidup satu sama lain. Jemput anak bareng. Diskusi soal jadwal terapi. Sarapan di mobil sebelum berangkat kerja. Sesekali makan malam bertiga, bahkan sesederhana mie rebus dan telur dadar.

Aku masih tinggal di rumah bersama anak kami. Radit tinggal di kos. Kadang dia menginap di rumah saat anak kami rewel atau hanya ingin pelukannya. Tapi selebihnya, kami menjaga jarak. Bukan untuk menjauh, tapi agar kami bisa tumbuh di ruang masing-masing.

Ada malam-malam ketika kami mengobrol sampai larut. Di teras, berdua, saat anak kami sudah tidur. Radit sering membawakan es krim favoritku atau martabak telor dari kedai dekat kosnya. Aku akan menyeduh teh. Dan kami duduk, bukan lagi sebagai dua orang asing yang kebetulan punya masa lalu, tapi sebagai dua orang yang sedang berani menatap masa depan.

“Aku masih suka takut salah ngomong,” katanya suatu malam sambil mengaduk es krim yang mulai meleleh.

“Gitu ya?” Aku menoleh. “Padahal sekarang kamu justru lebih jujur. Dulu kamu diam terus.”

Radit tertawa kecil. “Dulu aku pikir jujur itu artinya bikin kamu khawatir.”

“Sekarang kamu tahu?”

“Kalau diam justru lebih menyakitkan.”

Kami belajar tertawa lagi. Bukan tawa penuh euforia seperti dulu saat baru jatuh cinta, tapi tawa kecil yang muncul setelah melewati banyak malam panjang.

Kadang, kami sengaja pergi berdua. Tidak jauh—sekadar staycation semalam di kota tetangga saat anak kami menginap di rumah ibuku. Kami jalan kaki di taman, sarapan di kafe, atau cuma duduk di balkon sambil membaca buku masing-masing.

Di perjalanan pulang dari salah satu trip itu, Radit sempat memutar lagu lama—lagu yang dulu jadi favorit kami. Dia menatapku sekilas.

“Kamu inget nggak waktu kita muter lagu ini pas hujan-hujanan di motor?”

Aku tertawa. “Kita basah kuyup. Terus mampir beli nasi goreng pinggir jalan, duduk di bawah atap ruko.”

Dia tersenyum. “Aku pengin banyak momen kayak gitu lagi. Tapi kali ini... aku pengin kamu tahu, kamu bisa ngeluh kalau capek. Nggak harus selalu kuat.”

Aku menoleh, menatapnya. “Kita berdua. Harus sama-sama belajar bilang ‘aku butuh kamu’ tanpa takut disalahpahami.”

Ia mengangguk pelan. Lalu menggenggam tanganku di atas tuas persneling. Tak lama, kami terdiam. Tapi kali ini, diam yang tidak canggung. Diam yang terasa penuh.

Dulu aku pikir menjadi istri itu tentang menjadi kuat. Menjadi ibu itu tentang tahan banting. Tapi setelah semua ini, aku sadar: menjadi pasangan dewasa itu tentang jadi cukup untuk diri sendiri dulu. Baru lalu bisa cukup untuk orang lain.

Aku tidak lagi menuntut Radit untuk mengerti semua rasa lelahku. Aku belajar untuk bilang, "Aku butuh kamu." Tanpa malu. Aku juga belajar memaafkan diriku sendiri karena pernah menyerah.

Cinta yang bertahan, bukan karena tidak pernah retak. Tapi karena dua orang memilih menambalnya. Lagi dan lagi.

Tahun itu menutup pelan.

Langit sore di ujung Desember menguning lembut. Udara dingin dari jendela kamar membawa aroma hujan dan tanah basah. Aku duduk di samping ranjang, mengamati anak kami yang tertidur setelah bermain seharian. Di samping tempat tidurnya, ada dua rak buku kecil—isi mainan, boneka, dan alat terapi. Kini, semuanya tampak hidup. Anakku pun tampak hidup. Tertawa lebih sering, memeluk lebih lekat, dan kini mulai sering berbicara.

Kalimat pertamanya yang benar-benar membuatku menangis waktu itu sederhana:

“Aku senang Papa pulang.”

Pulang. Kata yang dulu terasa asing, sekarang jadi pondasi baru di rumah ini.

Dari jauh, kudengar Radit sedang mencuci piring di dapur. Kami belum sempurna, tapi kini kami hadir. Ia ada di rumah hampir setiap hari. Kami masih punya ruang sendiri, tapi perlahan, aku tak lagi merasa sendiri.

Aku bangkit, menuju pojok kamar, lalu membuka mukena yang tergantung. Tak banyak yang tahu, tapi selama masa-masa itu—saat pernikahanku nyaris hancur, saat aku merasa kehilangan pegangan—aku tak pernah benar-benar berhenti berdoa. Meskipun seringnya hanya bisik pelan di dalam hati. Kadang hanya satu kalimat, lirih, “Ya Allah, kalau memang ini bisa disembuhkan… tolong beri aku petunjuk.”

Dan mungkin... ini adalah jawaban itu.

Bukan yang datang dalam bentuk keajaiban besar, bukan juga dengan drama penuh air mata. Tapi dalam bentuk upaya kecil yang dilakukan berulang-ulang. Dalam bentuk seseorang yang mau membuka diri. Dalam bentuk anak yang kini bisa berkata, “Aku sayang Mama."

Kutelungkupkan wajah di sajadah, dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku menangis bukan karena takut kehilangan, tapi karena hati ini penuh.

“Terima kasih,” bisikku pada Tuhan.

Bukan karena semuanya jadi mudah.

Tapi karena aku masih diberi kesempatan untuk memperbaiki.

Untuk tumbuh.

Untuk percaya lagi.

Dan untuk mencintai lagi—dengan cara yang baru, cara yang lebih baik.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Wilted Flower
288      216     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Loveless
5849      2996     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Perjalanan yang Takkan Usai
345      289     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Sweet Seventeen
985      709     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Premonition
547      344     10     
Mystery
Julie memiliki kemampuan supranatural melihat masa depan dan masa lalu. Namun, sebatas yang berhubungan dengan kematian. Dia bisa melihat kematian seseorang di masa depan dan mengakses masa lalu orang yang sudah meninggal. Mengapa dan untuk apa? Dia tidak tahu dan ingin mencari tahu. Mengetahui jadwal kematian seseorang tak bisa membuatnya mencegahnya. Dan mengetahui masa lalu orang yang sudah m...
Tanda Tangan Takdir
158      134     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
1975      1174     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Andai Kita Bicara
574      458     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Our Perfect Times
914      651     7     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
179      157     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...