“Ibu yakin sudah nggak apa-apa?”
Meskipun dokter telah menyatakan kondisi Rindu sangat baik dan diperbolehkan pulang, namun Raina tidak berhenti menanyai ibunya dengan pertanyaan yang sama sejak pagi. Yang selalu dijawab oleh Rindu menggunakan anggukan tegas, lengkap beserta senyuman hangat yang menenangkan. “Memang mau berapa lama di rumah sakit? Ibu kangen rumah, Rain. Kangen ketemu nenek dan kakekmu. Kangen teman-teman. Kangen –”
“Ingat, Ibu belum boleh kerja lho ya!” Raina mewanti-wanti, sebab dia hafal sikap perempuan yang telah melahirkannya itu. “Nggak boleh ngapa-ngapain dulu. Istirahat. Rumah apa kata Raina. Paham?”
“Iya, Mbak Raina!” Tangan Rindu mengusap rambut keriting anaknya lembut. “Terus, kamu rencananya libur berapa hari? Kapan balik ke kerja?”
“Ini saja kita masih di rumah sakit Ibu sudah bahas begituan.” Raina berdecih sebal. “Yang penting sekarang Ibu sehat dulu. Nanti Raina bisa balik kapan-kapan. Memangnya Ibu nggak senang ada Raina di sini?”
“Bukan begitu, Nduk. Masalahnya, kamu kan ada kerjaan. Cuti terlalu lama kan nggak bagus juga, bisa dimarai Bos nanti kamu.”
Raina meletakkan tas yang baru saja dia isi dengan pakaian ke atas meja, lalu duduk di pinggiran ranjang sang ibu. “Bu, sebenarnya Raina berencana buat nggak balik lagi.”
“HEH?” Kening Rindu mengerut, tidak percaya.
Raina meremas kedua tangannya kuat-kuat, lalu menarik napas panjang. “Aku mau cari kerja di dekat-dekat sini saja. Biarlah walau gajinya kecil, yang penting aku dekat sama Ibu.”
“Jangan mikir begitu dong, Nak. Ibu nggak mau jadi beban kamu.”
“Ibu bukan beban,” sangkal Raina. “Justru aku takut Ibu kenapa-kenapa. Kita nggak tahu lho apa yang bakal dilakuin Bapak setelah ini. Pekerjaan di rumah juga banyak banget, Ibu pasti kalau ngerjain semuanya sendiri.”
“Anakku Raina, dengarin Ibu!” Rindu menengkup wajah putrinya, menatap matanya lekat-lekat. “Ibu nggak apa-apa. Ibu bisa. Toh, ada adik-adikmu yang jagain Ibu.
“Dan untuk Bapak, dia nggak akan bisa ngapa-ngapain Ibu. Bapakmu kan di penjara. Iya, kan?”
“Tetap saja, Bu. Kalau nanti dia bebas? Kita nggak ada yang tahu isi kepala Bapak.”
Rindu mengelus pipi kemerahan Raina dengan ibu jarinya. “Kamu nggak usah khawatir karena mulai sekarang Bapak nggak akan bisa nyakitin kita. Ibu sudah memutuskan untuk menggugat cerai bapakmu.”
“APA?” Mata Raina terbelalak, kaget. “Ibu serius?”
Dengan berat, Rindu mengangguk. “Maafkan Ibu ya, Sayang,” lengkap dengan air mata yang menetes, melewati pipinya yang dipenuhi garis kehidupan.
Bohong kalau selama dua puluh tahun bersama Rindu tidak pernah mencintai suaminya. Bagaimanapun juga mereka pernah merasakan pahit dan manisnya asam garam kehidupan, meskipun asam itu lebih banyak ditelan sendiri oleh Rindu. Namun, dia sadar betul bila semua yang menimpa keluarganya tidak sepenuhnya pantas ditanggung seorang diri oleh Siswoyo.
Rindulah yang membuat suaminya seperti itu. Andaikan dia punya cukup keberanian untuk jujur sedari awal, mungkin Siswoyo tidak akan terlalu terluka. Itu jugalah yang membuat Rindu bertahan, sebesar apa pun badai yang datang, Rindu berpikir suatu saat akan membaik. Toh, anak-anaknya masih terlalu belia. Apa jadinya bila mereka tidak punya ayah?
