Sore itu, langit Jakarta berwarna abu-abu. Seolah ikut mendengarkan percakapan kami yang penuh jeda dan pikiran yang tak selesai-selesai.
Kami duduk di warung kopi kecil dekat halte, dua cangkir kopi hitam yang mulai dingin di hadapan kami.
“Pernikahan, rumah, tabungan pendidikan anak, asuransi…” Radit menunjuk layar laptop yang menampilkan tabel Excel. “Semua ini... idealnya kita punya plan jangka pendek dan panjang.”
Aku menyedot napas panjang. “Kadang aku bingung, Dit. Kita ini lagi nyusun hidup yang kita mau, atau lagi ngejalanin hidup yang disusun sama template orang-orang?”
Dia memandangku. Tidak langsung menjawab.
“Ya… mungkin dua-duanya,” katanya akhirnya. “Aku pengin kita punya pegangan, bukan cuma ngambang. Tapi ya, aku juga nggak pengin semuanya jadi kaya to-do list tanpa jiwa.”
Aku menatap layar. Ada kolom-kolom berisi bulan dan tahun, proyeksi pengeluaran, target tabungan, rencana menikah tahun depan, beli motor baru, les anak nanti, liburan per lima tahun.
Dan aku merasa sedikit sesak.
“Aku takut, kalau kita terlalu sibuk ngejar rencana, kita lupa hidup,” kataku pelan.
Radit mengangguk. “Aku juga, Na. Tapi tanpa rencana… aku takut hidup kita cuma jadi api kecil yang nyala seadanya.”
Kami diam lama. Suara motor dan angin jalanan menggantikan percakapan.
Lalu aku berkata, “Gimana kalau kita bikin satu malam dalam seminggu, buat mikir soal rencana hidup? Tapi di luar malam itu, kita hidup aja. Ngerasain aja.”
Radit tertawa kecil. “Jadi kayak... ‘Senin malem mikir hidup, Selasa sampai Minggu mikir kopi susu sama parcel pesanan orang Jakarta’?”
Aku ikut tertawa. “Ya, kira-kira gitu. Hidup versi kita. Nggak semua harus disusun sempurna.”
Dia menutup laptopnya dan menggenggam tanganku—dengan ringan, tanpa paksaan.
“Kalau kamu bahagia hari ini, meski belum semua rencana jalan, itu udah cukup buatku,” katanya.
Dan aku tahu, hari itu kami belum tahu segalanya, tapi kami sepakat untuk tumbuh bersama. Dengan catatan kecil dan beberapa coretan besar. Dengan hari-hari tanpa rencana yang kadang justru membuat kami lebih utuh sebagai manusia.
***
Malam hari di kos
Hujan baru saja reda. Bau tanah basah bercampur wangi teh celup yang masih mengepul dari mug di meja kecilku. Aku duduk bersila di atas kasur, laptop terbuka, dan jurnal digitalku menunggu diketik. Di luar jendela, suara sisa-sisa gerimis masih terdengar pelan.
Aku menarik napas, lalu mulai mengetik:
Jurnal Nara
Hari ini aku bersyukur.
Bukan karena hal-hal besar seperti dapat bonus atau libur mendadak, tapi karena hal-hal kecil yang ternyata cukup membuatku bertahan.
Pagi tadi, aku menyeduh teh celup sambil melihat matahari menyelinap dari sela tirai. Entah kenapa rasanya seperti pelukan diam-diam dari semesta. Setelah itu aku mulai menghias pouch pesanan Mbak Ayu dari Malang. Dia pesan 50 buah untuk acara pengajian pernikahan adiknya.
Pouch-nya memang bukan aku yang jahit, tapi aku hias ulang satu per satu supaya lebih layak dijadikan souvenir. Aku tambahkan pita satin kecil warna krem, gantungan mutiara, dan label mungil bertuliskan:
“Terima kasih telah menjadi bagian dari kisah ini.”
Aku menyusunnya dengan hati-hati ke dalam dus. Ada rasa hangat yang nggak bisa dijelaskan. Seolah aku sedang membungkus sepotong harapan dan mengirimkannya jauh-jauh ke Malang.
Sore tadi, Mbak Ayu kirim pesan:
“Kak, pouch-nya cantik banget! Suka banget sama detailnya. Makasih yaa, semoga usahanya makin lancar!”
Aku baca sambil diem-diem senyum sendiri. Padahal cuma pouch. Tapi rasanya seperti validasi bahwa aku bisa. Bahwa hal kecil yang kulakukan ini ada artinya. Bahwa hasil kerja tanganku benar-benar sampai dan menyentuh hati orang lain.
Dan malam ini, aku menutup hari dengan menuliskannya di sini.
Aku masih belum tahu hidup ini akan seperti apa lima atau sepuluh tahun ke depan. Tapi hari ini… aku cukup. Aku cukup dengan harapan kecil, dengan cinta yang pelan, dengan pouch bunga yang sampai di Malang.
Terima kasih, Tuhan. Untuk hidup yang sederhana, tapi terasa penuh.