Beberapa bulan setelah pertunangan sederhana itu, hidupku tidak berubah jadi kisah romantis seperti di film-film. Justru perlahan, banyak hal yang mulai terasa berat.
Orderan souvenirku mulai sepi. Awalnya kupikir cuma karena musim nikah yang lagi adem, tapi ternyata berbulan-bulan berlalu tanpa peningkatan berarti. Akun media sosial tokoku yang dulu ramai sekarang mulai sepi interaksi. Aku sendiri pun kehilangan semangat untuk promosi. Kadang upload sekadarnya, kadang lupa. Lebih seringnya... pura-pura sibuk supaya nggak perlu menghadapi rasa kecewa.
"Aku tuh udah coba semua, Dit… tapi entah kenapa kayaknya usahaku mandek gini aja," keluhku suatu malam lewat telepon.
Radit diam agak lama sebelum menjawab, "Mungkin emang lagi masa tenangnya. Nanti naik lagi. Usaha memang kayak gitu, kan?"
Aku hanya mengangguk, meski dia tidak bisa melihat. Rasanya sulit menjelaskan bahwa yang lelah bukan cuma tanganku, tapi juga hatiku.
***
Di tengah kelesuan itu, hubunganku dengan Radit pun terasa renggang. Kami masih saling kabar, masih sesekali ketemu, tapi rasanya… beda. Kadang obrolan kami penuh tawa seperti biasa, tapi kadang pula diakhiri dengan perdebatan kecil—entah tentang hal sepele seperti siapa yang lupa balas chat, atau yang lebih dalam: tentang waktu dan kesiapan menikah.
“Tabungan kita sudah lumayan,” ucap Radit suatu sore saat kami duduk di teras kosku, “Setidaknya cukup buat akad dan resepsi kecil. Nggak harus mewah.”
Aku menunduk, menggenggam cangkir tehku erat-erat. “Tapi aku belum siap, Dit.”
“Belum siapnya kenapa?” suaranya tidak marah, hanya bingung.
Aku menarik napas. “Aku masih... kayak belum stabil. Usaha sepi, kerjaan juga gitu-gitu aja. Aku takut nanti malah jadi beban.”
Radit menghela napas panjang. “Kita bisa jalanin bareng, Na. Nggak semua harus sempurna dulu.”
Tapi justru di situlah ketakutanku tumbuh. Karena selama ini, aku merasa harus bisa berdiri dulu sebelum melangkah bareng orang lain.
***
Di malam-malam yang sepi, aku mulai menulis lagi di jurnal. Tapi kali ini tulisanku lebih pendek, lebih sederhana. Seperti sedang berbicara pada sahabat imajiner yang tak menuntut solusi.
“Hari ini cuma dapat satu orderan. Tapi setidaknya masih ada yang beli. Masih ada yang percaya.”
“Radit bilang aku terlalu keras pada diri sendiri. Tapi kalau aku nggak keras, siapa lagi?”
“Apa semua orang merasa begini sebelum menikah?”
Aku tahu, tidak ada hubungan yang mulus terus-menerus. Tapi saat realita perlahan menyeretku keluar dari zona nyaman, aku bertanya-tanya: apakah ini fase biasa? Atau sinyal untuk meninjau ulang arah?
Dan sampai hari ini, aku masih belum tahu jawabannya.