Jewel Palace Resort
Jewel Palace adalah resort super mewah yang berdiri di atas lahan seluas 2000m², dengan 30 kamar luxury lengkap dengan kolam renang pribadi di tiap unitnya. Setiap kamar dirancang dengan detail memukau, memadukan gaya modern klasik yang elegan, area duduk pribadi, serta balkon dengan pemandangan laut yang menakjubkan. Selain itu, tersedia pula 50 kamar standar yang tak kalah nyaman dan menarik.
Resort ini dilengkapi berbagai fasilitas premium seperti pusat kebugaran, ruang meditasi, dan dance room. Dikelilingi oleh gugusan pulau yang rapi dan laut biru kehijauan, lokasi ini menjadi salah satu spot diving terbaik di kawasan Asia Tenggara. Jewel Palace telah lama menjadi destinasi favorit para wisatawan yang mencari ketenangan dan keindahan alam tropis, menawarkan pengalaman liburan tak terlupakan. Dikelilingi perairan jernih dan pasir putih, resort ini menjadi tempat sempurna untuk memanjakan diri dalam balutan kemewahan dan kealamian.
Tamu dapat menikmati matahari terbenam yang spektakuler, bersantai di pinggir pantai, atau menyelam menyusuri keindahan terumbu karang. Dalam urusan kuliner, Jewel Palace juga unggul. Restoran-restorannya menyajikan ragam hidangan lezat, dari masakan lokal hingga internasional.
Dengan kombinasi kemewahan, pemandangan indah, serta keramahan staf yang tiada duanya, Jewel Palace benar-benar menjadi destinasi liburan yang sempurna.
---
Sore Itu di Resort
“Ini nanti akan jadi lokasi resto bar kamu, Rhaa,” kata Emilia sambil menunjuk ke arah area tepi pantai.
Tempat itu sungguh strategis—ideal untuk makan malam romantis dengan suara deburan ombak sebagai latar belakang dan view sunset yang spektakuler. Lokasi sempurna untuk menghidangkan makanan ringan sambil menikmati pemandangan.
“Wah, spot-nya luar biasa,” kata Nafa terpukau.
“Nafa, gimana kalau kamu kerja sama aku aja di resto ini?” tawar Rha.
“Kalau memang bisa, dengan senang hati, Rhaa,” jawab Nafa cepat.
“Iya, Naf! Jadi kita bertiga bisa ngumpul tiap hari. Oh iya, bentar lagi teman yang aku bilang tadi bakal datang. Dia lagi surfing.”
Mereka lalu asyik membahas konsep dan tambahan menu untuk resto nanti. Tak lama, seorang pria muncul dari kejauhan. Kulitnya kecokelatan, tubuhnya tinggi dan atletis. Ia hanya mengenakan celana pendek ketat selutut, memperlihatkan otot trisep, bisep, dan abs yang sempurna. Ia berjalan santai sambil membawa papan selancar.
Mata Nafa terpaku. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia terpesona pada pandangan kedua.
Itu Christian.
Kemarin saat bertemu di gunung, Christian memakai jaket, jadi Nafa hanya sempat melihat wajahnya sekilas. Tapi sekarang—posturnya... auranya...
Apakah pria ini lebih tampan dari Blaster? pikir Nafa. Oh tentu tidak. Blaster itu tak tertandingi. Tapi... dia sudah pindah keluar negeri. Jadi dia tidak ada lagi dalam hidupku.
“Christian?” gumam Nafa lirih. Ia spontan membalikkan badan, berpura-pura tidak melihat pria itu semakin mendekat.
“Ibu Emilia,” sapa Christian ramah.
“Nafa, sini. Aku kenalin sama Christian,” panggil Emilia.
“Nafa? Apakah itu Nafa yang waktu camping itu?” pikir Christian.
Dengan langkah santai, ia mendekati mereka.
“Nafa? Masih ingat aku kan?” sapanya.
“Iya, masih,” jawab Nafa santai—meski dalam hati berbunga-bunga.
“Kendrick Christian. Panggil aja Tian.”
