Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Orang bilang, usia dua puluh lima itu peralihan: bukan remaja, belum mapan sepenuhnya. Tapi buatku, rasanya seperti berdiri di tengah lorong panjang yang sunyi—tak tahu harus melangkah ke depan atau kembali ke titik semula.

Banyak hal sudah kupilih. Tapi belum satu pun terasa benar-benar kupahami. Termasuk soal lamaran itu.

Aku sudah bilang ya. Tapi entah kenapa, dalam hati masih terasa ragu. Bukan pada Radit. Tapi pada diriku sendiri.

Setiap pagi, aku bangun dengan rutinitas yang sama: kerja, lembur, pulang, nulis jurnal. Hidup berjalan seperti seharusnya… tapi entah kenapa, tetap terasa kosong di bagian-bagian tertentu.

Sejak Radit melamarku, hidupku seharusnya lebih mudah, kan? Aku tidak sendirian lagi. Tapi perasaan ragu itu tetap ada, diam-diam tumbuh seperti rumput liar di taman yang mulai kutata.

**

Weekend datang seperti jeda yang nggak benar-benar jeda. Di hari libur seperti ini, biasanya aku menghabiskan waktu dengan tidur sepuasnya, mencuci baju, menonton drama Korea favorit, dan kalau sempat, menulis jurnal.

Tapi hari ini terasa berbeda.

Sejak pagi, notifikasi WhatsApp dari Radit muncul beberapa kali. Dia ngajak ketemu sore ini, katanya cuma pengin ngobrol. Aku sempat bimbang—bukan karena nggak mau ketemu, tapi karena aku sendiri belum siap menjelaskan apa yang sebenarnya aku rasakan sejak malam lamaran itu.

Aku jawab “Oke, nanti sore”, dan setelahnya menghabiskan satu jam hanya untuk memilih baju paling netral dan aman. Bukan terlalu cantik, tapi juga bukan terlalu cuek.

**

Kami bertemu di taman kecil dekat kampus lama kami. Tempat yang sering kami lewati dulu waktu masih saling pura-pura nggak peduli satu sama lain.

Radit sudah duduk di bangku kayu yang menghadap kolam ikan. Ia membawa dua gelas kopi take away.

“Aku nggak tahu kamu lagi suka yang mana, jadi tadi ambil yang aman—cappuccino,” katanya sambil menyodorkannya.

Aku tersenyum tipis. “Masih yang itu, kok. Nggak berubah.”

“Berarti kita masih satu frekuensi,” ucapnya pelan. “Meskipun sekarang kita lagi coba jalan bareng ke arah yang lebih serius.”

Kalimatnya membuatku terdiam beberapa detik. Aku mengaduk-aduk kopi dengan sedotan, bukan karena perlu, tapi karena butuh waktu.

“Radit…” akhirnya aku buka suara. “Kamu tahu kan aku… nggak sepenuhnya siap?”

Ia menoleh, menatapku tanpa menginterupsi.

“Aku bukan ragu sama kamu. Bukan. Tapi aku… kayak belum selesai jadi aku. Aku masih sering ngerasa kosong. Masih mikir, ini beneran hidup yang aku mau atau cuma karena harus.”

Radit menatap ke depan, ke arah kolam. Lama. Lalu dia berkata dengan tenang, “Aku tahu, Na. Dan aku nggak minta kamu cepet-cepet selesai. Aku juga tahu kamu lagi cari sesuatu yang lebih dari sekadar jadi pasangan seseorang. Kamu pengin jadi kamu dulu, kan?”

Aku mengangguk pelan, merasa leherku mengeras karena menahan emosi.

“Aku nggak keberatan nunggu, Na,” lanjutnya. “Kita bisa pelan-pelan. Bahkan kalau nanti kamu mutusin mundur pun, aku akan ngerti. Tapi selama ini, yang aku lihat justru… kamu lagi berusaha. Dan aku pengin temenin kamu dalam proses itu. Bukan buru-buru nikah, terus kamu malah kehilangan dirimu.”

Aku tertunduk. Untuk pertama kalinya sejak malam itu, aku merasa sedikit lebih ringan. Radit, dengan segala diamnya, ternyata benar-benar mengerti.

