Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hello, Me (30)
MENU
About Us  

Aku masih ingat masa itu—saat hidupku berjalan datar seperti air di parit kecil yang malas mengalir. Pagi berangkat kerja, sore pulang dengan wajah lelah, lalu tidur dan mengulang lagi keesokan harinya. Tak ada gairah, tak ada arah. Aku hanya bertahan. Mungkin karena itulah aku menganggap hadirnya seseorang—siapa pun itu—sebagai jeda yang menyelamatkan.

Dan di masa itu, aku bertemu Arya.

Aku bertemu dia di masa yang mungkin paling biasa dalam hidupku.

Tidak ada petir menyambar, tidak ada pertemuan dramatis. Hanya sore yang lelah, ruangan kantor yang pengap, dan dia—senior yang kadang menyapa, kadang tidak, tapi selalu hadir di tempat yang sama.

Hubungan kami tidak datang dengan tiba-tiba. Tidak seperti cinta-cinta yang digambarkan dalam novel atau film—yang katanya, bisa membuat jantung deg-degan hanya dalam sekali tatap. Tidak. Kami pelan-pelan saling mendekat. Dari obrolan ringan soal kerjaan, hingga sesekali bertukar cerita pulang malam dan laporan yang tak kunjung selesai.

Dia bukan tipe laki-laki yang mencolok. Tidak penuh gombal, tidak juga romantis berlebihan. Tapi ada sesuatu dalam dirinya—ketenangan, kedewasaan, dan caranya mendengarkan—yang membuatku merasa cukup hanya dengan ada. Dia tidak banyak bicara, tapi saat bicara, selalu terasa tepat. Pintar, tenang, dan tahu cara hadir tanpa membuatku merasa kecil.

Dan dari semua orang yang datang dan pergi selama aku merasa tak jadi siapa-siapa, dia—entah kenapa—memilih untuk tinggal.

Kupikir dia adalah jodohku.

Kupikir, Tuhan memberiku dia sebagai hadiah—sebagai tempat berlabuh, setelah segala usaha yang gagal dan langkah yang terus goyah.

Kupikir, akhirnya... inilah keberhasilanku.

Kami tidak pernah terlalu sering pamer kemesraan. Tapi cukup saling tahu. Cukup saling paham. Dia tahu bagaimana aku suka diam saat sedang marah. Aku tahu bagaimana dia akan mengetuk meja tiga kali saat gugup atau bingung. Dalam senyapnya kantor, kami saling membaca satu sama lain.

Hingga suatu hari, dia mengenalkanku pada keluarganya.

Sekilas, semua tampak baik. Tapi diam-diam, tanpa sepengetahuannya, aku merasakan tatapan yang berbeda. Kalimat-kalimat yang tidak diucapkan, tapi menggantung di udara. Penilaian yang tidak terucap, tapi terasa menusuk.

Mereka sopan, tapi tidak menerima.

Perempuan pegawai kontrak yang belum jelas masa depannya. Bukan PNS. Bukan siapa-siapa. Datang dari keluarga biasa, dengan ibu yang single parent, dan ayah yang sudah tidak banyak bicara soal harapan.

Mereka tidak mengatakan secara langsung. Tapi aku tahu. Karena kita bisa tahu ketika kita tidak diharapkan.

Aku tidak langsung bicara padanya soal itu. Tapi hari-hari setelah pertemuan itu, aku mulai menjauh perlahan. Menyimpan banyak tanya, tapi tak punya nyali untuk menanyakannya.

Sampai akhirnya, di tengah malam yang penuh ragu, aku memberanikan diri bertanya padanya:

“Kamu sayang aku, beneran tulus, kan?”

Kalimat itu keluar dengan suara yang nyaris bergetar.

“Aku cuma... ingin tahu, ini arahnya ke mana. Hubungan kita ini, sebenarnya kamu anggap apa?”

Aku tahu, terdengar seperti aku meragukannya.

Padahal sejujurnya, aku sedang meragukan diriku sendiri.

Aku takut tidak cukup. Takut jadi beban. Takut dicintai setengah-setengah karena keluarganya tak sepenuhnya menerimaku. Aku tidak menuduhnya, aku hanya butuh diyakinkan. Karena hatiku mulai lelah berjalan dalam kabut.

Aku hanya ingin tahu, aku layak diperjuangkan atau lebih baik mundur pelan-pelan.