“Nafa Stevania,” katanya sambil menyodorkan tangan.
“Na, ini Christian yang kamu ceritain itu kah?” tanya Riantie menyelidik.
“Iya,” jawab Nafa singkat.
“Kenalin juga ini Riantie,” tambah Emilia.
Setelah sesi perkenalan selesai, Christian menyela, “Boleh pinjam Nafa sebentar nggak?”
“Oh iya, silakan,” jawab Emilia.
“Silakan,” Riantie bahkan mendorong Nafa ke arah Christian.
---
Di Tepi Pantai
“Kamu janji waktu itu,” kata Christian memulai. “Kalau ketemu lagi, kamu bakal kasih nomor HP kamu. Masih ingat kan?”
“Hampir lupa sih. Ini nomorku, 0821****.”
“Aku nggak bawa ponsel, tadi ketinggalan. Kamu SMS aja ya nanti biar aku save.”
Sejenak mereka saling diam, sebelum Christian melanjutkan, “Jujur, aku tertarik sama kamu sejak lihat kamu ngobrol sama Titto waktu itu di depan tenda.”
“Oh ya?”
“Mau nggak, kasih aku tiga kali kesempatan buat kencan bareng kamu? Kalau ternyata cocok... siapa tahu bisa lebih dari sekadar teman.”
Nafa tersenyum kecil. “Boleh.”
“Dengar-dengar, kalian bakal buka café ya di sini?”
“Iya. Hari ini kita datang buat lihat lokasi. Besok rencananya tanda tangan kontrak.”
“Menurut kamu gimana tempat ini?”
“Amazing. Nggak bisa berkata-kata lagi. Jadi tamu di sini aja udah senang, apalagi kalau bisa jadi bagian dari resort ini.”
Karena bangunan resto sudah tersedia, tidak butuh waktu lebih dari satu minggu untuk bisa launching.
> “Tawaran aku kemarin masih berlaku loh, Na,” kata Iriantie.
“Kasih aku waktu sampai awal pekan, aku urus surat resign dulu,” jawab Nafa.
“Pasti teman-teman kamu sedih kamu resign. Ajak mereka liburan ke sini, aku traktir,” kata Emilia sambil tersenyum.
Nafa menatap dua sahabatnya dengan mata berkaca-kaca.
> “Kalian baik banget. Aku bersyukur dan beruntung punya sahabat kayak kalian.”
Mereka bertiga saling berpelukan hangat.
---
Hari itu, Nafa menyampaikan kabar pada dua sahabatnya di kantor: Sitty dan Popi.
> “Hari ini aku resign.”
“Hah? Kenapa, Na? Kok mendadak?” tanya Popi heran.
“Iya, teman aku buka resto bar di Jewel Palace. Aku gabung sama dia.”
“Jangan lupain kita ya, Na,” ujar Sitty, matanya berkaca-kaca.
“Jangan sedih, akhir pekan kita liburan ke Jewel Palace. Sekalian perpisahan aku.”
“Aku gak bakal lupain kalian kok. Kita masih satu kota, bukan pindah ke luar negeri,” ucap Nafa sambil tertawa kecil.
“Kamu udah kasih tahu Yanto?” tanya Sitty.
“Belum…”
Kebetulan, Yanto lewat di lorong.
> “Yantoooo!” panggil Nafa lalu berlari kecil ke arahnya.
Yanto melihat wajah Nafa yang terlihat sedih.
> “Kenapa? Wajah kamu kok sedih? Ada apa?”
Nafa menarik napas panjang, lalu memeluk Yanto erat.
“Makasih sudah jadi kakak terbaik aku selama ini. Besok aku resign,” ucapnya di sela-sela tangis.
“Hei, jangan nangis. Kamu mau ke mana?”
“Aku akan kerja di Jewel Palace.”
“Loh, itu kan kabar bagus! Kenapa nangis? Jewel Palace bukan di luar kota, apalagi luar negeri.”
“Kamu masih mau lindungin aku terus, kan, walaupun aku udah gak kerja di sini?”
“Ya iyalah, aku tetap jadi kakak yang baik buat kamu.”
