Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Di tengah perjuangan panjang terapi anak, tubuhku lelah, pikiranku kusut, dan hatiku mulai terasa kosong. Hari-hariku penuh—mengantar terapi, bekerja, mendampingi latihan, memantau kemajuan anak, dan menahan tangis diam-diam. Tapi di balik semua itu, ada sisi lain dalam hidupku yang perlahan-lahan retak: hubunganku dengan Radit.

Kami sudah tidak sehangat dulu. Entah sejak kapan. Mungkin sejak malam-malam yang aku habiskan dengan mata setengah terbuka sambil menenangkan anak yang tantrum. Atau mungkin sejak hari-hari yang aku lewati dengan tubuh yang terasa tak utuh karena pikiranku terbagi dua: untuk pekerjaan, dan untuk anak.

Kami mulai menjauh. Tak ada teriakan. Hanya diam. Yang semakin lama semakin dingin.

Kami sempat mencoba memperbaiki. Bertemu konselor pernikahan. Duduk bersama di ruangan berbau bunga lavender yang menenangkan, mendengarkan arahan, mencoba membuka diri. Tapi ujungnya tetap sama—kami tak menemukan titik terang. Seperti dua orang yang berlayar di kapal berbeda, saling melambaikan tangan tapi tak bisa saling naik ke kapal yang sama.

Akhirnya, dengan berat hati, kami memutuskan mengajukan perceraian. Sidang demi sidang kami lewati dengan kepala tertunduk. Bukan karena malu, tapi karena ini adalah keputusan yang tak kami inginkan, tapi pada akhirnya kami sadari mungkin perlu.

Di tengah semua ini, anak kami masih menjalani terapi. Masih belajar bicara. Masih butuh kehadiran penuh. Dan aku tahu, meski hatiku remuk, aku tidak bisa menyerah.

Anak kami tidak tahu kami sedang bersidang. Yang dia tahu hanya satu hal: ibunya harus tetap ada.

Tubuhku lelah. Tapi bukan sekadar lelah karena bekerja, atau karena harus bolak-balik antar terapi. Ini lelah yang lebih dalam. Lelah yang rasanya seperti merayap diam-diam ke dalam tulang. Seperti aku sedang berjalan dalam kabut tebal tanpa tahu kapan bisa duduk dan bernapas lega.

Anakku tidur di sampingku. Nafasnya berat. Kadang masih terisak dalam tidur. Terapi hari ini cukup menguras tenaganya. Aku sempat melihat air mata di sudut matanya saat dia gagal menyusun dua kata. Lalu dia diam. Lagi-lagi diam.

Sakit. Tapi aku tak boleh menunjukkan itu di depannya. Jadi aku peluk dia… erat. Dan diam-diam aku menangis lagi malam ini.

"Apa aku ibu yang cukup baik?"

"Apa aku terlalu sibuk bekerja sampai lupa menengok hatiku sendiri?"

"Apa aku masih bisa menyelamatkan sesuatu dari reruntuhan ini?"

Radit... aku bahkan tak tahu bagaimana menyebutnya sekarang. Suamiku? Teman seperjuangan yang kini hanya menjadi siluet dalam hariku?

Kami seperti dua orang yang menempuh perjalanan panjang dalam satu mobil, tapi tak lagi saling bicara. Hanya menatap jalan masing-masing. Menunggu bensin habis. Menunggu waktu memaksa berhenti.

Padahal dulu, kami punya mimpi yang sama. Kami tertawa membayangkan anak pertama kami, membahas nama, membayangkan akan seperti apa ruang bermainnya.

Sekarang, semua terasa sunyi.

Kadang aku bertanya di malam yang sunyi, saat suara jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya dan Radit tidur di kamar sebelah. Kapan tepatnya semua jadi seperti ini?

Di sepertiga malam, aku bangun dan duduk diam. Kadang berdoa, kadang hanya menangis dalam hati. Di tengah tahajudku, aku mengingat masa-masa dulu—saat kami masih bisa tertawa bersama di dapur yang sempit, saling bercanda saat mencuci piring, dan memimpikan rumah kecil dengan halaman yang cukup untuk anak bermain. Masa-masa itu terasa seperti milik orang lain sekarang. Jauh. Kabur.

"Apa yang berubah dari kami?" tanyaku dalam sujud yang panjang.

