Setelah pertemuan keluarga kecil itu, orang-orang mulai membicarakan pernikahan kami seolah semuanya sudah pasti. Ibuku bahkan sempat menelepon untuk menanyakan persiapan pernikahan, padahal kami belum benar-benar menentukan apapun.
“Kapan mau mulai fitting kebaya, Na?” tanyanya riang di telepon.
Aku diam sejenak sebelum menjawab, “Nanti dulu ya, Bu. Aku masih pengin fokus kerja dulu, masih ada beberapa hal yang pengin aku kejar sebelum… menikah.”
Ibuku tidak langsung membantah. Tapi aku tahu, dari nada suaranya, ada kekecewaan kecil di sana. Mungkin beliau pikir aku akan segera masuk ke fase yang ‘seharusnya’.
Tapi ‘seharusnya’ siapa?
***
Sore itu, aku dan Radit bertemu di taman dekat tempat kosku. Dia membawakanku teh hangat di tumbler, tahu kalau aku belum sempat istirahat karena lembur hari sebelumnya.
“Maaf ya, Na, minggu ini belum sempat ngobrol banyak,” katanya sambil duduk di bangku panjang di sebelahku.
Aku mengangguk pelan. “Sama. Aku juga lagi banyak kerjaan.”
Hening sebentar. Lalu aku membuka suara.
“Aku belum bisa langsung nikah, Dit. Aku tahu kita udah lamaran, tapi aku belum siap.”
Radit menoleh. Wajahnya tidak kaget. Seolah sudah menebak akan ke arah situ.
“Aku ngerti,” ujarnya tenang. “Aku malah senang kamu jujur soal ini.”
Aku menatapnya penuh rasa terima kasih. “Aku nggak tahu butuh waktu berapa lama. Tapi rasanya, aku baru mulai belajar tentang diriku. Dan aku takut kalau nikah nanti malah… kehilangan itu.”
Dia menarik napas dalam. “Kalau kamu butuh waktu, ya kita ambil waktu itu. Aku di sini bukan buat buru-buruin kamu.”
Lagi-lagi, sikap Radit membuatku semakin bingung. Bukan karena dia salah—tapi karena kebaikannya itu terasa seperti beban. Seolah aku harus bisa membalas dengan kesiapan yang sama.
***
Beberapa minggu setelahnya, aku mulai iseng ikut kursus online membuat souvenir pernikahan. Iseng yang akhirnya jadi candu. Setiap malam setelah pulang kerja, aku duduk di lantai kamar, dikelilingi gunting, lem tembak, pita, dan handuk kecil warna-warni.
Pertama kali berhasil bikin handuk mini berbentuk anjing, aku hampir menangis bahagia.
Aku foto, aku upload ke Instagram story, dan tak disangka, beberapa teman langsung tertarik.
“Ra, bikinin buat nikahan temen dong. Lucu banget!” tulis seorang teman dari komunitas online-ku.
Pesanan pertama datang dari Intan, temanku di kantor.
“Aku pesen dua lusin ya. Mau yang handuk model kelinci. Bisa?” katanya waktu kami makan siang di pantry.
Aku tertawa. “Aku baru belajar, loh. Tapi ya, coba deh.”
“Kamu tuh telaten banget. Nggak nyangka dari tangan lo bisa muncul hal-hal lucu gini,” pujinya.
Aku tersipu. Mungkin ini pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa benar-benar menciptakan sesuatu yang disukai orang lain.
***
Radit juga tahu soal ini. Sesekali dia mampir membawakan cemilan malam, dan menemani aku melipat handuk atau menempel label kecil.
“Na, ini beneran bikin kamu bahagia ya?” tanyanya suatu malam sambil memandangi meja kecil yang penuh kerajinan tangan.
Aku menoleh, tersenyum. “Iya. Rasanya kayak… aku bisa punya dunia kecilku sendiri.”
Dia tersenyum balik. “Aku senang kamu nemu itu.”
Tapi aku juga tahu, kesibukan baruku membuat kami jarang bertemu. Bahkan kadang aku lupa membalas chatnya sampai malam. Hubungan kami pelan-pelan jadi terasa seperti dua orang sahabat yang saling dukung dari jauh.
Dan di tengah malam-malam yang sunyi, saat semua pesanan sudah selesai kubungkus dan kupastikan rapi, aku duduk sendiri… menatap layar HP. Kadang Radit mengirim pesan:
"Hari ini capek ya? Gak apa-apa, besok cerita kalau sempat."
Aku hanya menjawab dengan emoji atau kata pendek: "Iya. Makasih, Dit."
***
Ada hari-hari ketika aku bangun pagi dengan rasa bersalah, seperti lupa sesuatu yang penting. Tapi entah apa. Mungkin karena Radit tidak lagi sering mengirim pesan panjang. Mungkin karena aku mulai terbiasa tidak menanyakan kabarnya. Mungkin… karena aku sedang terlalu nyaman sendiri.
Pikiran itu sering datang saat malam, ketika akhirnya aku berhenti bekerja, meletakkan lem tembak, dan bersandar di dinding kamar. Di saat sunyi, ketika tidak ada notifikasi, tidak ada pesanan baru, tidak ada suara apa pun kecuali detak jam dinding—aku mulai bertanya:
Apakah aku sedang melarikan diri dari sesuatu?
Dari kewajiban? Dari kenyataan bahwa aku telah bertunangan? Dari harapan-harapan orang yang ingin melihatku menjadi "perempuan utuh" dengan pernikahan?
Atau… apakah ini justru bentuk paling jujur dari diriku? Yang baru kali ini bisa berkata “Ini aku” tanpa perlu menyenangkan siapa pun?
Setiap kali aku menulis label pengiriman, mencantumkan alamat dengan hati-hati agar tak salah kirim, lalu melihat notifikasi masuk dari pembeli yang mengunggah hasil karyaku dengan emoji hati dan senyum—ada percikan kecil dalam hatiku yang berkata, “Lihat, kamu bisa bikin orang lain bahagia dengan caramu sendiri.”
Aku mulai rutin menulis semua ini dalam jurnal. Kadang pakai bahasa campur-campur, seperti sedang curhat ke teman lama yang nggak pernah menghakimi.
"Hari ini aku bikin lima belas gulungan handuk motif lebah. Warna kuningnya terlalu cerah, tapi lucu. Teman kosku bilang bentuknya mirip tahu goreng. Tapi pelanggan senang, dan aku lega."
"Hari ini ada yang order dari Papua. Katanya mau buat nikahan adiknya. Gila ya, hasil tanganku bisa sampai ke ujung negeri. Aku bahkan belum pernah ke luar Jawa."
"Hari ini aku nolak ajakan Radit jalan sore. Bukan karena nggak sayang. Tapi aku pengin sendiri. Heran, kenapa aku nggak ngerasa bersalah ya?"
Dan perlahan-lahan, aku menyadari… aku sedang berubah. Tidak, bukan berubah menjadi orang baru—tapi tumbuh menjadi diriku sendiri. Orang yang tidak lagi takut akan kesepian, karena tahu bagaimana mengisi hari-hari dengan hal yang bermakna. Orang yang tidak lagi takut untuk jujur, meski jujurnya kadang tidak sesuai harapan banyak orang.
Aku sedang tumbuh. Dan tumbuh kadang membuat kita mengambil jarak dari apa-apa yang dulu terasa dekat. Bukan karena ingin pergi. Tapi karena ingin tahu: apakah yang tersisa nanti benar-benar untuk kita?