“Apakah sampai sekarang kamu belum bisa bertemu dengannya?” Dinda Widyasari, pembawa acara gosip terkenal di salah satu stasiun televisi mengajukan pertanyaan kepada Joana Dane yang menjadi bintang tamu malam itu. “Karena yang saya dengar, keluarga Randy melarang kamu masuk saat kunjungan terakhir kali. Mereka menganggapmu sebagai penyebab Randy kecelakaan dan akan membawa kasus ini ke jalur hukum, apakah itu benar?”
“Aku,” Joana menjawab, “bisa paham dengan perasaan mereka, dan wajar bila menganggapku di sini orang jahat. Namun, aku benar-benar ingin bertemu dengan Randy sekali lagi. Masih banyak hal yang ingin aku katakan padanya.
“Kakak pasti mengerti kan perasaanku?” Dia mendapat anggukan dari si pewawancara. “Kami sudah bersama hampir tiga tahun, sudah banyak banget hal yang kami lewati bersama. Kalau mantan-mantannya yang lain, yang sudah nggak komunikasi lama dengan Randy saja boleh ketemu, malah dicariin, lalu kenapa aku nggak boleh?” Joana mengusap air yang jatuh di ujung hidungnya dengan tisu. “Aku sayang banget sama Randy, Kak. Seburuk-buruknya Randy, aku nggak akan tega melihatnya menderita.
“Lalu, soal tuntutan hukum, atas dasar apa mereka mau melaporkan aku? Kak Dinda harus tahu, hukuman kayak bagaimanapun nggak akan bisa bikin aku bebas dari rasa bersalah. Karena yang benar-benar membuatku tersiksa adalah hukuman dari Tuhan dan netizen yang nggak berhenti mengolok-olok aku di media.”
Klik.
Maria mematikan sambungan, kemudian membanting remot televisi ke atas sofa dengan cukup keras, sampai-sampai membuat Karin yang sejak tadi berada di dapur terkejut. Akan tetapi, wanita cantik berambut cepak itu tidak menganggapi, dia memutuskan melanjutkan kegiatannya memasak sup.
Sudah bukan rahasia umum bila para selebriti akan melakukan apa saja demi mempertahankan namanya tetap di atas, termasuk dengan sensasi.
Namun, Karin tidak menduga bahwa Joana yang sejauh itu dia kenal sebagai gadis baik tega melakukan semua ini kepada Randy. Memang, Randy brengsek –Karin tidak bisa menyangkalnya –tapi Joana secara terang-terangan mengeksploitasi musibah yang menimpa Randy.
Gimmick yang dibuat Joana telah menarik simpati banyak orang, membuatnya semakin dipuja. Padahal, jangankan datang ke rumah sakit, ditawari saja dia tak mau –hanya karena dilarang membawa kamera.
Pintu depan rumah terbuka, menampilkan Dion yang baru saja kembali dari mengantar anak-anaknya ke sekolah. Dia agak terkejut karena menemukan Maria sudah ada di rumahnya. “Lo kok di sini? Tante Mardian lo tinggal sendirian di rumah?”
“Dia masih di rumah sakit,” jawab Maria lemas.
Sejak tiba di Jakarta Mardian menolak meninggalkan rumah sakit. Dia ingin terus berada di sisi tubuh putranya.
“Terus, kenapa lo ke sini? Bukannya menemaninya.”
Karin menyahut, “Maria minta aku buatin sup untuk Bu Mardian, Sayang. Katanya, beliau sedang nggak enak badan.”
“Kenapa nggak telepon saja biar gue antarin?”
“Pertanyaan lo seolah nggak senang lihat gue datang,” gerutu Maria. “Gue sini sekalian buat ketemu sama lo. Ada yang mau gue omongin.”
“Soal apa?”
Maria mengangkat punggungnya dari sandaran sofa, lalu memberikan isyarat supaya Dion ikut duduk bersamanya. “Lo ingat kan apa yang dibilang Raina di telepon kemarin?”
“Yang mana? Soal dia nggak bakal kembali ke Jakarta atau mengenai ‘tabung kehidupan’-nya Randy?”
“Dua-duanya.” Maria menghela napas panjang. “Waktu kita tinggal beberapa hari doang, Kak Dion.”
