Loading...
Logo TinLit
Read Story - 40 Hari Terakhir
MENU
About Us  

Mardian muda berjalan menuruni anak tangga dan melihat meja makan di bawah sudah terisi.

“Ibu sudah bangun?” Pariyem yang sedang mengelap piring menyapa, basa-basi.

Mardian mengangguk kecil. “Kan saya sudah bilang, kamu tidak perlu memasak makanan yang tidak perlu,” ujarnya saat melihat sepotong roti isi daging di tengah meja. “Kamu pasti lelah karena harus mengurus rumah sebesar ini sendirian. Maafkan saya ya, Yem.”

Sejak bercerai, kondisi ekonomi Mardian merosot drastis. Dia bukan hanya kehilangan anak dan suaminya, melainkan juga semangat hidupnya. Itulah mengapa, dengan sangat terpaksa dia harus mengurangi jumlah pegawai, termasuk para pengurus rumah dan tukang kebun.

Namun, sebagai pembantu yang sudah lama ikut dengan keluarga ini, bahkan sejak orang tua Mardian masih ada, Pariyem secara suka rela bertahan, menerima berapa pun upah yang wanita itu bayarkan setiap bulannya. Pun dia tidak tega jika harus membiarkan Mardian sendirian.

“Ibu tidak punya salah apa-apa. Ibu orang baik. Justru saya yang harus berterima kasih karena selama bekerja di sini selalu diperlakukan dengan baik. Kalau bukan karena Ibu, anak saya tidak mungkin bisa bersekolah sampai sarjana.” Pariyem menarik salah satu dari deretan kursi berbahan kayu jati tersebut seraya berkata, “Silakan, Bu. Mumpung makanannya masih hangat semua.”

Mardian menurut, mengambil beberapa sendok nasi goreng ke dalam piringnya, lengkap dengan ayam goreng dan sambal. “Kamu juga ikut makan ya, Yem.”

Wanita tua berbadan agak bungkuk itu mengangguk. “Oh iya, sebentar. Saya hampir lupa. Tadi pagi ada Pak Pos datang mengantar surat.”

“Surat? Surat apa?”

Pariyem tidak menjawab, dia justru berlari kecil ke ruang tamu untuk mengambilkan amplop putih yang dimaksud. “Dari Mas Randy.” Sayangnya, alih-alih disambut, Mardian justru menoleh memandang benda tersebut. “Baiklah. Saya akan menaruhnya di laci saja. Kalau Ibu nanti mau baca, silakan ambil sendiri ya. Kita makan dulu.”

Sebagai orang terdekat Mardian, Pariyem tahu persis bahwa majikannya tidak pernah benar-benar membenci Randy. Meskipun hampir selalu memasang wajar cuek, akan tetapi surat dari Randy adalah satu-satunya hal yang paling Mardian tunggu setiap bulannya.

Walau tak pernah membalas, tetapi Mardian selalu membacanya berulang-ulang serta menyimpan semua tulisan tangan anaknya di dalam kotak kayu yang dia letakkan di dalam kamar. Kadang kala, bila surat tidak datang, dan sudah kadung rindu, Mardian akan tidur di kamar Randy, merasakan aroma tubuh anaknya yang tertinggal di sana.

Namun, seperti kebanyakan hal di dunia, Randy pun akhirnya bosan. Dia berhenti berkabar setelah lulus sekolah menengah. Lalu, tahu-tahu muncul di televisi sebagai peserta kompetisi menyanyi.

Mardian mengikuti dan mendukung anaknya, baik lewat doa maupun vote yang dikirim melalui SMS. Yang sayangnya, dia harus menelan pil pahit saat kemenangan diraih oleh sang putra, ialah malam terakhir di mana keluarga para finalis di datangkan ke panggung. Orang yang mendapat sambutan dan ucapan terima kasih, dan dengan lantang disebut sebagai ibu oleh Randy bukanlah Mardian, melainkan Asri, perempuan yang sudah menghancurkan pernikahan Mardian dengan  Sandy.