> “Akhir pekan ini ATM ada agenda apa? Aku bikin acara perpisahan di Jewel Palace.”
“Nanti aku sampein ke yang lain. Kalau mereka gak bisa, aku pasti tetap datang.”
“Jangan lupa ajak Stella juga, ya.”
Yanto mengusap air mata Nafa dengan lembut.
“Gak usah nangis…”
---
Hari H – Launching Resto Bar & Perpisahan
Acara launching resto bar sekaligus perpisahan Nafa berlangsung meriah. Semua orang hadir: Christian, Titto, Kevin, bahkan kolega dan rekan bisnis ayah Emilia dan Iriantie tampak menikmati acara yang mewah—sebuah hadiah dari ayah Emilia.
Rekan-rekan Nafa mengenakan pakaian serba putih. Mereka duduk di pinggir pantai, bernyanyi sambil menikmati deburan ombak, jauh dari tamu-tamu eksklusif.
Nafa dan Christian duduk di atas batu besar yang nyaris tersapu air laut. Sesekali kaki mereka terendam ombak kecil.
> “Apakah ini dihitung sebagai kencan pertama?” tanya Christian.
“Kalau kamu anggapnya gimana?”
“Ini jangan dimasukin hitungan. Gimana kalau besok nonton? Ada film horor bagus katanya.”
“Boleh. Mumpung hari Minggu.”
“Aku jemput, ya?”
“Gak usah repot, aku besok masih nginap di sini.”
“Kalau gitu, mau gak jalan seharian sama aku? Mau ya?”
“Hmm... gimana ya? Harus izin dulu sama bos, hehe.”
“Bolos aja, bolos! Hahaha.”
“Liat besok aja, ya. Aku kabarin pagi-pagi.”
> “Tapi aku bingung mau ajak kamu ke mana. Ada tempat yang kamu pengen kunjungi?”
“Bingung juga. Soalnya Jewel Palace ini udah paling sempurna buat aku yang suka pantai.”
“Aku punya ide. Gimana kalau aku ajak kamu surfing, diving, atau snorkeling? Biar beda gitu.”
“Iya, mau!”
“Semoga cuaca bagus. Kamu mau yang mana duluan?”
“Aku gak paham. Mana yang cocok buat pemula?”
“Aku saranin snorkeling dulu. Kamu kan belum punya sertifikat menyelam. Nanti aku bantu biar kamu bisa dapet sertifikatnya ya.”
“Iya, makasih sebelumnya…”
Malam sebelum kencan pertama
Sepanjang malam Nafa tidak bisa tidur. Dia membayangkan hari esok—apa yang harus ia kenakan, apa yang harus ia katakan, dan apa yang harus ia lakukan. Pikirannya sibuk dengan satu hal: besok ia akan jalan dengan cowok yang sesuai banget sama tipenya. Hal yang dulu cuma jadi khayalan waktu naksir Blaster.
Kalau nggak bisa sama Blaster, Christian juga lebih dari cukup...
Malam itu, Nafa menginap di resort bersama Iriantie dan Emilia. Mereka bertiga maskeran bareng. Nafa dan Emilia sudah rebahan di kasur, sementara Iriantie duduk serius di depan laptop. Nafa ingin curhat, tapi malu. Ingin cerita, tapi gengsi. Apalagi Emilia ada di sana, dan Iriantie terlihat sibuk.
“Wow, amazing. Ternyata Sitty Astuty dan Popy Andrelia itu teman dekat kamu, Naf? Aku nggak nyangka! Kebetulan yang sangat... kebetulan,” seru Emilia, antusias, sambil scroll Instagram.
“Iya, mereka teman kerja. Kok kamu kenal, Mil?”
“Aku follow YouTube sama IG-nya Sitty dari zaman dia mulai diet.”
“Channel YouTube??”
“Iya, dia influencer fitness terkenal. Kamu nggak tau?”
“Ya ampun... masa sih? Aku nggak tau apa-apa. Teman macam apa aku ini?”
“Astaga, kok bisa kamu nggak tau?” Emilia bengong.