“Iya, gue juga tahu itu.”
“Kita nggak bisa diam saja, Kak.” Maria menggeser posisi duduknya, mendekati Dion.
“Masalahnya, kita bukan indigo.”
“Lo pikir gue nggak tahu?” Maria tampak sebal. “Jadi, sebenarnya, semalam Kak Milly baru saja dapat pesan dari Inara.”
Dion mencoba mengingat sosok yang dimaksud. “Inara selingkuhannya Randy waktu masih pacaran sama Milly?”
Maria menjentikkan jarinya di depan muka ayam dua anak itu. “Tepat.”
“Bukannya dia sudah bilang bakal ngasih maaf ke Randy dua minggu lalu? Kenapa? Dia minta kita ke rumahnya?”
“Bukan. Justru dia bawa kabar baik. Lo ingat Luna, nggak?”
“Luna? Luna?” Dio memiringkan kepalanya, mencoba menggali dari ingatannya. “Luna yang mana ini? Luna Isnaini kan sudah nikah. Dan dia juga sudah telepon kita minggu lalu kalau bakal maafin Randy.”
“Bukan yang itu.”
“Atau, Luna Bimantara?”
“Dia mah sudah janji bakal mampir kalau ke Jakarta.”
“Terus, yang mana?”
“Peserta The Next Singer season ke 3, Sayang.” Karin menyahut. “Yang pernah berada di asuhan Randy.” Dia mendekat, lalu meletakkan pisang goreng ke atas meja. “Makan dulu, mumpung hangat.”
“Lalu, apa hubungannya sama Inara?”
Maria memutar matanya sebal. “Mereka kan satu tim dulu.”
“Oh iya, iya. Gue lupa. Tapi bukannya dia nggak pernah ada apa-apa sama Randy? Setahu gue itu anak bukan tipenya si Randy.”
“Kan lo sendiri yang bilang, asalkan cewek semua bakal diembat sama Randy.” Maria berdecih. “Intinya …, Inara bilang, di Luna baru saja mengiriminya pesan setelah bertahun-tahun. Dan tahu apa yang dia tanyakan ke Inara?”
“Apa?”
Maria memandang serius pasangan di depannya. “Dia bilang, Inara harus ngabarin dia kalau Randy meninggal. Dia juga tahu kalau tentang keadaan Randy dan kontraknya dengan malaikat. Padahal, setahu gue yang tahu masalah ini hanya orang-orang yang kita temui secara langsung.
“Dan, Kak Milly nggak pernah menceritakan hal ini di email yang dia kirimkan ke mantan-mantan Randy yang lain.”
“Jadi, lo menduga kalau semua ini ada hubungannya dengan Luna?”
*_*
Raina sampai melompat saking tidak percayanya, sementara seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dia buru-buru berlari ke kamar ibunya untuk menunjukkan email yang baru diterimanya pada Rindu. “IBU! LIHAT, BU!”
Tentu saja Rindu kaget melihat sulungnya datang dengan tangis. Yang juga mengundang seluruh penghuni rumah –kecuali dua lansia jompo di kamar belakang –untuk datang.
“Ada apa, Nak?”
“Kak?”
“Kamu kenapa, Sayang?”
Raina menyodorkan ponselnya, yang langsung diterima oleh Rindu. “Apa ini, Rain? Nasya, ambilkan kacamata Ibu.”
Nasya menurut, dia berjalan ke ruang televisi dan mengambil benda itu dari sana dan membawanya pada Rindu. Hanya saja, karena penasaran, dia ikut membacanya. “Selamat pagi, Raina Siswoyo. Terima kasih telah mengisi formulir pendaftaran tahap awal audisi TNS. Video yang kamu unggah di kanal youtube pribadimu telah dilihat dan menarik minat dewan juri. Jika kamu bersedia datang ke Jakarta untuk mengikuti audisi tahap selanjutnya, silakan klik tautan di bawah ini.” Dia mendekap mulut, kaget. “KAKAK?”
“Sayang? Kamu jadi ikutan?”
