Aku mulai bekerja sebagai admin di sebuah kantor. Tugas utamaku berkutat pada surat menyurat, pengarsipan, dan memastikan dokumen berjalan sesuai prosedur. Jauh berbeda dengan dunia angka dan laporan yang aku geluti dulu sebagai akuntan. Awalnya, aku merasa seperti ikan yang tercebur di kolam baru—gagal sinkron antara pengalaman lama dan pekerjaan sekarang.
Meski begitu, aku jalani semuanya dengan suka cita.
Bukan karena pekerjaannya mudah, bukan juga karena gajinya besar. Sebaliknya, gajiku jauh dari kata cukup—lebih kecil daripada yang pernah kuperoleh sebelumnya. Tapi aku bersyukur karena aku punya pekerjaan, dan itu berarti aku sedang membangun sesuatu.
Kebiasaan lama untuk perfeksionis dan terorganisir tetap kupegang, walau sering merasa tersesat di tengah tumpukan dokumen yang kadang tidak nyambung satu sama lain.
Aku belajar menikmati hal-hal kecil di kantor—senyum rekan kerja yang ramah, kopi hitam di pagi hari, tawa kecil di sela-sela jam kerja yang menjemukan.
Namun, di luar kantor, hidupku tidak jauh lebih mudah.
Kos yang kutinggali sekarang sangat kecil, jauh lebih sempit daripada kos lama. Sudut-sudutnya penuh lubang dan retakan, tempat yang tak kuingin sebut rumah tapi harus kujalani setiap malam.
Seringkali aku menemukan kecoa yang berlarian di lantai, kadang suara-suara aneh yang membuatku sulit tidur. Malam-malam panjang sering kali dihabiskan dengan sesak napas dan gelisah, memikirkan masa depan yang masih penuh tanda tanya.
Tapi perlahan, ruang sempit itu mulai terisi suara lain—tawa pelan dari kamar sebelah, dentingan piring dari dapur bersama, langkah tergesa di lorong saat pagi hari.
Aku mulai mengenal penghuni kos satu per satu.
Rena, gadis jurusan seni rupa yang selalu pulang malam dengan noda cat di bajunya. Ia suka membagi kopi sachet dan cerita lucu tentang dosennya. Lalu ada Lilis, ibu muda yang tinggal bersama bayinya, yang tiap malam bernyanyi pelan agar anaknya tidur. Dan Dita, karyawan butik yang tiap Jumat mengajakku ikut senam zumba di lapangan dekat kos.
Kami bukan sahabat dekat, tapi keberadaan mereka membuat tempat ini terasa lebih manusiawi. Kadang kami duduk di teras sempit sambil makan mi instan, membahas hal-hal remeh seperti sinetron, harga cabai, atau kucing liar yang selalu mencuri ikan goreng dari dapur.
Di akhir pekan, aku mulai membiasakan diri keluar rumah. Mengunjungi taman kota, membaca buku sendirian di pojok kafe kecil, atau sekadar naik angkot tanpa arah hanya untuk merasa bahwa dunia masih luas dan aku belum habis.
Aku tahu ini hanya fase, sebuah ujian kecil dalam perjalanan panjangku.
Kadang aku masih merasa sendiri, tapi aku belajar bahwa kesendirian tidak selalu berarti kesepian.
Karena di tengah keterbatasan, aku mulai menemukan versi diriku yang lebih kuat—yang mampu tersenyum meski tidak utuh, yang mau bangkit meski belum tahu akan sampai ke mana.
Aku sedang membangun pijakan baru. Pijakan yang suatu hari akan membawaku ke tempat yang lebih layak, lebih baik, dan lebih damai.
Aku mencoba bernapas dalam-dalam, menenangkan diri dengan membayangkan hari esok yang lebih baik.
Dan aku akan terus berjalan.