Ada rasa yang sulit dijelaskan tiap kali aku menutup pintu rumah pagi-pagi sekali. Anakku belum bangun, atau kadang baru membuka mata dan menggeliat, menatapku lama dengan mata yang masih setengah mengantuk. Ia tak mengucap apa-apa—karena memang belum bisa. Tapi sorot matanya seperti bertanya, “Mama ke mana?”
Dan aku harus membalas tatapan itu dengan bisikan di hati, “Mama kerja dulu, ya…”
Hati seperti tertinggal di balik pintu. Kakiku melangkah ke kantor, tapi pikiranku tak pernah benar-benar lepas dari rumah.
Setiap hari aku mencoba menjadi ibu yang baik dan pekerja yang andal. Tapi yang kurasa malah sebaliknya. Di kantor, aku sering merasa tidak berguna. Banyak pekerjaan admin persuratan yang sudah dikerjakan lebih dulu oleh rekan lain. Aku datang terlambat karena anakku rewel semalaman. Aku izin karena anakku demam. Aku cuti karena nanny mendadak pergi. Ada hari-hari di mana aku hanya duduk di meja kerja, berusaha kelihatan sibuk, padahal dalam hati hanya ada satu pertanyaan: “Apa aku cukup baik?”
Rasa bersalah itu lekat sekali. Setiap menit yang kulewatkan tanpa anakku terasa seperti hutang waktu yang tak bisa kulunasi. Tapi aku juga tahu, aku bekerja bukan karena ingin meninggalkannya—aku bekerja agar kami bisa tetap hidup, agar dia punya cukup.
Tapi mencari orang yang bisa dipercaya menjaga anak di rumah juga bukan perkara mudah.
Nanny pertama hanya bertahan dua minggu. Awalnya rajin, lalu suatu pagi tiba-tiba menghilang. Ponselnya tidak aktif. Aku kelimpungan.
Nanny kedua sering sekali minta bon. “Mbak, bisa pinjam dulu? Nanti dipotong gaji bulan depan ya…” katanya dengan senyum yang entah kenapa bikin lelah. Aku tak tega menolak, tapi juga mulai merasa dimanfaatkan.
Nanny ketiga lebih parah. Terlalu sering izin. Bahkan saat aku harus mengantar anak ke dokter karena demam tinggi, dia malah mengabari lewat pesan, “Maaf mbak, saya nggak enak badan juga.” Padahal malam sebelumnya dia masih asyik update story nonton konser.
Lalu datang nanny keempat. Sopan, cekatan, bersih. Tapi… terlalu ramah ke Radit. Awalnya aku anggap wajar. Tapi lama-lama, setiap kali dia menyapa Radit dengan senyum yang terlalu lebar dan suara manja yang aneh, aku mulai merasa tak nyaman.
“Mas Radit nggak kerja hari ini?” tanyanya sambil berdiri terlalu dekat di dapur.
Atau, “Mas, pakai kemeja yang ini cakep deh, muda banget kelihatannya…”
Aku diam. Menahan risih. Tapi juga bingung, apa aku terlalu curiga? Atau memang perasaanku valid?
“Kayaknya aku mau cari pengganti deh,” kataku pelan suatu malam saat Radit baru selesai cuci piring.
Dia mengernyit. “Kenapa? Yang sekarang kan lumayan, nggak banyak drama kayak yang dulu.”
Aku menatapnya lama. Ingin bicara, tapi memilih menunduk.
“Ya udah, kalau kamu nggak nyaman, kita ganti,” ujarnya akhirnya.
Aku lega, tapi juga sedih. Kenapa bahkan soal begini pun harus jadi drama? Kenapa menjadi ibu terasa seperti ujian yang terus-menerus tak ada jeda?
Aku ingin menjadi ibu yang penuh kasih dan rumah yang tenang, tapi yang kudapat malah kekacauan setiap hari. Anak nangis. Pekerjaan numpuk. Drama nanny. Konflik dengan Radit. Kadang kami bahkan nyaris tak bicara selama dua-tiga hari. Perang dingin yang melelahkan.
“Kenapa semuanya harus serumit ini?” tanyaku dalam hati, saat malam-malam hanya bisa duduk di kamar mandi, meringkuk sambil menangis pelan.
Tapi seiring waktu, aku mulai belajar. Memilih nanny dengan sistem. Kontrak jelas, aturan tegas. Aku lebih berani menolak kalau sejak awal sudah terasa kurang pas. Aku juga mulai menerima bahwa aku tidak bisa menjadi sempurna di semua tempat.
Anakku tidak butuh aku menjadi ibu yang selalu ada, tapi ibu yang bahagia dan waras. Radit tidak butuh aku menjadi istri yang selalu bisa tersenyum, tapi setidaknya masih mau bicara dan mendengarkan. Dan aku—aku butuh memaafkan diriku sendiri.
Memaafkan kalau aku tak bisa menyusui eksklusif. Memaafkan kalau aku pernah marah dan membentak. Memaafkan kalau aku kadang ingin sendiri. Karena semua itu manusiawi.
Dan saat anakku memelukku sepulang kerja—dengan tangan mungilnya yang tiba-tiba meraih leherku, wajah kecilnya menempel di pundakku tanpa suara—aku tahu, dia rindu.
Dia belum bisa bicara, belum bisa bilang “Mama kangen…” seperti anak-anak lain. Tapi pelukannya cukup berkata-kata. Caranya menatapku lama, memegangi bajuku, atau menangis pelan saat aku bersiap pergi ke kantor… semua itu bahasanya sendiri. Dan aku belajar menerjemahkan cinta dalam bentuk yang paling sederhana: kehadiran.
Mungkin aku tidak selalu kuat. Tapi aku selalu kembali.
Untuknya.
Untuk kami.