Sejak saat itu pulalah Mardian menutup diri. Dia meninggalkan semua kenangan tentang anaknya. Dia bahkan berpikir Randy mungkin sudah melupakannya. Itulah kenapa, saat dia kedatangan tamu yang mengaku sebagai kawan-kawan Randy hatinya bungah. Sayangnya, yang mereka bawa bukanlah kabar gembira melainkan sebuah berita duka.

“Raina, katakan apa pesan Randy untuk Ibu.” Sekali lagi Mardian mendesak.

Raina tidak langsung menjawab, melainkan menoleh kepada teman-temannya terlebih dahulu. “Anu ….”

“Katakan saja, Nak. Ibu tidak apa-apa.”

Raina kembali berjongkok, menengkup tangan Mardian. “Randy sayang banget sama Ibu dan dia ingin minta maaf atas semua yang sudah terjadi selama ini. Dia sebenarnya sudah lama pingin pulang dan jemput Ibu buat tinggal bareng, tapi sayangnya, belum kesampaian.

“Dia bahkan sudah mau nikah, tapi seperti yang ada di media, cintanya ditolak oleh Joana. Dia kecelakaan sebelum sempat ke sini.”

“Astaga!” Menarik tangan kanannya untuk menutupi mulut. “Ya Tuhan.”

“Ibu mau kan maafin, Randy?”

Mardian mengangguk perih. “Tentu. Ibu akan selalu memaafkan dia. Ibu sudah memaafkan dia tanpa perlu diminta. Tolong bawa ke Jakarta. Ibu mau ketemu anak ibu.”

*_*

Dikarenakan sudah terlalu larut dan tidak memungkinkan, pasangan itu pun memutuskan menginap di kediaman Mardian. Seperti sebelumnya, Raina menempati ruangan di atas sedangkan Leon kebagian tidur dengan Dion di bawah. Tadinya, Raina hendak sekamar dengan Maria, tetapi seperti sebelumnya, Maria menolak.

“Gue nggak bisa tidur sama orang lain, maaf ya, Rain.”

“Iya, nggak apa-apa kok, Kak.”

Pun, kamar yang ditempati Dion punya ranjang besar. Cukup untuk tidur dua orang. Kalau mau ditukar, kasur di kamar masa kecil Randy tak bakal muat menampung dua pria dewasa itu.

Baru saja tubuh Raina berbaring, matanya langsung tertuju pada pemandangan tidak biasa di balkon. Ada bayangan seseorang di sana, duduk membelakangi jendela.

“Ran?” Raina memanggil, menghampiri. “Sejak kapan lo di sini?” lanjutnya sembari membuka pintu balkon yang terbuat dari kayu dan agak macet.

Yang dimaksud tidak menoleh, dan justru kelihatan menyeka air mata di wajahnya. “Kok belum tidur, Rain? Ini sudah malam lho. Dari kemarin lo juga nggak tidur, kan? Tidur sana.”

Raina menghela napas panjang, geleng-geleng sebentar, lalu duduk di samping Randy. “Sorry ya, Ran, tapi tindakan lo marah-marah kayak tadi …,” dia menjeda kalimatnya. “Masalah keluarga kalian memang bukan urusan gue, tapi bisa nggak sih jangan marah-marah? Oke, nyokap lo memang nggak bisa dengar, hanya saja tujuan utama kita ke sini buat minta maaf.

“Oh iya, berhubung tadi lo sudah dimaafkan. Tabungnya nambah, nggak?”

Randy langsung merogoh saku celananya, menunjukkan nilai yang tertera di sana, 60 persen. Peningakatan luar biasa.

“Tuh kan!” seru Raina.

Randy tersenyum getir. “Kamu ngomong apa ke Mama?”

“Bilang kalau lo nyesel dan minta maaf. Tapi gue agak bohong sedikit,” Raina nyengir. “Gue bilang kalau lo sebenarnya mau ngajak dia tinggal bareng. Nggak apa-apa, kan?”

Bibir Randy terangkat, namun air matanya jatuh. “Aku sebenarnya sayang banget ke nyokap tapi …, aku kecewa.”

“Randy.” Tangan Raina hendak menepuk bahu pria di sebelahnya, tetapi langsung dia urungkan sebab sadar akan berakhir sia-sia. “Sekali lagi, bukannya gue lancang …, nyokap lo pasti punya pertimbangan sendiri soal –”

“Nggak, Rain! Nggak!” Dia menoleh. “Gimanapun juga itu anak gue, Rain.” Randy terisak. “Gue bapaknya dan gue perlu tahu dia ada.”