Kadang aku memandang ke arah kamar sebelah, membayangkan Radit yang mungkin juga terjaga, mungkin juga berpikir hal yang sama. Tapi kami tak pernah benar-benar bicara. Tak pernah benar-benar menyentuh luka satu sama lain.

"Apa isi hatimu, Dit?" bisikku lirih, entah kepada siapa.

Apakah kamu marah? Kecewa? Atau hanya lelah seperti aku—lelah karena tak tahu bagaimana harus kembali.

Aku ingin menyelamatkan keluarga ini, tapi aku juga ingin menyelamatkan diriku sendiri. Dan itu… pilihan yang menyakitkan.

***

Aku hampir lupa hari ini hari apa.

Waktu terasa seperti benang kusut sejak kami memutuskan menempuh jalan ini. Setiap minggu berganti tanpa penanda, kecuali jadwal terapi anak dan... sidang demi sidang.

Pagi ini aku mengenakan pakaian yang rapi, bukan karena ingin terlihat kuat, tapi karena ingin terlihat wajar. Biar orang-orang di ruang tunggu itu tak perlu tahu bahwa di dalam diriku, segalanya nyaris runtuh.

Pada jadwal sidang ketiga, kami datang bersama.

Tak ada kata-kata selama perjalanan menuju gedung pengadilan. Hanya suara kendaraan di luar jendela, dan detak jantungku yang terasa makin nyaring. Di ruang tunggu, kami duduk bersebelahan, tapi jarak di antara kami terasa seperti samudra yang tak terjembatani.

Aku melirik Radit.

Wajahnya tampak lelah, tapi tegas. Matanya menatap lurus ke depan, seolah ingin segera melewati ini semua. Tidak ada kegamangan di sana. Tidak ada isyarat “masih bisa kita perbaiki.” Hanya ketenangan yang entah datang dari kepasrahan atau keputusasaan.

Aku ingin bertanya, “Kamu kenapa sebenarnya?” Tapi aku terlalu lelah. Terlalu rapuh. Terlalu banyak luka yang belum sempat sembuh untuk membuka lagi ruang bicara yang selalu berakhir sunyi.

Mungkin dia juga sudah kehabisan kata.

Yang tersisa dari kami hari itu hanyalah dua orang asing yang pernah saling mencintai dengan begitu dalam, tapi kini hanya ingin cepat menyudahi sesuatu yang tak lagi bisa diselamatkan.

Aku menarik napas dalam-dalam, menunduk, dan menggenggam tangan sendiri. Di dalam diriku masih ada sisa-sisa harapan yang belum ikhlas sepenuhnya. Tapi aku tahu… kadang cinta juga harus berani melepaskan.

Dan hari itu, rasanya… aku mulai benar-benar belajar merelakan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sebab Pria Tidak Berduka
130      107     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...
RUANGKASA
46      42     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Ada Apa Esok Hari
223      173     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Kainga
1525      867     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
FINDING THE SUN
561      275     15     
Action
Orang-orang memanggilku Affa. Aku cewek normal biasa. Seperti kebanyakan orang aku juga punya mimpi. Mimpiku pun juga biasa. Ingin menjadi seorang mahasiswi di universitas nomor satu di negeri ini. Biasa kan? Tapi kok banyak banget rintangannya. Tidak cukupkah dengan berhenti dua tahun hanya demi lolos seleksi ketat hingga menghabiskan banyak uang dan waktu? Justru saat akhirnya aku diterima di k...
Can You Be My D?
105      92     1     
Fan Fiction
Dania mempunyai misi untuk menemukan pacar sebelum umur 25. Di tengah-tengah kefrustasiannya dengan orang-orang kantor yang toxic, Dania bertemu dengan Darel. Sejak saat itu, kehidupan Dania berubah. Apakah Darel adalah sosok idaman yang Dania cari selama ini? Ataukah Darel hanyalah pelajaran bagi Dania?
Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
1307      615     2     
Inspirational
Raina, si Gadis Lesung Pipi, bertahan dengan pacarnya yang manipulatif karena sang mama. Mama bilang, bersama Bagas, masa depannya akan terjamin. Belum bisa lepas dari 'belenggu' Mama, gadis itu menelan sakit hatinya bulat-bulat. Sofi, si Gadis Rambut Ombak, berparas sangat menawan. Terjerat lingkaran sandwich generation mengharuskannya menerima lamaran Ifan, pemuda kaya yang sejak awal sudah me...
Monologue
665      456     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Monday vs Sunday
236      185     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Langit Tak Selalu Biru
86      73     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...