Bukan karena tidak sayang. Tapi karena aku terlalu takut melihat diriku gagal lagi—kali ini, dalam hal yang paling kuinginkan: cinta.

Dan benar. Firasatku tidak salah.

Dia memutuskan hubungan kami.

Dengan tenang, dengan tegas. Tidak ada kata kasar. Hanya... keputusan. Seolah semua rasa yang tumbuh pelan-pelan itu bisa ia cabut dengan satu kalimat.

Hari-hari berikutnya, kantor berubah jadi tempat yang paling tak nyaman di dunia.

Bayangkan, bekerja bersama seseorang yang dulu kau cintai, tapi kini bahkan sulit menatap matanya. Duduk berseberangan, tapi terasa seperti berjauhan ribuan kilometer.

Kami jadi dua orang asing yang tahu terlalu banyak.

Arya, meski sudah bilang putus dengan tegas, tetap menunjukkan kepedulian yang membingungkan. Dia mengantar pulang tanpa diminta, melakukan hal-hal kecil yang dulu biasa ia lakukan—seolah berusaha menjaga sesuatu yang telah hilang.

Aku sempat goyah.

Aku bahkan memohon

“Aku masih sayang.”

“Aku butuh kita.”

Namun, di balik kepedulian itu, dia tetap keras kepala. Keputusannya sudah bulat.

Dan aku?

Aku terlalu lembut, terlalu rapuh untuk bertahan dalam penolakan yang setengah diberi harapan, setengah dipertahankan dengan jarak.

Seakan semesta ikut menambah beban, saat itu pula ibuku divonis tumor. Penyakit yang tak kami sangka datang begitu cepat dan begitu berat. Aku mulai hilang arah. Kepalaku dipenuhi suara-suara: tentang pekerjaan, tentang cinta yang patah, tentang ibu yang butuh aku lebih dari siapa pun.

Aku tetap datang ke kantor setiap hari. Tapi tubuhku hanya tempelan. Jiwaku entah di mana.

Dan kantor... bukan tempat yang membantuku bernapas.

Satu per satu masalah mulai datang. Aku merasa dijadikan kambing hitam untuk laporan yang bahkan bukan aku yang buat. Aku mulai dituduh tidak kompeten, dituntut ini itu, diasingkan secara halus dari lingkungan yang sebelumnya pernah hangat.

Toxic. Itu kata yang paling pas.

Tapi lebih dari sekadar racun yang menyebar pelan, tempat itu menjadi ruang sempit yang perlahan-lahan menghimpitku sampai aku sulit bernapas.

Hingga akhirnya, aku berhenti.

Tanpa rencana, tanpa tujuan. Aku hanya tahu: aku tidak bisa terus seperti ini.

Aku menyerahkan surat resign. Aku mengemasi meja kerja, menyimpan semua yang pernah kutulis, dan membuang apa pun yang mengingatkanku padanya.

Termasuk dia.

Aku memutus semua yang berkaitan dengannya. Nomor telepon, chat lama, bahkan foto-foto kenangan yang dulu kusimpan diam-diam. Aku tidak ingin ingat siapa aku ketika bersamanya—karena gadis itu terlalu rapuh, terlalu berharap, dan terlalu banyak mengalah.

Hari aku keluar dari kantor itu, tidak ada perpisahan.

Tidak ada salam, tidak ada pesta kecil, tidak ada air mata.

Hanya aku... yang akhirnya memilih pergi.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku tidak tahu harus ke mana.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Simfoni Rindu Zindy
1368      843     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Langit Tak Selalu Biru
92      79     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Kembali ke diri kakak yang dulu
1568      986     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
686      325     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Let Me be a Star for You During the Day
1235      689     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Langit-Langit Patah
37      32     1     
Romance
Linka tidak pernah bisa melupakan hujan yang mengguyur dirinya lima tahun lalu. Hujan itu merenggut Ren, laki-laki ramah yang rupanya memendam depresinya seorang diri. "Kalau saja dunia ini kiamat, lalu semua orang mati, dan hanya kamu yang tersisa, apa yang akan kamu lakukan?" "Bunuh diri!" Ren tersenyum ketika gerimis menebar aroma patrikor sore. Laki-laki itu mengacak rambut Linka, ...
Konfigurasi Hati
672      443     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Solita Residen
2472      1081     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Perjalanan Tanpa Peta
75      70     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
RUANGKASA
50      46     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...