“Ya sudah, karena sekarang lo sudah tahu, gimana kalau kita datangi saja orangnya? Maksud gue, mantan pacar dan anak lo,” usul Raina. “Kita sekalian minta maaf ke mereka. Kita jelaskan semuanya. Mereka pasti bisa ngertiin kondisi lo.”

“Nggak, Rain.”

Raina menghela napas panjang. “Ran, kita sudah sejauh ini lho.”

“Yang ini beda, Raina.”

“Apanya yang beda? Nggak ada yang nggak mungkin. Lo lupa, ada banyak banget mantan lo yang sudah lo tipu habis-habisan masih bisa maafin lo kemarin? Nggak ada yang nggak mungkin, Randy.

“Sudahlah. Kalau lo nggak berani, biar gue saja yang datangi sendiri orangnya. Lo kasih tahu siapa nama perempuan dan anak itu.”

Randy tetap kekeh menggeleng. “GUE BILANG NGGAK YA NGGAK, RAINA. LO PAHAM NGGAK SIH?”

Bentakan itu sontak membuat keduanya hening. Sebelum akhirnya Raina berdiri. “Nggak usah ngebentak dong. Terserah lo deh. Mau dibantu malah kayak begitu. Dikira gue kesenangan apa?”

“Rain!” Menyadari kesalahannya, Randy menyusul. “Aku nggak bermaksud –” Langkahnya terhenti saat melihat tubuh gadis itu sudah terbaring di ranjang dengan ditutupi selimut. “Maafin gue ya, Rain,” gumamnya pelan.

*_*

“Dia masih belum mau ngomong?” Pertanyaan Maria dijawab anggukan oleh Raina. “Pokoknya, gue titip Kak Randy sama lo ya, Rain. Dan kalau butuh apa-apa, nggak usah sungkan buat menghubungi gue atau Kak Dion.”

“Pasti, Kak.”

“Kami balik duluan ya, Rain,” pamit Dion sebelum masuk ke dalam mobil kuningnya yang mencolok mata. Di susul Maria yang duduk di sebelahnya. Sedangkan Mardian di jok belakang tak mau kalah, dia juga melambaikan tangan.

Raina dan Leon kompak membalas dengan senyuman lebar.

“Hati-hati di jalan, Kak.”

“Makasih.”

“Sampai ketemu lagi ya, Rain, Yon.”

Matahari belum begitu tinggi, itulah kenapa mobil Dion lekas menghilang ditelan kabut pagi.

Sebenarnya, tadinya Raina dan Leon hendak diantar langsung ke rumah sakit, mengingat masih searah dengan jalan utama, tetapi karena tidak memungkinkan, lagi pula nanti Raina juga masih harus pulang, biar tidak bolak-balik mereka pun langsung di antar ke rumah.

Raina punya tanggungan, dan beruntung Nasya yang dia kabari tidak keberatan. Toh, sekolah juga libur hari itu.

“Sayang, ayo masuk!” panggil Leon.

Raina menoleh, tersenyum pada sang kekasih, tetapi langsung memutar bola matanya malas saat tak sengaja berpapasan mata dengan Randy. Raina tersinggung soal kejadian semalam. Kalau bukan karena Dion dan Maria, sudah pasti dia akan mengusir Randy dari rumahnya.

“Kamu masak saja, biar aku yang mandiin Nenek dan Kakek.” Leon membuka pagar kayu di depan mereka dengan mudah. “Oh iya, Sayang, Mbah Kung di mana ya? Sudah berhari-hari nggak kelihatan.”

“Kayak nggak tahu saja, palingan dia lagi main judi.”

“Hah?”

“Nanti kalau duitnya habis pasti bakalan balik sendiri.” Raina sudah khatam macam apa sikap ayah dari ibunya tersebut. Pria yang bukan hanya kasar, tetapi juga hobi bertaruh uang. “Cocoklah sama menantunya.”

“Rain, kok kamu ngomong begitu? Nggak boleh ah.”

