Setelah hari itu, waktu terasa berjalan lambat.
Pagi datang tanpa alarm. Aku tak lagi bangun terburu-buru, tak perlu menyiapkan baju kerja, tak harus menyetel wajah netral di depan cermin. Tapi justru di saat segalanya melambat, pikiranku berisik tak karuan.
Aku sering duduk diam berjam-jam di ujung tempat tidur, memandangi dinding kosong. Kadang membuka ponsel hanya untuk menutupnya kembali. Tidak ada notifikasi darinya. Tidak ada pesan dari siapa-siapa. Hanya sunyi—dan aku yang tak tahu harus berbuat apa.
Hari-hariku berubah jadi daftar kecil hal-hal yang kulakukan hanya agar tidak hancur total: mencuci piring, mencuci baju, membersihkan rumah. Kegiatan-kegiatan sederhana yang dulunya terasa membosankan, kini menjadi satu-satunya jangkar agar aku tetap waras.
Aku tak punya pekerjaan. Tapi anehnya, bukan itu yang paling menyakitkan.
Yang paling terasa menyiksa justru kehilangan sosok yang selama ini kujadikan pijakan.
Arya.
Aku sering memikirkan dia. Wajahnya. Suaranya. Caranya bilang, “Kamu pasti bisa,” saat aku sedang kesulitan menyusun laporan. Cara dia mencuri pandang ketika aku terlalu sibuk mengetik. Bahkan caranya diam pun, kini terasa lebih keras daripada keramaian mana pun.
Aku masih ingat suatu sore di pantai, saat kami berjalan pelan menyusuri bibir pantai. Pasir yang hangat menyentuh kaki, angin laut yang lembut membelai wajah, dan suara ombak yang menenangkan.
Kami tidak banyak bicara, hanya sesekali bertukar senyum lepas yang membuat dunia terasa berhenti sejenak. Waktu itu, aku merasa seolah jatuh cinta untuk pertama kali—tanpa dramatis, tanpa gegap gempita, tapi penuh ketulusan dan kehangatan yang sulit aku ungkapkan.
Momen itu terasa begitu nyata, seakan mengingatkanku bahwa ada saat-saat di mana aku benar-benar bahagia, benar-benar merasa berarti.
Namun kini, kenangan itu menjadi luka yang manis sekaligus perih, mengingatkan aku pada apa yang pernah kami miliki dan kini mulai hilang di antara jarak dan keheningan.
Kadang aku bertanya-tanya, apakah dia juga memikirkanku?
Tapi aku tak punya keberanian untuk mencari tahu jawabannya.
Karena aku tahu, ini bukan tentang siapa yang lebih dulu melupakan. Tapi tentang siapa yang lebih dulu memilih sembuh.
Dan aku... harus mulai memilih.
**
Satu bulan setelah keluar dari kantor, aku mencoba mengisi hidupku kembali.
Tak kuduga, doa-doa yang sempat kupanjatkan di tengah lelah dan putus asa akhirnya menemukan jawabannya. Aku mendapat pekerjaan baru. Sebuah tempat yang lebih kecil, tapi katanya, lebih manusiawi. Aku diterima—meski masa efektif bekerjanya masih sebulan lagi.
Namun masa transisi itu tidak semudah yang kubayangkan.
Karena aku resign secara mendadak, banyak pekerjaan lamaku yang terbengkalai. Dan penggantiku... masih kebingungan. Ia bahkan belum sepenuhnya paham sistem pelaporan yang dulu kubangun dari nol. Mau tidak mau, aku harus bolak-balik ke kantor lama—meski statusku sudah bukan pegawai.
Aneh rasanya. Datang ke tempat yang pernah membuatku ingin menghilang, tapi kini harus kusambangi lagi dengan senyum pura-pura. Menyapa rekan kerja yang dulu sempat menatapku seolah aku gagal, menjawab pertanyaan-pertanyaan teknis seolah aku tidak sedang menyembuhkan diri sendiri.
Di antara hari-hari itu, aku mulai menulis.
Bukan tulisan panjang, bukan cerita penuh warna. Hanya catatan kecil yang kutulis di buku harian—tentang perasaan hari itu, tentang satu lagu yang membuatku menangis, atau tentang matahari pagi yang entah kenapa terasa lebih hangat.
Ternyata, ada sesuatu yang menyembuhkan dari merangkai kata.
Menulis membuatku merasa masih ada yang bisa kugenggam di tengah hancurnya yang lain. Bahwa meski hidupku tidak sempurna, aku tetap bisa mencintai sesuatu. Dan saat aku menulis, aku tidak lagi merasa sendirian.
Suatu hari, aku menemukan kutipan lama yang pernah kutempel di dinding kos:
“Seseorang tidak pernah benar-benar hancur. Mereka hanya sedang belajar menyusun ulang serpihan dirinya.”
Aku tersenyum kecil.
Mungkin aku sedang di fase itu.