Aku lupa kapan tepatnya rasa denial itu mulai berubah.
Mungkin bukan karena satu momen besar, tapi dari retakan-retakan kecil yang terus menggores batin.
Mungkin saat aku melihat anakku berdiri di pojok ruangan, menggigit jarinya sendiri karena frustrasi tak bisa menyampaikan keinginannya.
Atau saat dia melempar mainan lalu memukul wajahku—bukan karena marah padaku, tapi karena kecewa pada dirinya sendiri.
Kemudian dia diam, seperti kehilangan tenaga, dan menatapku kosong. Tatapan yang tidak menolak, tidak juga meminta. Hanya sepi.
Rasanya seperti aku sedang berbicara ke ruang hampa.
Dan saat itu, aku tahu: ini bukan hanya soal "belum bisa bicara." Ini adalah dunia yang terasa seperti penjara bagi anakku, dan aku—ibunya—tidak membawa kunci.
Aku, yang dulu berkata pada diriku sendiri,
"Santai saja… Nanti juga ngomong sendiri. Kan setiap anak beda."
akhirnya harus menelan ludah sendiri.
Kalimat itu, yang dulu menenangkan, kini justru menyakitkan.
Itu bukan sabar. Itu denial.
Dan denial itu telah menunda banyak hal.
Rasa bersalah datang tanpa aba-aba.
Aku menangis saat mencuci piring. Saat menjemur pakaian. Saat duduk sendiri di ruang tengah yang tiba-tiba terasa terlalu sunyi. Air mata jatuh bukan karena lelah fisik, tapi karena luka batin yang menganga—luka karena merasa gagal memahami anak sendiri.
Apalagi ketika melihat anak-anak lain di taman bermain.
Mereka bernyanyi, menyebut warna, meminta es krim dengan manja pada ibunya.
Sedangkan anakku masih mencoba mengeluarkan satu suku kata yang tak jelas, sambil memegang tanganku erat-erat, seakan berkata, "Tolong, pahami aku, Ma..."
Akhirnya aku menyerah pada ego. Aku bawa dia ke dokter anak untuk screening.
Dokternya ramah, tapi kalimatnya tajam dan jujur:
“Bu, ini bukan soal siapa salah. Tapi soal siapa yang siap berubah lebih cepat. Terapi bukan kutukan, tapi jendela. Semakin cepat dibuka, semakin banyak cahaya yang masuk.”
Hari itu aku pulang dengan kepala penuh dan hati bergetar.
Aku mulai mencari tahu tentang terapi wicara, terapi okupasi, dan sekolah yang bisa memahami kebutuhan khusus.
Aku ubah rutinitasku. Waktu tidurku berkurang. Jam istirahat terpotong. Tapi untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa benar-benar menjadi ibu. Bukan hanya mengasuh, tapi mengiringi.
Perubahan itu datang perlahan. Satu suku kata keluar setelah puluhan sesi.
Suaranya masih tidak jelas. Tapi intonasinya menyampaikan maksud.
Dan itu... cukup untuk membuatku menangis sepanjang jalan pulang.
Lalu suatu malam, ketika aku duduk melipat baju mungilnya yang sudah mulai sempit,
dia datang dari belakang, memelukku dengan tangan kecilnya, dan berkata:
“Mama…”
Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Tapi aku dengar.
Karena aku ibu. Dan ibu selalu tahu suara anaknya, bahkan dari detak jantung paling lirih.
Aku menangis di tengah tumpukan baju kecil yang belum sempat selesai dilipat.
Itu bukan akhir perjuangan. Tapi itu awal dari cahaya yang akhirnya masuk lewat jendela yang selama ini tertutup.
Hari-hariku semakin penuh.
Pagi-pagi, aku bangun sebelum matahari menyapa. Menyiapkan bekal, menyiapkan mental. Mengantar anakku ke tempat terapi sambil berdoa dalam hati agar hari ini lebih baik dari kemarin.
Di perjalanan pulang dari tempat terapi menuju kantor, pikiranku tidak pernah benar-benar kosong.