Raina yang masih menangis mengangguk, dia hendak menghambur ke pelukan Leon saat tiba-tiba Randy muncul untuk mengacaukannya. “NGGAK ADA PELUK-PELUK! DASAR BOCAH! NOH, MELUK EMAK LO SAJA”
Tak mau merusak suasana, Raina langsung menurut. Dia menghambur pada ibu dan adik-adiknya.
Harus Raina akui, Randy memang musisi luar biasa. Hanya butuh waktu kurang dari enam jam untuknya membantu Raina menyelesaikan sebuah lagu –harusnya bisa lebih cepat kalau dia mengerjakannya sendiri.
“Semangat!” Entah berapa kali kalimat itu meluncur dari mulut Randy selama mereka begadang. “Percaya sama gue, darah seni mengalir di dalam tubuh lo. Gue bisa melihat potensi itu.”
“Sok tahu.”
“Lo nggak percaya? Gini-gini gue juga pernah merasakan hal yang sama kayak lo. Malah, di zaman gue dulu lebih susah.”
“Ih, tipikal orang tua zaman dulu, selalu merasa dirinya paling susah,” sindir Raina. “Sesusah-susahnya hidup lo, lebih susah hidup gue. Ran? Malah bengong!”
*_*
Mardian tidak menyangka bahwa kini dia bisa kembali menyentuh putranya, meskipun dia tidak pernah membayangkan kalau akan melihat Randy dalam kondisi terbaring di ranjang rumah sakit dengan perban dan berbagai alat medis di sana-sini.
Walau telah banyak kemajuan –tidak memakai alat bantu pernapasan –nyatanya Randy belum menunjukkan tanda-tanda akan membuka mata sampai sekarang.
Dengan penuh ketelatenan, Mardian merawat Randy. Dia ingat betul kenangan tiga puluh enam tahun yang lalu, saat bidan yang membantunya melahirkan memberikan bayi berwarna kemerahan itu ke pelukannya.
Nama Randy diberikan oleh Mardian dan Sandy agar putra mereka tumbuh sebagai sosok yang selalu dilimpahi kebahagiaan, menjadi sosok pemberani dan juga dicintai oleh orang lain.
Seolah dikabulkan oleh Tuhan, Randy tumbuh bukan hanya sebagai sosok yang dicintai tetapi juga diapresiasi oleh orang-orang. Terbukti dari banyaknya kiriman bunga dari para penggemar setianya yang tidak berhenti datang.
Benar. Randy mendapat banyak hujatan di media sosial, tetapi yang masih mencintainya pun tak kalah banyak. Sayangnya, Mardian sangat kecewa sebab di antara banyaknya cinta yang datang, Sandy selaku ayah kandung Randy justru sama sekali tidak tampak batang hidungnya.
“Sepenting apa bisnis itu bagi papamu, Sayang,” ujar Mardian. “Mama berjanji, apa pun yang menimpa kamu setelah ini, Mama tidak akan pernah meninggalkanmu lagi.” Dia mencium tangan dingin Randy dengan lembut.
Namun, belum sempat Mardian melepaskan genggamannya, terdengar suara ketukan dari pintu di belakangnya.
“Karina?”
Yang dimaksud tersenyum, lalu menyalaminya. “Bagaimana kondisi Randy, Bu?”
“Masih sama.”
Karin meletakkan tas berisi makanan yang dia bawa ke atas meja kecil di sudut lain kamar. “Saya buatkan makanan untuk Anda. Dimakan ya, Bu.”
“Terima kasih. Kamu baik sekali. Oh iya, Dion dan Maria tidak ikut?”
*_*
Sementara itu, di lokasi yang berbeda Dion menghentikan mobil yang dia kendarai di parkiran salah satu pusat perbelanjaan yang cukup beken. Di sebelahnya, Maria menatap awas ke sekeliling. Gadis itu mencoba memperhatikan satu per satu orang yang lewat guna menemukan sosok Inara.
Hal ini terpaksa merela lakukan sebab Inara menolak saat diajak bertemu sekalipun Milly telah membujuknya.
*_*
Akhirnya, Leon dan Raina bisa mencium kembali aroma kontrakan yang sudah mereka tinggalkan selama hampir satu minggu lamanya.
