Aku masih ingat masa itu—saat hidupku berjalan datar seperti air di parit kecil yang malas mengalir. Pagi berangkat kerja, sore pulang dengan wajah lelah, lalu tidur dan mengulang lagi keesokan harinya. Tak ada gairah, tak ada arah. Aku hanya bertahan. Mungkin karena itulah aku menganggap hadirnya seseorang—siapa pun itu—sebagai jeda yang menyelamatkan.
Dan di masa itu, aku bertemu Arya.
Aku bertemu dia di masa yang mungkin paling biasa dalam hidupku.
Tidak ada petir menyambar, tidak ada pertemuan dramatis. Hanya sore yang lelah, ruangan kantor yang pengap, dan dia—senior yang kadang menyapa, kadang tidak, tapi selalu hadir di tempat yang sama.
Hubungan kami tidak datang dengan tiba-tiba. Tidak seperti cinta-cinta yang digambarkan dalam novel atau film—yang katanya, bisa membuat jantung deg-degan hanya dalam sekali tatap. Tidak. Kami pelan-pelan saling mendekat. Dari obrolan ringan soal kerjaan, hingga sesekali bertukar cerita pulang malam dan laporan yang tak kunjung selesai.
Dia bukan tipe laki-laki yang mencolok. Tidak penuh gombal, tidak juga romantis berlebihan. Tapi ada sesuatu dalam dirinya—ketenangan, kedewasaan, dan caranya mendengarkan—yang membuatku merasa cukup hanya dengan ada. Dia tidak banyak bicara, tapi saat bicara, selalu terasa tepat. Pintar, tenang, dan tahu cara hadir tanpa membuatku merasa kecil.
Dan dari semua orang yang datang dan pergi selama aku merasa tak jadi siapa-siapa, dia—entah kenapa—memilih untuk tinggal.
Kupikir dia adalah jodohku.
Kupikir, Tuhan memberiku dia sebagai hadiah—sebagai tempat berlabuh, setelah segala usaha yang gagal dan langkah yang terus goyah.
Kupikir, akhirnya... inilah keberhasilanku.
Kami tidak pernah terlalu sering pamer kemesraan. Tapi cukup saling tahu. Cukup saling paham. Dia tahu bagaimana aku suka diam saat sedang marah. Aku tahu bagaimana dia akan mengetuk meja tiga kali saat gugup atau bingung. Dalam senyapnya kantor, kami saling membaca satu sama lain.
Hingga suatu hari, dia mengenalkanku pada keluarganya.
Sekilas, semua tampak baik. Tapi diam-diam, tanpa sepengetahuannya, aku merasakan tatapan yang berbeda. Kalimat-kalimat yang tidak diucapkan, tapi menggantung di udara. Penilaian yang tidak terucap, tapi terasa menusuk.
Mereka sopan, tapi tidak menerima.
Perempuan pegawai kontrak yang belum jelas masa depannya. Bukan PNS. Bukan siapa-siapa. Datang dari keluarga biasa, dengan ibu yang single parent, dan ayah yang sudah tidak banyak bicara soal harapan.
Mereka tidak mengatakan secara langsung. Tapi aku tahu. Karena kita bisa tahu ketika kita tidak diharapkan.
Aku tidak langsung bicara padanya soal itu. Tapi hari-hari setelah pertemuan itu, aku mulai menjauh perlahan. Menyimpan banyak tanya, tapi tak punya nyali untuk menanyakannya.
Sampai akhirnya, di tengah malam yang penuh ragu, aku memberanikan diri bertanya padanya:
“Kamu sayang aku, beneran tulus, kan?”
Kalimat itu keluar dengan suara yang nyaris bergetar.
“Aku cuma... ingin tahu, ini arahnya ke mana. Hubungan kita ini, sebenarnya kamu anggap apa?”
Aku tahu, terdengar seperti aku meragukannya.