Hanya saja, melihat apa yang dilakukan Siswoyo padanya, bukan tak mungkin pria itu akan tega melakukan hal yang sama pada anak-anak mereka. Rindu tidak mau terlambat. Apakah dia harus menunggu Rindu, Nasya, Andi dan Julian yang terluka baru berhenti? Rindu sudah lelah. Dia tidak mau berjudi dengan kehidupan.
“Ibu tahu ini nggak akan mudah tapi Ibu janji nggak akan membiarkan bapak kalian menyakiti keluarga kita lagi.”
Raina merasakan kedua matanya menghangat, kemudian balik menyentuh pipi ibunya. “Ibu nggak perlu minta maaf. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku bantuin Ibu untuk ngerawat adik-adik. Aku janji. Ya? Ibu nggak sendiri kok, ada Raina di sini.”
“Oh anakku!” Rindu menarik tubuh Raina dalam pelukannya.
Sementara di balik kelambu tipis rumah sakit berwarna biru yang memisahkannya dengan kedua wanita itu, Randy hanya bisa terdiam. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Walau sebetulnya dia pun lega karena Rindu akan melepaskan Siswoyo yang berengsek, akan tetapi dia paham betul kalau situasi ini tidak mudah diterima oleh keluarga kecil mereka.
Ingin rasanya Randy turut menghambur, memeluk dan menenangkan Raina. Namun, apa daya? Selain tidak bisa, Randy juga tidak siap.
Kedua tangan Randy mengepal, sementara kedua rahangnya tertutup rapat, kontras dengan air mata yang luruh membasahi wajahnya. Beruntung, dia tidak terlihat hingga orang-orang di ruang perawatan penuh pasien tak bisa melihatnya. Dia bebas menangis.
_*_
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?”
Dokter ber-tag nama Yudistira itu dengan berat menjawab, “kondisi halusinasi yang dialami putri Anda semakin parah.”
“Apakah ini bisa memicu percobaan bunuh diri lagi,” kata wanita itu, “seperti yang dulu?” lanjutnya ragu-ragu.
“Itulah kenapa kita akan meningkatkan pengawasan. Namun, yang tak kalah harus kita cemaskan adalah kondisi kesehatan fisiknya. Dia sudah menolak makan selama berhari-hari.”
*_*
Mobil sewaan yang ditumpangi Raina dan ibunya sampai halaman, yang mana di sana sudah ada banyak tetangga menunggu kedatangan mereka.
Sebagai kasus yang menghebohkan, tentu langsung membuat Rindu dan keluarganya menjadi pusat perhatian di desa kecil tersebut. Malah, ada beberapa kenalan dari desa lain yang turut berkunjung, membuat rumah mungil mereka penuh orang.
Julian yang pada dasarnya belum begitu paham tampak sangat bahagia, berbeda dengan kakak-kakaknya. Bocah itu berlarian, bermain dengan anak-anak tetangga dan menikmati kue-kue yang mereka bawa sebagai buah tangan dengan riang sebab tidak setiap hari dia bisa makan-makanan enak.
“Kak, nanti kita beli lagi kayak gini ya?” ujar Julian sambil menunjukkan kue bolu pandan ke muka Raina.
Sang kakak yang saat itu sibuk membuat minuman hanya mengangguk sekadarnya, lalu berlalu menemui para tamu di teras. “Silakan diminum.”
“Repot-repot banget, Rain!” Seorang gadis muda dengan bayi di gendongannya tertawa, lalu meraih salah satu gelas dan menyeruputnya.
Yang lain menyusul, hingga kemudian menyisakan nampan kosong saja.
“Oh iya, kami dengar kerjamu enak sekarang?”
“Kerja di rumah sakit kamu ya, Rain?”
“Jadi, apa? Dokter? Perawat?”
“Kok bisa kamu kerja di sana? Ajak-ajaklah itu Desi, anakku, kerja di sana.”
Raina hanya tersenyum formal. “Nanti kalau ada lowongan saya kabarin.”
“Terus, kapan kamu menikah? Kasihan itu si Leon kalau terlalu lama menunggu.” Ibu bertubuh gempal menunjuk Leon yang berdiri tak jauh dari posisi mereka.
“NIKAH?” Randy yang tiba-tiba muncul dari balik dinding membuat Raina kaget. “RAINA MASIH MUDA YA! GILA SAJA LO MAU NYURUH DIA NIKAH!” Dia mengomel.
Namun, tahu apa yang dilakukan Randy sia-sia, Raina yang tak mau bersikap berlebihan langsung pamit kembali ke dapur.
