Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Aku lupa kapan tepatnya rasa denial itu mulai berubah.

Mungkin bukan karena satu momen besar, tapi dari retakan-retakan kecil yang terus menggores batin.

Mungkin saat aku melihat anakku berdiri di pojok ruangan, menggigit jarinya sendiri karena frustrasi tak bisa menyampaikan keinginannya.

Atau saat dia melempar mainan lalu memukul wajahku—bukan karena marah padaku, tapi karena kecewa pada dirinya sendiri.

Kemudian dia diam, seperti kehilangan tenaga, dan menatapku kosong. Tatapan yang tidak menolak, tidak juga meminta. Hanya sepi.

Rasanya seperti aku sedang berbicara ke ruang hampa.

Dan saat itu, aku tahu: ini bukan hanya soal "belum bisa bicara." Ini adalah dunia yang terasa seperti penjara bagi anakku, dan aku—ibunya—tidak membawa kunci.

Aku, yang dulu berkata pada diriku sendiri,

"Santai saja… Nanti juga ngomong sendiri. Kan setiap anak beda."

akhirnya harus menelan ludah sendiri.

Kalimat itu, yang dulu menenangkan, kini justru menyakitkan.

Itu bukan sabar. Itu denial.

Dan denial itu telah menunda banyak hal.

Rasa bersalah datang tanpa aba-aba.

Aku menangis saat mencuci piring. Saat menjemur pakaian. Saat duduk sendiri di ruang tengah yang tiba-tiba terasa terlalu sunyi. Air mata jatuh bukan karena lelah fisik, tapi karena luka batin yang menganga—luka karena merasa gagal memahami anak sendiri.

Apalagi ketika melihat anak-anak lain di taman bermain.

Mereka bernyanyi, menyebut warna, meminta es krim dengan manja pada ibunya.

Sedangkan anakku masih mencoba mengeluarkan satu suku kata yang tak jelas, sambil memegang tanganku erat-erat, seakan berkata, "Tolong, pahami aku, Ma..."

Akhirnya aku menyerah pada ego. Aku bawa dia ke dokter anak untuk screening.

Dokternya ramah, tapi kalimatnya tajam dan jujur:

“Bu, ini bukan soal siapa salah. Tapi soal siapa yang siap berubah lebih cepat. Terapi bukan kutukan, tapi jendela. Semakin cepat dibuka, semakin banyak cahaya yang masuk.”

Hari itu aku pulang dengan kepala penuh dan hati bergetar.

Aku mulai mencari tahu tentang terapi wicara, terapi okupasi, dan sekolah yang bisa memahami kebutuhan khusus.

Aku ubah rutinitasku. Waktu tidurku berkurang. Jam istirahat terpotong. Tapi untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa benar-benar menjadi ibu. Bukan hanya mengasuh, tapi mengiringi.

Perubahan itu datang perlahan. Satu suku kata keluar setelah puluhan sesi.

Suaranya masih tidak jelas. Tapi intonasinya menyampaikan maksud.

Dan itu... cukup untuk membuatku menangis sepanjang jalan pulang.

Lalu suatu malam, ketika aku duduk melipat baju mungilnya yang sudah mulai sempit,

dia datang dari belakang, memelukku dengan tangan kecilnya, dan berkata:

“Mama…”

Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Tapi aku dengar.

Karena aku ibu. Dan ibu selalu tahu suara anaknya, bahkan dari detak jantung paling lirih.

Aku menangis di tengah tumpukan baju kecil yang belum sempat selesai dilipat.

Itu bukan akhir perjuangan. Tapi itu awal dari cahaya yang akhirnya masuk lewat jendela yang selama ini tertutup.

Hari-hariku semakin penuh.

Pagi-pagi, aku bangun sebelum matahari menyapa. Menyiapkan bekal, menyiapkan mental. Mengantar anakku ke tempat terapi sambil berdoa dalam hati agar hari ini lebih baik dari kemarin.

Di perjalanan pulang dari tempat terapi menuju kantor, pikiranku tidak pernah benar-benar kosong.

Apakah dia akan tantrum lagi hari ini?

Apakah dia mau mengikuti instruksi?

Apakah aku sudah cukup hadir untuknya?

