Kupandangi tulisan tanganku sendiri yang baru saja memenuhi halaman terakhir jurnal itu. Tanganku masih menggenggam pena, tapi pikiranku melayang ke malam yang baru saja lewat. Malam saat aku berkata "ya" pada seseorang yang ingin menua bersamaku.
Di atas meja, kotak cincin kecil dari Radit terbuka. Cincinnya sudah kupakai, melingkar manis di jari manis tangan kanan. Tapi kenapa rasanya… masih ada yang ganjil di dalam hati?
Aku tersenyum kecil, pahit.
“Aku bahagia. Tapi juga takut. Apakah dua hal itu bisa hadir bersamaan?”
Aku menulis kalimat itu sebagai penutup. Dan ternyata, iya. Sangat bisa.
**
Aku masih dua puluh lima tahun. Masih berjuang mengenali diriku sendiri, masih belajar menata hidup. Aku baru saja pindah kerja, mencoba membangun ulang kepercayaan diri setelah gagal jadi PNS, gagal beasiswa, dan gagal mempertahankan hubungan yang dulu kubela mati-matian.
Aku baru memulai pekerjaan baru yang belum sepenuhnya kupahami, belum juga merasa bangga atas apa pun. Aku bahkan masih sering merasa tertinggal saat teman-temanku satu per satu sudah menemukan 'tempat' mereka.
Dan sekarang, aku—yang bahkan masih sering ragu dengan keputusan kecil macam beli sandal atau tidak—dihadapkan pada pertanyaan besar: Siapkah aku menikah?
***
Setelah kubilang “iya” di tengah suara ramai café, Radit mengantarku pulang. Di depan pagar kos, kami duduk sebentar di atas motornya, berdua dalam diam yang nyaman.
“Na,” katanya sambil menatap lurus ke jalan, “Kita nggak harus langsung menikah, kok. Aku tahu kamu baru mulai kerja lagi. Kita jalanin aja pelan-pelan, ya?”
Aku mengangguk. Kali ini bukan karena bingung, tapi karena lega.
“Aku pengen kamu tetap jadi kamu. Nggak usah buru-buru berubah,” katanya.
Dan saat itulah aku makin sadar: Radit bukan orang yang ingin ‘memilikiku’… Dia ingin menemani.
Harusnya aku senang. Aku tidak lagi sendiri. Aku punya seseorang yang ingin menua bersamaku.
Tapi justru karena itulah aku gentar.
Bagaimana kalau aku belum jadi perempuan yang cukup dewasa untuk ini?
Bagaimana kalau aku masih ingin mencoba banyak hal sendiri?
Bagaimana kalau aku belum selesai menjadi “aku” yang belum penuh?
***
Malam itu, aku menelepon Radit.
“Dit,” kataku pelan, “Kamu yakin sama aku?”
Dia tertawa kecil di ujung sana. “Kenapa nggak yakin?”
“Karena aku belum beres. Aku masih… ya, gini. Berantakan. Ragu-ragu. Bingung. Kamu tahu semua itu.”
“Justru karena itu, Na,” katanya lembut, “Aku pengen jalan bareng kamu. Kita bisa saling beresin, kan?”
Setelah telepon ditutup, aku menatap cermin di dinding kamar. Cincin itu masih belum kupakai. Tapi malam itu aku tahu, ini bukan tentang siap atau tidak siap. Ini tentang keberanian.
Aku ingin bahagia. Aku memang bahagia.
Tapi kadang bahagia juga bisa bikin takut. Seperti berdiri di depan rumah impian, tapi belum punya kunci masuknya.
Malam itu aku mencatat di jurnal:
“Aku pernah pikir menikah itu tanda akhir pencarian. Tapi mungkin… pernikahan justru adalah awal dari perjalanan baru yang bahkan lebih asing.”
“Dan aku belum siap. Tapi aku ingin belajar.”