“Cinta yang matang bukan soal siapa cepat menikah. Tapi siapa yang mau sabar menunggu sampai kita siap menumbuhkan versi terbaik diri bersama-sama.”

***

Malam itu, setelah lelah mengobrol dan menyibukkan diri sepanjang hari, aku duduk di sudut kamar kos. Mataku lelah, tapi pikiranku masih saja berputar tak karuan.

Dengan perlahan, aku menggulung sajadah kecil yang selalu kuletakkan di sudut kamar. Kubuka Al-Qur’an yang sudah mulai pudar warnanya, lalu bersiap melakukan salat istikharah.

Aku berdoa, meminta petunjuk pada Allah. Memohon agar diberikan jalan yang terbaik—bukan hanya untukku, tapi juga untuk dia yang kurasa mulai mengisi ruang di hatiku.

Setelah sujud terakhir, aku duduk menatap langit-langit kamar yang remang. Aku merasa ada sesuatu yang belum aku temukan jawabannya.

Kuhirup nafas panjang, lalu meraih jurnal kecilku. Di sana, aku menuliskan apa yang aku rasakan, apa yang selama ini aku pendam.

Aku sudah salat istikharah.
Sudah menundukkan kepala di sajadah yang sama, meminta petunjuk dari Tuhan yang sama, yang selama ini kutemui hanya saat aku buntu.

Dan malam ini... aku masih belum menemukan jawaban pasti.
Yang kutemukan justru:
pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam dari sebelumnya.

Apakah aku benar-benar mencintainya, atau aku hanya mencintai ide tentang akhirnya ada yang memilihku?
Apakah aku mencintainya karena aku melihat masa depan bersamanya, atau karena aku takut sendirian terus-terusan?

Dan yang paling membuatku takut:
Apakah aku terlalu sibuk mencintai manusia, sampai lupa mencintai Allah?

Tapi bukankah rasa ini juga ciptaan-Nya?

Bukankah aku juga mencintai Radit dengan doa-doaku?
Dengan cara mencoba mengenalnya dengan sabar, dengan menjaga batas,
dengan menyimpan nama kami hanya dalam sepi dan sajadah?

Tuhan, kalau cinta ini menjauhkan aku dari-Mu, tolong ambil.
Tapi kalau cinta ini justru jalan untukku pulang pada-Mu, maka kuatkan aku.
Bimbing aku untuk tetap mencintai-Mu terlebih dulu, baru mencintai dia yang Kau kirim padaku.

Aku nggak mau mencintai siapa pun sampai aku lupa caranya bersujud.
Aku nggak mau mencintai seseorang yang membuat aku jauh dari Diri-Mu.
Tapi aku juga tahu,
cinta seperti ini jarang datang dua kali.

Dan malam ini aku cuma ingin jujur:
Aku takut.
Bukan takut ditinggal,
tapi takut mengambil jalan yang salah karena terlalu sibuk berharap pada manusia.

Kalau boleh memilih,
aku ingin cinta yang mengajakku pulang—
bukan yang membuatku merasa jauh dari rumah utamaku: Engkau.

Kututup jurnal dengan lembut, dan aku merasa tenang.

Meski masih ragu, aku tahu aku belum sendiri. Ada Dia yang selalu ada, mendengarkan segala gelisahku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bunga Hortensia
1746      177     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Arsya (Proses Refisi)
1348      770     1     
Mystery
"Aku adalah buku dengan halaman yang hilang. Cerita yang tercerai. Dan ironisnya, aku lebih paham dunia ini daripada diriku sendiri." Arsya bangun di rumah sakit tanpa ingatanhanya mimpi tentang seorang wanita yang memanggilnya "Anakku" dan pesan samar untuk mencari kakeknya. Tapi anehnya, ia bisa mendengar isi kepala semua orang termasuk suara yang ingin menghabisinya. Dunia orang dewasa t...
A Sky Between Us
62      54     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Konfigurasi Hati
672      443     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Maju Terus Pantang Kurus
1970      928     3     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
Simfoni Rindu Zindy
1368      843     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Taruhan
79      76     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Rumah Tanpa Dede
192      132     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
VampArtis United
1768      1036     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
FAYENA (Menentukan Takdir)
688      430     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...