“Memang benar kan!” sahutan Randy sontak membuat Raina menoleh. “Siswoyo itu kriminal.”

Namun, alih-alih mendapat persetujuan, Raina justru mengarahkan tatapan tajam. “Bisa nggak jangan ikut campur urusan keluarga orang?”

“Rain?”

“Sebrengsek-brengseknya itu orang tetap saja bokap gue.” Ucapan Raina tegas dan penuh penekanan. “Yang boleh ngomong jelek tentang orang tua gue, ya cuma. Lo diam saja.” Lalu, berjalan masuk ke rumah, disusul Leon.

“Sayang, orang itu ngomong apa barusan?”

“Bukan apa-apa. Nggak penting.”

*_*

Perempuan paruh baya berambut panjang kembali datang ke rumah sakit, kali itu lengkap dengan rantang kecil di tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang tas mungil dari brand ternama. Dia masuk ke salah satu ruangan, tempat di mana putrinya tengah dirawat dengan seorang perawat yang dengan telaten menjaga.

“Selamat pagi, Sayang. Kamu sudah bangun?”

Tidak bereaksi, wanita muda yang sebetulnya jelita itu hanya terdiam, menatap ke luar jendela kamar  berkedip.

“Bagaimana? Semalam dia tidur tenang?”

Si perawat menjawab, “Awalnya semua berjalan baik, hanya saja, setelah tengah malam Mbak Luna tiba-tiba menangis histeris sampai dokter harus memberinya obat penenang.”

*_*

Randy tidak pernah menyangka bahwa diabaikan oleh Raina –setelah mengetahui bahwa gadis itu adalah darah dagingnya –terasa sangat berbeda ketimbang sebelumnya. Seperti ada anak panah yang sengaja ditancapkan ke dadanya, kemudian lukanya ditaburi butiran garam.

“Rain, aku minta maaf ya?” ucap Randy tulus kepada Raina yang sedang merebus sayur-sayuran di atas kompor penuh karat di atas meja dapur. “Aku nggak bermaksud bikin kamu tersinggung. Aku janji deh, nggak bakal komentar aneh-aneh lagi.”

Raina menghela napas pandek, kemudian memotong-motong bawang dengan keras, seolah menjadi penegas kalau Randy harus diam.

Namun, bukan Randy namanya kalau tidak ngeyel. Pria itu malah berjalan-jalan di ruang tengah sambil menatap foto-foto yang tergantung di dinding. Foto yang entah bagaimana kini ingin dia perhatikan lebih saksama, terlebih saat dia menyadari bahwa banyak dari gambar di sana merupakan potret Raina kecil bersama adik-adiknya.

“Ini kamu, Rain?” Dia menunjuk foto bayi mungil dibungkus selimut merah terang, yang digeletakkan di atas kasur.

Raina menoleh sebentar. “Bukan.”

“Siapa dong?”

“Andi,” jawabnya ketus.

Randy mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terus, lo yang mana?”

“Pojok kanan atas.”

Randy mengikuti arahan yang dimaksud, dan menemukan sebuah foto yang memang lebih usang, yang beberapa sudutnya tampak ditumbuhi jamur. Maklum saja, kebanyakan foto itu dipajang di dinding tanpa figura. Hanya ditempel begitu saja.

Meski tahu akan sia-sia, Randy mencoba meraih foto itu dengan tangannya.

Bayi Raina yang mungil memiliki pipi kemerahan. Dia dibungkus kain jarik warna cokelat tua dengan topi berwarna pelangi dengan bola-bola bulu di bagian ujung.

Seketika ada penyesalan luar biasa di dalam diri Randy. Terlebih saat membandingkannya dengan Raina yang sekarang. Bayi kecilnya telah tumbuh dewasa. Ada begitu banyak waktu yang terbuang sia-sia. Randy telah melewatkan begitu banyak cerita. Andaikan dia bisa bertemu Raina saat gadis itu masih kecil.

Tanpa sadar, air mata Randy luruh.

Isakan itu pun terdengar oleh Raina. Buru-buru dia melongokkan kepalanya dari pintu ke ruang tengah. “Lo nangis?”

Randy memalingkan muka. “Nggak.”