“Yang ada di pikiran Nafa itu cuma dirinya sendiri. Makanya dia nggak tau kalau temen-temennya ternyata influencer,” timpal Iriantie yang dari tadi ikut dengerin.
“Serius kamu nggak tau? Sitty itu selebgram centang biru, followers-nya di IG 2,5 juta, loh!”
“Masa, sih...?" Nada terkejut Soalnya dia emang jarang sekali buka sosmed.
“Ini coba liat,” Emilia tunjukin layarnya.
Nafa membalik badan dan melongok ke arah ponsel Emilia. Ia agak terkejut. Temenan dekat tapi nggak tahu apa-apa soal Sitty?
“Pantes Popy selalu bilang kalau aku nggak peka...” gumam Nafa, dia mengambil ponsel adalahlalu mulai scroll feed Sitty dan nonton videonya.
“Coba liat ini, Naf. Ini vlog kalian waktu di gunung, kan?”
“Iya, aku ingat. Popy yang ambil gambar dan video.”
“Jangan bilang kamu juga nggak tau kalau Popy itu TikToker?” kata Iriantie dengan ekspresi heran.
“Aduh, nggak bener ini…”
“Popy itu beauty vlogger di TikTok. Makanya kamu harus main TikTok, biar update. Tapi followers Popy memang belum sebanyak Sitty,” tambah Iriantie.
“Ini kesempatan bagus loh buat promosiin café kita, Naf. Kamu minta mereka review dan bikin vlog liburan di resort ini. Gimana, Mil?” usul Iriantie.
“Setuju! Aku kasih semua fasilitas terbaik dan gratis. Sitty itu role model aku,” kata Emilia semangat.
“Nanti aku obrolin deh sama mereka. Aku yakin mereka mau bantu,” kata Nafa sambil senyum kecil.
Mereka terlalu asyik ngobrol sampai nggak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Nafa akhirnya memejamkan mata, ingin tampil sempurna untuk first date-nya besok.
---
Beberapa jam sebelumnya, di kamar Christian
“Bro, besok aku mau ajak Nafa snorkeling. Gimana menurut kamu?” tanya Christian sambil melirik Titto.
“Jangan mainin perasaan cewek, Bro. Gimana sama Natasha?” tanya Titto serius.
“Ayolah, Bro. Aku sama Natasha cuma… teman tidur. Nggak ada perasaan. Kalo sama Nafa beda cerita.”
“Kamu anggap begitu. Tapi gimana kalau Natasha berharap lebih?”
“Mana mungkin. Kemarin dia juga ciuman sama bule yang baru dia kenal.”
Natasha adalah bule Australia yang jadi ‘teman tidur’ Christian selama ini.
“Kalau Nafa tahu semua ini gimana?” tanya Titto.
“Nggak boleh tahu untuk sementara. Kalau nanti aku jadian sama Nafa, baru aku cari cara buat pisah dari Natasha.”
“Gue peringatkan ya. Jangan main-main sama Nafa. Kalau kamu nggak mau nyawa kamu melayang. Kamu tau siapa ayahnya?”
“Serem amat, kayak malaikat maut aja. Nggak ada manusia yang lebih menakutkan buat aku... kecuali Adam Azizbek.”
Titto hanya tersenyum miring. “Udah, tidur sana. Besok aku banyak kerjaan.. kalau kamu serius sama dia, Aku dukung.”
Christian tidak menghiraukan perkataan Titto dan melamunkan apa yang akan dia lakukan besok
“Aku jatuh cinta pada pandangan pertama sama Nafa,” kata Christian sambil menatap langit-langit.
Titto dan Christian tinggal di satu kamar yang sama. Semacam mess yang di sediakan kantor
---
Pagi harinya, pukul 08.30
Nafa baru terbangun. Emilia dan Iriantie sudah berangkat kerja. Hari ini Nafa masih libur—besok dia resmi mulai kerja.
Ia membuka pintu kamar yang langsung menghadap pantai. Ia meregangkan tubuh dan menutup mata.
“Hooaammm…”
“Selamat pagi, Nafa,” sapa seseorang.
Nafa membuka mata—Christian!
