Usiaku baru 25 tahun waktu itu.
Aku sadar, saatnya mereset ulang.
Reset bukan soal menghapus semuanya, tapi lebih kepada memberi ruang baru bagi diriku sendiri. Aku mulai dengan hal-hal kecil yang dulu aku abaikan, yang kupikir terlalu sederhana untuk dianggap penting.
Aku kembali mengenal diriku yang sebenarnya.
Aku mulai memaksa diriku bangun lebih pagi.
Bukan karena harus, tapi karena ingin. Aku ingin memberi ruang untuk diriku sendiri. Menyeduh teh hangat, menyalakan musik instrumental, membuka jendela dan menatap langit pagi—hal-hal sederhana yang dulunya tak sempat kulakukan karena terlalu sibuk bertahan.
Setiap pagi, aku menulis beberapa kalimat di buku kecilku. Tentang apa yang ingin kusyukuri hari itu. Tentang hal baik sekecil apa pun yang terjadi. Kupaksa otakku merekam sisi terang, meskipun hari-hari itu belum sepenuhnya cerah.
Aku juga mulai olahraga ringan di taman kota. Awalnya karena iseng. Tapi entah bagaimana, rasanya menyenangkan melihat orang-orang lain juga berjuang: ada yang berjalan pelan sambil membawa botol minum, ada yang jogging dengan headset di telinga, ada pula yang duduk diam di bangku taman sambil membaca buku. Tidak ada yang benar-benar sendiri di sana. Semua sedang mencoba hidup dengan caranya masing-masing.
Dan di sana... aku bertemu seseorang.
Dia bukan orang yang langsung menarik perhatianku. Tidak seperti dalam cerita-cerita lama yang pernah kubaca—tidak ada cinta pandangan pertama atau degup jantung yang tiba-tiba.
Aku hanya melihatnya beberapa kali, di sudut taman yang sama. Duduk sambil membaca, kadang tertawa kecil saat melihat sesuatu di ponselnya. Ia tidak banyak bicara, tapi wajahnya teduh. Tenang. Dan entah kenapa, aku merasa tidak canggung saat pertama kali kami saling menyapa.
Itu terjadi begitu saja—seperti hidup sedang memberiku ruang untuk mulai lagi.
Kami mulai dengan percakapan kecil: soal cuaca, soal kopi, soal buku yang sedang dia baca. Lalu berlanjut ke cerita-cerita lebih dalam—tentang pekerjaan, tentang keluarga, tentang hal-hal yang membuat kami tertawa malu-malu.
Namanya Radit.
Dan dia datang di masa ketika aku tidak sedang mencari siapa pun.
Tapi justru karena itu, aku merasa bisa bernapas. Karena aku tidak sedang berharap apa-apa. Tidak sedang mencoba tampil sebaik mungkin. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri—dan untuk pertama kalinya, ada orang yang hadir tanpa menuntut apa-apa dari versi diriku yang sedang belajar bangkit.
Radit tidak bertanya soal masa laluku. Tidak memaksa tahu alasan aku sering diam atau tiba-tiba merasa cemas. Dia hanya... ada. Membiarkan aku bercerita saat siap, dan diam bersamaku saat kata-kata sulit keluar.
Di antara sore-sore yang hangat dan kopi instan di bangku taman itu, aku mulai merasa bahwa mungkin... aku bisa mencintai hidupku lagi.
Bukan karena seseorang datang menyelamatkan, tapi karena aku belajar menyelamatkan diriku sendiri.
Dan Radit—dia hanya berdiri di samping, menemani proses itu.
Tanpa tergesa. Tanpa janji manis.
Hanya dengan kehadiran yang terasa tulus.
Aku mencoba memaafkan diri atas kegagalan yang lalu, atas rasa takut yang menghambat langkahku, dan atas semua keraguan yang pernah menggerogoti hatiku.
Aku belajar mengatakan “tidak” pada hal-hal dan orang-orang yang membuatku merasa kecil dan tidak berharga.
Aku belajar menerima bahwa hidup memang tidak selalu mulus, tapi itu bukan alasan untuk berhenti mencoba.
Dan aku mulai membuka diri untuk hal-hal baru.
Bukan hanya soal bertemu Radit, tapi juga kesempatan baru dalam pekerjaan yang menunggu di depanku.
Meski masa menunggu tanggal efektif bekerja membuatku harus bolak-balik ke kantor lama—membenahi pekerjaan yang tertunda, membantu penggantiku yang masih belajar—aku berusaha melihatnya sebagai ujian terakhir sebelum benar-benar melangkah maju.
Sibuk mengurus urusan kantor lama bukanlah hal mudah setelah aku resign tiba-tiba. Ada beban yang terus menggelayut, rasa bersalah karena meninggalkan banyak hal belum selesai. Tapi aku tahu, itu harus kulewati demi masa depan yang lebih baik.
Di waktu senggang, aku mulai belajar hal-hal baru: kursus online tentang hal-hal yang selalu membuatku tertarik tapi tak pernah sempat kupelajari. Dari fotografi sederhana hingga manajemen waktu.
Aku bahkan mencoba hal-hal kecil yang dulu kuanggap ‘gak penting’, seperti memasak resep baru atau berkebun kecil di balkon kos.
Setiap langkah kecil itu terasa seperti kemenangan besar.
Karena aku tahu, aku sedang membangun fondasi baru.
Fondasi yang tidak rapuh, yang bisa menopang aku untuk berdiri tegak lagi—bukan karena orang lain, tapi karena aku sendiri.
aku sadar, ini bukan akhir cerita.
Ini adalah bab baru.
Bab di mana aku belajar mencintai diriku sendiri dulu, sebelum aku berharap dicintai orang lain.
Dan meskipun jalan ke depan masih penuh ketidakpastian, aku tidak takut lagi.
Karena aku sudah mulai berjalan.