“Ya elah, Ran, iya keluarga gue miskin tapi nggak semelas itu kok sampai perlu dikasihani.” Bukannya marah, Raina justu mengelap tangannya ke celemek usang yang dia kenakan, lalu menghampiri Randy. “Orang bilang, gue nggak mirip Bokap atau Nyokap.” Dia tertawa. “Lihat deh, ini foto gue waktu TK.” Dia menunjuk potret gadis kecil yang sedang memegang piala dengan Rindu di sebelahnya. “Kadang gue juga kesal sama Nyokap, terutama kalau ingat dia nikah sama bokap gue. Namun, lo harus tahu, Ran, seburuk apa pun hubungan kita sama orang tua, mereka pasti selalu mengusahakan yang terbaik. Bahkan bokap gue sekalipun,” dia terkekeh, “jika diingat-ingat, sebetulnya Bokap baik juga kok. Dulu dia sering nganterin gue dan Nasya sekolah. Tapi sejak usahanya bangkrut, Bapak depresi. Ya, bukannya cari pertolongan, dia malah mabuk dan main judi. Akibatnya? Kayak yang lo lihat sekarang.”

Randy menggigit ujung bibirnya kuat-kuat.

“Kalau gue boleh ngasih saran, mending lo ngobrol deh sama nyokap lo. Selesaikan masalah kalian. Mumpung masih ada waktu.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Asa
4658      1387     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...
Dolphins
617      396     0     
Romance
Tentang empat manusia yang bersembunyi di balik kata persahabatan. Mereka, seperti aku yang suka kamu. Kamu yang suka dia. Dia suka sama itu. Itu suka sama aku. Mereka ... Rega Nicholando yang teramat mencintai sahabatnya, Ida Berliana. Namun, Ida justru menanti cinta Kaisal Lucero. Padahal, sudah sangat jelas bahwa Kaisal mengharapkan Nadyla Fionica untuk berbalik dan membalas cintanya. Sayan...
Di Paksa Nikah
793      425     0     
Romance
Jafis. Sang Putra Mahkota royal family Leonando. Paras tampan nan rupawan. Pebisnis muda terkemuka. Incaran emak-emak sosialita untuk menjadi menantunya. Hingga jutaan kaum hawa mendambakannya untuk menjadi pendamping hidup. Mereka akan menggoda saat ada kesempatan. Sayangnya. Sang putra mahkota berdarah dingin. Mulut bak belati. Setiap ada keinginan harus segera dituruti. Tak bisa tunggu at...
Fidelia
2072      893     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Dear Kamu
3714      1211     6     
Inspirational
Kamu adalah pengganggu. Turbulensi dalam ketenangan. Pembuat onar dalam kedamaian. Meski begitu, kamu adalah yang paling dirindukan. Dan saat kamu pergi, kamulah yang akhirnya yang paling aku kenang. Dear kamu, siapapun kamu. Terimalah teriakanku ini. Aku kangen, tahu!
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1038      658     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Superhero yang Kuno
1216      792     1     
Short Story
Ayahku Superheroku
Pulang Selalu Punya Cerita
890      617     1     
Inspirational
Pulang Selalu Punya Cerita adalah kumpulan kisah tentang manusia-manusia yang mencoba kembalibukan hanya ke tempat, tapi ke rasa. Buku ini membawa pembaca menyusuri lorong-lorong memori, menghadirkan kembali aroma rumah yang pernah hilang, tawa yang sempat pecah lalu mengendap menjadi sepi, serta luka-luka kecil yang masih berdetak diam-diam di dada. Setiap bab dalam buku ini menyajikan fragme...
Take It Or Leave It
6030      1977     2     
Romance
"Saya sadar...." Reyhan menarik napasnya sejenak, sungguh ia tidak menginginkan ini terjadi. "Untuk saat ini, saya memang belum bisa membuktikan keseriusan saya, Sya. Tapi, apa boleh saya meminta satu hal?" Reyhan diam, sengaja menggantungkan ucapannya, ia ingin mendengar suara gadis yang saat ini akhirnya bersedia bicara dengannya. Namun tak ada jawaban dari seberang sana, Aisyah sepertinya masi...
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...