Ia mengenakan kaus putih dan jogger abu muda. Nafa panik dan langsung lari masuk kamar karena malu.
“Aku tunggu di luar ya, kita jogging sebentar keliling resort,” kata Christian dari luar.
“Iya, sebentar!”
Nafa buru-buru cuci muka dan sikat gigi. Saat hendak ganti baju, ia baru ingat—dia nggak bawa baju olahraga!
“Ah, sial. Aku lupa…” gerutunya.
Ia menelepon Emilia, lalu menemukan stelan olahraga milik Emilia: crop top dan jogger pink super wangi. Sedikit kebesaran, tapi… “Ah, pede aja lah!”
“Naaf, kamu nggak tidur lagi, kan?” Christian memanggil dari luar.
“Iya bentar!” Nafa buru-buru ambil sepatu—eh, ternyata sepatu pink milik Emilia juga.
“Maaf, nunggu lama ya.”
“Wah, penampilan kamu pinky sekali,” goda Christian. “Nggak nyangka kamu persiapan segini matang, padahal nggak janjian.”
“Ini baju pinjem. Punya Emilia. Cocok nggak?”
“Kamu punya badan bagus, jadi semua cocok.”
---
Setelah jogging sekitar 30 menit
“Aww, kaki aku…” Nafa menghentikan langkah.
“Kamu kenapa?”
“Kaki aku lecet, deh…”
“Duduk dulu, aku periksa.”
Christian membuka sepatu Nafa—terlihat lecet di tumit dan jari.
“Sepatu siapa ini? Ini bukan ukuran kamu!”
“Iya, semua pinjem dari Emilia.”
“Naik ke punggung aku. Kamu pasti kesakitan.”
“Tapi…”
“Nggak ada tapi-tapian.”
Christian menggendong Nafa di punggungnya. Nafa senyum sendiri.
“Dia wangi… padahal udah keringetan,” pikir Nafa.
Cuma begini aja hatiku udah melting. Receh banget, sih, aku…
“Kamu kok diam aja? Tertidur, ya?” tanya Christian.
“Ah, nggak kok!” jawab Nafa cepat sambil menggeleng. Ia harus sadar. Jangan tenggelam dalam manisnya perlakuan cowok ini.
---
Mereka tiba di café milik Iriantie.
“Kaki kamu kenapa, Na?” tanya Iriantie khawatir.
“Lecet sedikit karena jogging.”
Christian langsung ambil P3K dan mengoleskan salep.
“Kirain kaki kamu patah,” Iriantie melepas heels dan pura-pura menginjak kaki Nafa.
Nafa tertawa.
“Ditabrak motor kepala berdarah aja dia masih jalan. Luka kecil gini? Jangankan jalan, lari juga masih bisa,” kata Iriantie sambil nyengir.
“Yaelah, Rhaa… Biar kayak di film-film gitu, kan,” jawab Nafa polos.
Christian hanya menggeleng sambil tersenyum dan mengacak rambut Nafa.
“Abis makan siang aku jemput ya. Aku mau jogging lagi 30 menit, lalu mandi,” kata Christian, lalu pergi.
---
“Eh, kamu nggak cerita mau jalan sama Christian?” tanya Iriantie.
“Mau snorkeling. Tadi malam aku mau cerita, tapi malu… ada Emilia.”
“Lagi PDKT, ya?”
“Kayaknya sih… dia ngajakin kencan.”
“Kamu suka dia?”
“Hmm… aku kagum sama fisiknya. Soal rasa, kita lihat nanti.”
“Kalian keliatan cocok.”
“Ngobrol juga nyambung, sih.”
“Terus gimana dengan Tuan Adam? Sudah dapat izin pacaran?”
“Oh my God! Aku lupa kalau aku punya ayah bernama Adam. Jangan sampai ketahuan, bisa mati muda…”
“Siapa yang mati? Kamu atau dia?”
“Mati berdua! Hahaha... Tapi tolong rahasiain dulu ya.”
“Pergi mandi sana. Kamu bau keringat!”