Leon meletakkan kardus berisi buah-buahan segar –yang sebenarnya sudah mereka tolak, tetapi Rindu memaksa supaya mereka membawanya –ke pojok ruangan, sementara Raina yang kelelahan langsung merebahkan dirinya ke atas karpet di depan televisi.
“Kamu mau makan malam apa, Sayang?” Leon membuka pintu kulkas, menilik tumpukan mi instan di pojokan, yang tanpa menunggu jawaban dari sang kekasih langsung dia lanjutkan, “rasa rendang saja ya?”
Raina mengangguk tanpa suara.
“Kenapa nggak naik kereta atau pesawat saja sih? Atau minimal kalau mau naik bus yang bagusan sedikit, apa? Memang kamu nggak takut? Aku lihat bentukan bus tadi saja sudah nggak meyakinkan banget. Harusnya dibuang itu bus. Nggak layak dikendarai, apalagi harus ngangkut banyak penumpang. Sudah begitu sopirnya ugal-ugalan pula. Keajaiban kita bisa sampai dengan selamat,” oceh Randy.
“Bisa diam, nggak?” tanya Raina, yang justru mendapat reaksi kaget dari Leon. “Eh, bukan kamu, Sayang. Aku lagi ngomong sama Randy.”
“Oh. Oke!” Leon kembali mengalihkan pandangannya ke panci berisi air yang dia masak di atas kompor.
Sebagai orang yang tidak percaya mistis, Leon sangat mencemaskan kondisi Raina. Percaya tidak percaya, dia khawatir kalau-kalau dugaan Rindu benar, bahwa gadis itu mengalami gangguan jiwa. Yang sayangnya, didukung oleh Dion dan Maria yang masih tidak terima sahabatnya koma.
“Ibu titip Raina ya, Yon!” Itulah yang dikatakan oleh Rindu padanya kemarin. Rindu bahkan menggenggam tangan Leon kuat, penuh harap. “Kalau sampai terjadi sesuatu pada Raina, tolong kabari Ibu.”
“Bu Rindu nggak usah khawatir, Raina adalah tanggung jawab saya.”
“Ibu percaya padamu, Yon. Kamu anak baik.”
Namun, kalau pun Randy memang nyata, Leon ingin sekali berterima kasih padanya sebab telah membuat Raina kembali hidup, dan mengejar Impian yang selama bertahun-tahun ini dia kubur. Padahal, selama ini Leon selalu mencoba membujuknya, sayangnya, dia kalah dengan roh bernama Randy itu.
“Kalau menurutku, bisa saja Kak Raina nge-fans sama Randy!” ujar Nasya padanya, saat gadis itu membantu Leon memandikan nenek dan kakek. “Makanya dia halusinasi.”
“Jadi, menurutmu begitu?”
“Memang ada kemungkinan yang lebih masuk akal daripada ini?”
“SAYANG?” Suara Raina seketika membuyarkan lamunan Leon. “Airnya meluap!”
Leon yang kaget menoleh ke arah yang dimaksud, menemukan air rebusan mi dan telur di dalam panci meluap, membentuk busa-busa dan nyala api pada kompor. Buru-buru dia menyambar baju bekas di atas meja, untuk menghalau panas dari panci yang langsung dia angkat dan tiriskan di wastafel.
“Kamu lagi mikirin apa sih?”
“Nggak kok, Sayang. Aku nggak mikirin apa-apa,” kilah Leon. “Oh iya, besok pagi kamu audisi yang berapa?”
“Sekitar jam sepuluhlah.”
“Aku antar ya?”
“Kamu nggak kerja?” Raina mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping. “Jangan banyak libur lah, Sayang. Nggak enak sama kakak kamu. Jangan mentang-mentang kamu adiknya bisa seenaknya begitu.”
“Benar itu, gue setuju,” sahut Randy. “Mending lo minta antar Maria saja, Rain. Sekalian lo pinjam baju ke dia.”
“Ngapin?”
Randy menghela napas panjang. “Memang lo punya baju buat dipakai besok?”
“Ada kok baju di lemari.”
“Baju apa? Lo mau audisi pakai kaos-kaos jelek itu?” tegas Randy. “Lo itu mau audisi di TV.”
“Audisi nyanyi, bukan modeling.”
“Lo lupa kalau bukan cuma suara, penampilan juga penting bagi calon bintang?”