Sesampainya di kantor, aku mencoba memasang wajah biasa. Tapi kadang, saat di depan komputer, pikiranku terbang. Jari-jari mengetik, tapi hati tetap tertinggal di ruang terapi.

Sepulang kerja, belum sempat benar-benar melepas penat, aku langsung mendampingi anakku mengulang latihan-latihan dari terapis.

“Ayo, sayang, bilang ‘bola’ ya…”

Dia menatapku sebentar, lalu berpaling.

Aku tersenyum paksa. “Nggak apa-apa. Kita coba lagi nanti, ya…”

Kadang aku menyuapinya sambil mengulang kata. Kadang latihan itu kami lakukan di tengah sisa makan malam yang tak sempat dipanaskan ulang. Di sela lelah, aku paksakan duduk di lantai, menghadapinya, memberinya ruang dan waktu. Karena aku tahu: kehadiranku bukan hanya penting—tapi krusial. Anak dengan speech delay butuh lebih dari sekadar kehadiran fisik. Ia butuh orang yang hadir penuh jiwa dan raganya.

Aku berusaha hadir. Seutuhnya.

Tapi ternyata, kehadiranku untuknya justru membuatku perlahan menghilang dari sisi lain: dari peran sebagai istri.

Radit mulai berubah. Atau mungkin, aku yang berubah lebih dulu. Kami seperti dua kutub yang tadinya saling mendekat, kini justru menarik diri dalam diam.

Obrolan yang dulu ringan jadi sarat emosi. Saling menyalahkan tanpa kata-kata.

Pernah suatu malam, saat anak sudah tertidur, aku duduk di pinggir ranjang sambil memijat kakiku yang pegal. Radit berdiri di depan jendela, punggungnya menghadapku.

Lalu kalimat itu meluncur pelan, tapi menghantam:

“Kalau kamu dulu lebih cepat peka, mungkin anak kita nggak sampai begini.”

Aku diam.

Rasanya seperti ada yang menghantam dadaku dari dalam. Tapi aku tidak menjawab.

Aku hanya menunduk, lalu berbisik dalam hati,

“Aku juga sedang berjuang… Tapi kenapa aku selalu yang disalahkan?”

Malam-malam berlalu dengan keheningan yang menyiksa. Tidak ada pertengkaran, tapi justru diam itu yang terasa seperti jurang menganga.

Lalu hari itu datang.

Anakku demam tinggi, menangis sepanjang malam, muntah berkali-kali. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas. Kami panik, bolak-balik ke IGD.

Hingga akhirnya, dokter memutuskan: rawat inap.

Aku mengajukan cuti.

Menemani anakku di rumah sakit. Menyeka keringatnya, menenangkan tangisnya, tidur di kursi tunggu yang dingin dan keras.

Setiap malam, aku hanya bisa menatap infus dan berdoa agar semua segera berlalu.

Suatu malam, aku duduk di ujung tempat tidur anakku. Ia terlelap, wajahnya masih panas. Di luar, suara hujan turun pelan.

Radit datang, membawa tas berisi baju. Ia meletakkannya tanpa banyak bicara.

“Besok aku kerja. Jaga dia baik-baik.”

Lalu pergi.

Aku menatap punggungnya yang menjauh.

Air mataku jatuh lagi.

Bukan karena marah. Tapi karena benar-benar merasa sendiri.

Di antara bunyi pelan alat infus yang teratur dan napas anakku yang berat, aku sempat berpikir:

Ini titik paling sunyi dalam hidupku.

Tapi justru di situ aku belajar—kadang dalam sunyi kita menemukan suara hati kita sendiri.

Aku harus kuat.

Karena ini bukan soal siapa yang salah,

tapi siapa yang tetap bertahan untuk anak yang sedang berjuang sepenuh tenaga hanya untuk berkata, “Mama.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
May I be Happy?
697      414     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
Kacamata Monita
1436      606     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Penantian Panjang Gadis Gila
346      260     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Fusion Taste
175      159     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Survive in another city
155      130     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
147      129     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
40 Hari Terakhir
978      612     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
Liontin Semanggi
1787      1028     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
Kainga
1513      864     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Ikhlas Berbuah Cinta
1310      868     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...