Padahal sejujurnya, aku sedang meragukan diriku sendiri.
Aku takut tidak cukup. Takut jadi beban. Takut dicintai setengah-setengah karena keluarganya tak sepenuhnya menerimaku. Aku tidak menuduhnya, aku hanya butuh diyakinkan. Karena hatiku mulai lelah berjalan dalam kabut.
Aku hanya ingin tahu, aku layak diperjuangkan atau lebih baik mundur pelan-pelan.
Bukan karena tidak sayang. Tapi karena aku terlalu takut melihat diriku gagal lagi—kali ini, dalam hal yang paling kuinginkan: cinta.
Dan benar. Firasatku tidak salah.
Dia memutuskan hubungan kami.
Dengan tenang, dengan tegas. Tidak ada kata kasar. Hanya... keputusan. Seolah semua rasa yang tumbuh pelan-pelan itu bisa ia cabut dengan satu kalimat.
Hari-hari berikutnya, kantor berubah jadi tempat yang paling tak nyaman di dunia.
Bayangkan, bekerja bersama seseorang yang dulu kau cintai, tapi kini bahkan sulit menatap matanya. Duduk berseberangan, tapi terasa seperti berjauhan ribuan kilometer.
Kami jadi dua orang asing yang tahu terlalu banyak.
Arya, meski sudah bilang putus dengan tegas, tetap menunjukkan kepedulian yang membingungkan. Dia mengantar pulang tanpa diminta, melakukan hal-hal kecil yang dulu biasa ia lakukan—seolah berusaha menjaga sesuatu yang telah hilang.
Aku sempat goyah.
Aku bahkan memohon
“Aku masih sayang.”
“Aku butuh kita.”
Namun, di balik kepedulian itu, dia tetap keras kepala. Keputusannya sudah bulat.
Dan aku?
Aku terlalu lembut, terlalu rapuh untuk bertahan dalam penolakan yang setengah diberi harapan, setengah dipertahankan dengan jarak.
Seakan semesta ikut menambah beban, saat itu pula ibuku divonis tumor. Penyakit yang tak kami sangka datang begitu cepat dan begitu berat. Aku mulai hilang arah. Kepalaku dipenuhi suara-suara: tentang pekerjaan, tentang cinta yang patah, tentang ibu yang butuh aku lebih dari siapa pun.
Aku tetap datang ke kantor setiap hari. Tapi tubuhku hanya tempelan. Jiwaku entah di mana.
Dan kantor... bukan tempat yang membantuku bernapas.
Satu per satu masalah mulai datang. Aku merasa dijadikan kambing hitam untuk laporan yang bahkan bukan aku yang buat. Aku mulai dituduh tidak kompeten, dituntut ini itu, diasingkan secara halus dari lingkungan yang sebelumnya pernah hangat.
Toxic. Itu kata yang paling pas.
Tapi lebih dari sekadar racun yang menyebar pelan, tempat itu menjadi ruang sempit yang perlahan-lahan menghimpitku sampai aku sulit bernapas.
Hingga akhirnya, aku berhenti.
Tanpa rencana, tanpa tujuan. Aku hanya tahu: aku tidak bisa terus seperti ini.
Aku menyerahkan surat resign. Aku mengemasi meja kerja, menyimpan semua yang pernah kutulis, dan membuang apa pun yang mengingatkanku padanya.
Termasuk dia.
Aku memutus semua yang berkaitan dengannya. Nomor telepon, chat lama, bahkan foto-foto kenangan yang dulu kusimpan diam-diam. Aku tidak ingin ingat siapa aku ketika bersamanya—karena gadis itu terlalu rapuh, terlalu berharap, dan terlalu banyak mengalah.
Hari aku keluar dari kantor itu, tidak ada perpisahan.
Tidak ada salam, tidak ada pesta kecil, tidak ada air mata.
Hanya aku... yang akhirnya memilih pergi.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku tidak tahu harus ke mana.