“Besok aku izin dulu ya, mau ambil pesangon, ngomong ke Sitty & Popy soal project kita, sekalian pulang... Kangen Tuan Adam.”
“Oke!”
...
Dari mana aja kamu? Pagi-pagi sudah menghilang,” tanya Titto.
“Aku pergi jogging.”
“Bukannya hari ini jadwal kamu leg day?”
“Gitu deh. Aku gak mau capek dulu, soalnya mau pergi kencan.”
“Ingat pesanku semalam, kan? Jangan permainkan hati cewek.”
Christian memang dikenal sebagai playboy yang suka mempermainkan hati wanita.
“Kali ini aku serius.”
“Ya sudah, aku pergi kerja dulu. Hari ini ada tamu.”
“Hati-hati di laut, bro. Jangan sampai tenggelam pas nyelam!”
---
“Rhaaa, aku lapar…” kata Nafa saat tiba di café.
“Makanlah kalau lapar.”
“Masakin… suapin…” ucapnya manja dengan nada alay.
“Kamu gak cocok kayak gitu. Nanti jangan kayak gini ya kalo ada Christian.” Iriantie memukul bahu Nafa dengan daftar menu.
“Gak apa-apa, aku suka dia manja begitu,” sahut Christian yang tiba-tiba sudah di belakang mereka.
Nafa langsung menutup wajahnya, malu.
“Kebetulan aku juga belum makan. Mau dong disuapin Nafa.”
Iriantie tertawa. “Kalian mau makan apa?”
“Ayam goreng,” jawab Nafa dan Christian kompak.
“Fix kalian jodoh!” kata Iriantie sambil pergi memesan makanan ke pelayan.
Setelah makan siang, mereka bersiap untuk snorkeling.
“Tian, gimana kalau kita gak usah snorkeling, tapi naik itu aja?” Nafa menunjuk sepeda bebek air.
“Snorkeling bisa kapan-kapan. Kamu kan selalu di laut, pasti bosan,” lanjut Nafa.
“Itu pekerjaan aku, mana mungkin bosan. Tapi kalau kamu mau naik bebek itu, ya ayo.”
“Kamu gak kecewa, kan?”
“Gak dong. Kan masih ada dua kesempatan lagi. Yang berikutnya harus snorkeling ya, bila perlu diving sekalian. Mau pamer kerjaan aku.”
“Iya, iya.”
Selain pantainya yang indah, di Jewel Palace juga ada danau buatan yang tak kalah cantik.
---
“Aku udah beli tiket bioskop untuk nanti malam.”
“Kirain gak jadi.”
“Nanti jam tujuh aku jemput, ya.”
“Kalau gak keberatan, sekalian antar aku pulang. Malam ini aku balik ke rumah.”
“Tentu saja, dengan senang hati.”
“Makasih sebelumnya.”
“Coba ceritain tentang keluarga kamu.”
“Hmm… gak ada yang spesial. Aku tinggal sama papa aja.”
“Ibu kamu? Apa dia sudah meni...”
“Aku gak tau. Papa gak pernah cerita, dan aku juga gak mau buka luka lama.”
“Waktu kecil, kamu gak pernah diejek karena gak punya ibu?”
“Gak ada yang berani ejek aku. Soalnya aku gak segan jambak atau lempar apa aja yang ada di dekatku. Makanya, dari kecil temanku cuma Iriantie dan Kak Yanto.”
“Yanto? Yang narik tangan kamu waktu itu?”
“Iya, dia. Usia kita beda 10 tahun. Waktu aku kecil, aku merengek-rengek pengin dinikahi Yanto.”
“Pasti waktu itu kamu lucu banget.”
“Kalau kamu gimana ceritanya?”
“Aku yatim piatu. Dari kecil tinggal di panti asuhan. Gak punya siapa-siapa selain Titto.”
“Lalu Kevin?”
“Dia teman SMA-nya Titto.”
“Pantes wajahnya gak asing. Oh ternyata kakak kelasku.”
“Dia gak kerja di sini, kerja di pasar.”
“Eh, kamu gak pernah cari orang tua kamu?”
