Aku pikir kami sudah cukup mengenal satu sama lain. Tapi ternyata, duduk berhadapan di ruang konseling pranikah justru seperti membuka pintu-pintu yang belum pernah disentuh sebelumnya.
"Jadi, kalian mau menikah kapan?" tanya Mbak Rika, konselor yang direkomendasikan salah satu teman Radit.
Kami saling pandang. Aku menarik napas duluan.
"Belum ada tanggal pasti. Tapi kami sudah lamaran dan mulai menabung."
Mbak Rika mengangguk. “Bagus. Biasanya banyak pasangan yang terlalu fokus ke hari H, lupa bahwa kehidupan setelahnya jauh lebih kompleks.”
Radit tertawa kecil. Aku hanya menunduk.
Pertemuan pertama itu lebih banyak membahas soal prinsip hidup, masa kecil, dan luka-luka yang belum sepenuhnya pulih. Di ruangan ber-AC dengan cahaya lampu kekuningan itu, suara kami lebih jujur dari biasanya.
Radit bercerita duluan. Tentang ayahnya yang jarang di rumah. Tentang bagaimana dia merasa harus selalu jadi anak yang sempurna agar dapat pengakuan. “Kayak harus ranking terus, harus nggak pernah nyusahin. Kalau nggak, ya... invisible,” katanya, pelan.
Hatiku mencelos. Mungkin itu sebabnya ia selalu tampak ingin pernikahan kami ini berjalan ‘ideal’. Mungkin itu alasan dia begitu ingin segera menikah—karena akhirnya dia bisa memulai ulang dengan keluarga baru yang ia bentuk sendiri. Keluarga versi dia.
Lalu giliranku.
Aku diam cukup lama. Jantungku berdebar. Kata-kata seperti tertahan di tenggorokan.
“Saya… anak dari keluarga yang nggak utuh,” kataku pelan. “Ayah saya pergi waktu saya masih kecil. Nggak pernah benar-benar hadir sejak itu.”
Mbak Rika tidak menyela. Ia hanya menatapku dengan empati. Dan Radit, duduk di sampingku, tak bergerak.
“Ibu saya… single fighter. Dia kuat. Terlalu kuat, kadang-kadang. Sampai saya tumbuh besar dengan pikiran bahwa cinta itu melelahkan. Pernikahan itu seperti arena pertarungan yang satu orang selalu harus kalah agar yang lain bisa tetap berdiri.”
Suara di dalam ruangan sunyi. Aku tidak tahu kapan air mataku mulai jatuh, tapi aku tidak menahannya.
“Aku takut,” aku beralih ke Radit. “Takut kehilangan diriku sendiri. Takut mengulang cerita yang sama. Takut... jadi perempuan yang harus menelan semuanya sendirian demi ‘rumah tangga’.”
Matanya memerah. “Nara… aku bukan ayahmu.”
“Aku tahu,” jawabku cepat. “Tapi lukanya kadang lebih keras dari logikaku sendiri.”
Mbak Rika kemudian pelan berkata, “Nara, perasaanmu valid. Dan justru dari kesadaran itulah kamu bisa tumbuh jadi versi dirimu yang lebih kuat. Bukan untuk menolak pernikahan, tapi untuk memilihnya dengan sadar—bukan karena tekanan, bukan karena ketakutan, tapi karena keyakinan.”
Aku mengangguk pelan. Hari itu kami tidak menemukan semua jawaban. Tapi setidaknya, kami mulai menggali pertanyaan-pertanyaan yang selama ini kami hindari.
Dan saat Radit menggenggam jaketku, bukan tanganku, saat kami berjalan ke parkiran, aku merasa... dimengerti. Diterima. Tanpa dipaksa sembuh dalam sekali pertemuan.
Hari itu kami pulang dengan hati lelah, tapi entah kenapa terasa ringan.
***
Beberapa minggu berikutnya, kami menjalani sesi lanjutan. Kadang ngobrol soal uang, soal ekspektasi, soal siapa yang akan tinggal di mana, soal anak. Tidak semua diskusi berlangsung lancar, ada saja perdebatan kecil. Tapi konseling membuat kami punya ruang aman untuk belajar berkata jujur—tanpa takut ditinggal.
"Jadi, menikah itu bukan tentang menyatukan dua kepala yang sama," kata Mbak Rika. "Tapi dua kepala yang bersedia belajar untuk jalan bersama, meskipun kadang nggak seirama."
Aku mencatat kalimat itu di jurnal. Seperti halnya aku mencatat pesanan sabun bunga dari pelanggan baru di Surabaya, atau soal warna pita yang lagi susah dicari.
Semua sedang bertumbuh. Usahaku, hatiku, dan hubunganku dengan Radit.
Mungkin, ini caraku belajar menjadi dua. Tanpa kehilangan yang satu: diriku sendiri.