Apakah dia akan tantrum lagi hari ini?
Apakah dia mau mengikuti instruksi?
Apakah aku sudah cukup hadir untuknya?
Sesampainya di kantor, aku mencoba memasang wajah biasa. Tapi kadang, saat di depan komputer, pikiranku terbang. Jari-jari mengetik, tapi hati tetap tertinggal di ruang terapi.
Sepulang kerja, belum sempat benar-benar melepas penat, aku langsung mendampingi anakku mengulang latihan-latihan dari terapis.
“Ayo, sayang, bilang ‘bola’ ya…”
Dia menatapku sebentar, lalu berpaling.
Aku tersenyum paksa. “Nggak apa-apa. Kita coba lagi nanti, ya…”
Kadang aku menyuapinya sambil mengulang kata. Kadang latihan itu kami lakukan di tengah sisa makan malam yang tak sempat dipanaskan ulang. Di sela lelah, aku paksakan duduk di lantai, menghadapinya, memberinya ruang dan waktu. Karena aku tahu: kehadiranku bukan hanya penting—tapi krusial. Anak dengan speech delay butuh lebih dari sekadar kehadiran fisik. Ia butuh orang yang hadir penuh jiwa dan raganya.
Aku berusaha hadir. Seutuhnya.
Tapi ternyata, kehadiranku untuknya justru membuatku perlahan menghilang dari sisi lain: dari peran sebagai istri.
Radit mulai berubah. Atau mungkin, aku yang berubah lebih dulu. Kami seperti dua kutub yang tadinya saling mendekat, kini justru menarik diri dalam diam.
Obrolan yang dulu ringan jadi sarat emosi. Saling menyalahkan tanpa kata-kata.
Pernah suatu malam, saat anak sudah tertidur, aku duduk di pinggir ranjang sambil memijat kakiku yang pegal. Radit berdiri di depan jendela, punggungnya menghadapku.
Lalu kalimat itu meluncur pelan, tapi menghantam:
“Kalau kamu dulu lebih cepat peka, mungkin anak kita nggak sampai begini.”
Aku diam.
Rasanya seperti ada yang menghantam dadaku dari dalam. Tapi aku tidak menjawab.
Aku hanya menunduk, lalu berbisik dalam hati,
“Aku juga sedang berjuang… Tapi kenapa aku selalu yang disalahkan?”
Malam-malam berlalu dengan keheningan yang menyiksa. Tidak ada pertengkaran, tapi justru diam itu yang terasa seperti jurang menganga.
Lalu hari itu datang.
Anakku demam tinggi, menangis sepanjang malam, muntah berkali-kali. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas. Kami panik, bolak-balik ke IGD.
Hingga akhirnya, dokter memutuskan: rawat inap.
Aku mengajukan cuti.
Menemani anakku di rumah sakit. Menyeka keringatnya, menenangkan tangisnya, tidur di kursi tunggu yang dingin dan keras.
Setiap malam, aku hanya bisa menatap infus dan berdoa agar semua segera berlalu.
Suatu malam, aku duduk di ujung tempat tidur anakku. Ia terlelap, wajahnya masih panas. Di luar, suara hujan turun pelan.
Radit datang, membawa tas berisi baju. Ia meletakkannya tanpa banyak bicara.
“Besok aku kerja. Jaga dia baik-baik.”
Lalu pergi.
Aku menatap punggungnya yang menjauh.
Air mataku jatuh lagi.
Bukan karena marah. Tapi karena benar-benar merasa sendiri.
Di antara bunyi pelan alat infus yang teratur dan napas anakku yang berat, aku sempat berpikir:
Ini titik paling sunyi dalam hidupku.
Tapi justru di situ aku belajar—kadang dalam sunyi kita menemukan suara hati kita sendiri.
Aku harus kuat.
Karena ini bukan soal siapa yang salah,
tapi siapa yang tetap bertahan untuk anak yang sedang berjuang sepenuh tenaga hanya untuk berkata, “Mama.”