“Pokoknya lo nggak boleh nikah dulu!” Randy terus mencerocos, mengekori langkah Raina. “Lo saja masih bocil, sudah mau kawin? Mau jadi apa lo? Mau lo kasih makan apa anak lo?”
Raina meletakkan nampan ke atas meja, melirik Randy dengan alis terangkat sebelah. “Lo kenapa sih? Yang mau nikah sekarang siapa? Gue memang mau nikah, tapi nggak sekarang. Gue juga sadar diri, masih miskin. Makanya, lo cepat bangun. Biar gue punya duit.”
“Maksudnya?”
“Gaji.” Raina menekan ucapannya. “Lo nggak lupa janji lo, kan? Awas saja kalau sampai gue nggak dibayar. Gue cekek lo.” Menyadari kalau ucapannya membuat muka Randy panik, Raina tertawa, namun ketika matanya tertuju ke pintu penghubung dapur dan ruang tamu, Raina terkejut karena Nasya telah berdiri di sana, menatapnya dengan muka cemas.
“Kakak nggak apa-apa, kan?”
*_*
“Kamu yakin?”
Nasya kembali mengangguk, penuh keyakinan. “Mana berani sih aku ngomong ke Ibu kalau nggak yakin? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Bu.” Dia menunjuk netranya dengan jari tangan dan telunjuk, seolah-olah hendak menoloknya. “Jujur, aku khawatir banget sama Kak Raina. Ini bukan sekali dua kali lho, Bu.”
Rindu tahu betul watak anak-anaknya, tetapi mendengar penuturan Nasya tentang sang kakak yang sering bicara sendiri, jelas perkara berbeda.
Memang, sejak masih kecil putri sulungnya Rindu itu punya imajinasi tinggi, namun berdasarkan cerita Nasya, tampaknya apa yang dialami sang kakak kali itu sudah sangat mengkhawatirkan.
Mata lelah Rindu tertuju pada kedua anak lelakinya yang kini tertidur lelap di sisi lain ranjang sebelum akhirnya kembali menatap Nasya. “Harusnya kemarin Ibu tidak usah memberitahu kakakmu soal Bapak.”
“Yang lebih salah di sini aku, Bu,” sesal Nasya. “Karena aku yang telepon Kak Raina.”
“Yang salah di sini, Ibu dan Bapak.” Rindu mengusap rambut lurus Nasya lembut. “Harusnya Ibu menceraikan Bapak kalian dari dulu. Kalian korban dari keegoisan Ibu, yang berpikir kalau Mas Sis akan berubah.
“Sekarang Ibu minta tolong ke kamu, bujuk kakakmu balik ke Jakarta. Jangan biarkan dia berlama-lama di sini. Biar di sini jadi tanggung jawab Ibu. Kamu mau kan bantu Ibu?”
“Iya, Bu. Aku juga tahu gimana Kak Raina bekerja keras selama ini. Ibu nggak usah khawatir, begitu lulus aku bakal bantuin Ibu besarin adik-adik.”
Rindu menggeleng. “Andi dan Julian tanggung jawab, Ibu. Tugas kamu belajar. Kan kamu katanya mau kuliah, ya?”
“Nggak jadi, Bu. Ngelihat kondisi Kak Raina, aku jadi nggak tega kalau harus minta bayarin kuliah. Memang sih ada beasiswa tapi kata teman-teman, buat hidup kadang kala masih kurang. Kerjaan Ibu juga cuma kayak begini. Adik-adik, para nenek dan kakek, belum buat makan.
“Kak Raina yang sudah jelas-jelas lolos beasiswa saja harus lepasin impiannya, masa aku tega?”
Bibir Rindu dipaksa naik, tersenyum getir. Jika ditanya siapa manusia paling berdosa atas gagalnya masa depan anak-anaknya, Rindu sudah pasti maju terdepan. Bukan karena takt ahu malu, justru karena dia tak punya tempat lagi untuk bersembunyi.
Sementara itu di luar rumah, Raina tengah duduk sendirian di bawah rembulan, meski sebenarnya tidak benar-benar sendirian sebab seperti biasa Randy ada di sebelahnya.
“Mau?”
Randy terkejut saat Raina tiba-tiba saja menyodorkan jagung rebus di dalam wadah berbahan anyaman bambu itu padanya. “Hah?”
“Mau, nggak?” Mulut Raina yang penuh jagung membuat suara yang terdengar tidak jelas. “Enak. Manis.”