“Mereka meninggal saat aku umur 10 tahun. Kecelakaan lalu lintas. Karena gak punya keluarga, aku dibawa ke panti. Di sana aku ketemu Titto.”
“Titto juga yatim piatu?”
“Enggak, dia anak salah satu pemilik yayasan.”
“Terus gimana kamu bisa akrab sama Titto?”
“Waktu MOS, dia dan Michael banyak ngerjain aku. Tapi seperti biasa, aku gak pernah tinggal diam. Sejak itu kami jadi dekat. Cuma setelah dia lulus, kami lost contact.”
“Ayah kamu kerjanya apa?”
Deg. Deg.
“Dia gak boleh tahu siapa papa aku,” batin Nafa.
“Ah, kerjaannya biasa. Kayak ayah pada umumnya. Dia kerja di pasar.”
“Oh, ayahmu dinas pasar ya?”
“Haha, iya… semacam itu.”
“Seandainya dia tahu aku anak Adam Azizbek, apa dia masih mau dekat denganku?” gumam Nafa dalam hati.
---
Satu putaran selesai.
“Kamu mau ganti baju dulu atau langsung ke mall?” tanya Christian.
“Aku gak bawa baju ganti. Gak apa-apa, begini aja.”
“Baju dan celana kamu terlalu pendek.”
Outfit Nafa hari ini: celana pendek sepaha, crop top yang dilapisi kemeja putih oversize lengan panjang.
“Kamu gak suka cewek pakai celana pendek?”
“Aku suka. Tapi aku gak suka kalau orang lain yang lihat.” Ucap Christian lembut, seolah Nafa sudah jadi miliknya.
“Perhatian bangetttt…” batin Nafa, hatinya meleleh untuk kedua kalinya.
“Kalau gitu, aku pulang aja dulu. Nanti kita ketemu di mall, gimana?”
“Aku antar dan tunggu kamu.”
“Jangan, gak usah.” Nafa menolak halus. Dalam hati, “Bisa gawat kalau ketahuan Adam.”
---
Sesampainya di rumah…
“Akhirnya anak papa pulang setelah kelayapan dua hari.”
“Kangen papa,” Nafa memeluk Adam.
“Gimana acaranya?”
“Aman terkendali. Pa, aku mau pergi ke mall.”
“Baru pulang mau pergi lagi?”
“Ada janji nonton sama teman.”
“Mau papa antar?”
“Boleh banget! Oh iya Pa, besok aku udah resmi pindah kerja. Iriantie sekarang jadi bosku. Tapi besok aku ke perusahaan dulu ambil pesangon.”
“Traktir papa di Café Oasis Shade.”
“Iya Pa, dengan senang hati!”
---
Nafa mandi dan bersiap. Outfit: celana straight jeans dan blus renda warna peach, dipadukan dengan sneakers putih.
“Aduh, anak papa stylish banget. Boleh gak papa ikut nonton?”
“Udah tua, gak cocok nonton film anak muda,” canda Nafa.
“Yaudah, ayo papa antar.”
Sesampai di depan mall, semua mata tertuju ke motor modern classic milik Adam. Mereka terpesona oleh ketampanan dan wibawa Adam yang cocok dengan motornya.
“Sampai sini aja, Pa,” Nafa turun dari motor.
“Nafa, sini dulu. Rambut kamu berantakan.” Adam memperbaiki rambut putrinya.
“Ini buat kamu.” Ia memberikan lip cream.
“Ah, papa so sweet!” Nafa memeluk Adam.
“Oke, nanti kalau mau pulang, telepon. Papa jemput.”
“Iya!”
---
“Itu papa kamu?” tanya Christian.
“Iya. Kamu lihat?” Nafa panik.
“Iya, dari belakang tadi. Coba aku datang lebih awal, bisa nyapa dulu.”
“Nanti lain kali ya.”
“Papa kamu keren banget. Umurnya berapa?”
“Sekitar 44 tahun.”
“Wow. Nikah muda ya? Keren, keren…”
“Jadi, nonton horor?”
“Iya. Ini tiketnya.”
Mereka menonton film lalu makan di food court mall.
---