Randy menyipitkan mata, heran. “Bukannya dulu kamu pernah bilang kalau nggak mau ngasih sesajen ke setan?”
“Memang lo setan?” Raina terkekeh. “Jadi, ceritanya sudah mengakui kalau diri lo sekarang jadi setan?”
“Kurang ajar. Untung anak gue –”
“Apa?” sela Raina. “Lo ngomong apa barusan?”
Randy terdiam, sadar bahwa dirinya baru saja kelepasan. “Apa? Aku nggak ngomong apa-apa. Kamu salah dengar kali.”
“Iya kali ya.” Raina kembali menggigit jagung yang ada di tangannya, nikmat. “Gue kasihan saja sama lo. Berminggu-minggu nggak makan, memang nggak lapar?”
Randy menyentuh perutnya. “Nggak. Lagian badan asliku tetap makan.”
“Makan apa? Lo bukannya koma?”
“Kan ada infus, Raina.”
Raina kembali tertawa. “Iya juga. Omong-omong, ini sudah tiga minggu. Poin yang lo kumpulkan juga sudah banyak.”
“Puji Tuhan.”
“Gimana kalau selanjutnya lo,” gadis itu menjeda kalimatnya, “Kak Dion dan Kak Maria pasti bisa bantuin lo. Tinggal sedikit juga, kan?”
“Tunggu! Ini maksudnya lo mau berhenti?”
Raina menatap langit. “Soal bayaran lo lupain saja nggak apa-apa.”
Meski sudah tahu, tetapi entah bagaimana kabar ini begitu menyesakkan bagi Randy. “Kok lo bergitu sih, Rain. Justru karena tinggal sedikit, harusnya lo lebih semangat. Lagian kerjaan --?”
“Justru itu, sebenarnya gue dipecat.”
“HAH? KOK BISA?”
Raina menghela napas panjang. “Lebih tepatnya gue nggak diterima sebagai karyawan tetap. Karena harusnya di masa percobaan ini, calon karyawan nggak boleh izin, apalagi sampai berhari-hari.”
“Bukannya Dion sudah ngurus semuanya?”
“Cuti yang dimaksud Kak Dion hanya dua hari, ingat?”
Randy memijit kening, lalu dengan putus asa mengusap wajah. “Ya ampun, Raina, kenapa nggak cerita?”
“Memangnya kalau gue cerita, lo bisa bantu?”
Pertanyaan ini wajar, sebenarnya, tapi entah bagaimana terasa begitu menyakitkan bagi Randy. Seolah Raina baru saja berkata, memangnya selama ini sebagai seorang ayah apa yang sudah kamu lakukan untukku?
“Nggak apa-apa kok, Ran. Ini kan jadi lama juga bukan gara-gara lo.” Raina meletakkan bonggol jagung yang isinya sudah habis itu wadah lain yang memang telah disediakan.
“Terus lo mau kerja apa di sini?”
“Apa saja. Mungkin di kebun. Apa lagi?”
“Kebun siapa?”
“Ya kebun oranglah. Keluarga kan nggak punya kebun.”
“Maksud lo, jadi buruh tani?”
“Memangnya salah?”
Randy menggertakkan kedua rahangnya kuat-kuat. “Rain, lo harus balik ke Jakarta.”
“Buat?”
“Nanti lo bisa kerja ikut gue.”
“Jadi apa? Gue nggak mau diterima kerja hanya karena rasa kasihan.”
Kalau saja Raina bukan anaknya, Randy pasti akan memakinya dengan kalimat sudah miskin, gengsian. Namun, tentu sebagai orang tua –yang punya banyak dosa –Randy tidak sampai hati meluncurkan kalimat itu padanya. “Atau gini, lo mau jadi apa? Penyanyi?”
“Kan gue sudah bilang kalau –”
“Gue ajarin!” potong Randy. “Ini tanggal berapa? 12 kan ya? Masih ada sehari lagi sebelum babak audisi TNS ditutup. Sekarang juga lo bikin video, dan unggah di youtube. Kalau lo lolos dan masuk babak selanjutnya, lo harus balik ke Jakarta.”
“Nggak bisa begitu dong. Gue nggak ada persiapan apa-apa. Bahkan lagunya saja belum ada. Sementara buat buat ikut TNS kita harus nunjukin lagu yang –”
“Gue bikinin, maksud gue …, gue bantuin.”