Dari awal memang sudah ada yang aneh dari sikap gadis itu, apalagi sebelum dia terjatuh karena kulit buah warna oranye di jalanan kompleks perumahan mewah hari itu. Dia bertanya padaku, “Nate, apakah kau membenci manusia?”
Meski begitu, seharusnya prolog ini, prolog penghancur minggu suciku itu, dimulai di pagi harinya setelah aku kembali dari dapur mencuci mangkok dan sendok, lalu mengenyakkan diri di sofa ruang televisi.
Televisi menyala menampilkan acara kartun minggu pagi. Remote berada dalam kekuasaan Rain, kakak perempuanku, duduk melipat kedua kaki di sofa sambil mengupas buah jeruk. Semua orang di rumah tahu Rain maniak kartun, tapi aku baru tahu kalau kebiasaannya ternyata buruk sekali.
“Kau makan jeruk pagi-pagi begini?” tanyaku.
“Apa masalahmu?” Nada bicaranya ketus sekali. “Kalau kau mau, ambil saja.”
Rain melirik setumpuk buah jeruk dalam keranjang di atas meja rendah di depan kami.
“Nanti ususmu meleleh,” komentarku.
Rain mengisi mulutnya dengan sekeping jeruk dan mengunyah-ngunyah dengan santai. Lalu melempar setengah bagian yang dikupas padaku. “Itu Nate, makan. Biar ususmu juga ikut meleleh.” Dia terkikik lalu menancapkan pandangannya ke layar televisi.
Aku meletakan jeruk itu di meja, lalu meraih buku. Di kovernya yang terang, tertulis sesuatu tentang astronomi. “Rain, sejak kapan kau punya minat pada hal semacam ini?” tanyaku, saat membuka halamannya asal-asalan. Selagi aku masih setengah membaca tentang Equuleus (anak kuda), Crux (salib), dan Sagitta (arrow), Rain merebut buku itu dari tanganku. “Jangan pegang-pegang, asam di tanganmu bikin kertasnya rusak.”
Kecewa, aku menghempaskan punggung ke sandaran sofa. Napsu makanku masih besar, tapi aku malas bergerak. Toples biskuit di meja tidak hanya berhasil memecah ludahku, tapi juga menghasut kakiku untuk bergerak menjangkunya. Begitu jempol kakiku berhasil menyentuh kaca toples itu, sudut mataku sekilas menangkap ada yang kuning melayang di udara.
Plap! Kulit jeruk mendarat di pipi kananku.
“Kau itu sopan sekali, Nate. Pakai tanganmu!”
Aku cengengesan. Suasana hati Rain pagi ini sedang tidak baik. Mungkin salahku juga sedari tadi terus menguji kesabarannya.
Saat itulah bel pintu dari mimpi burukku itu berbunyi. Bahkan, saat aku melangkah untuk membukanya, aku sama sekali tak bisa meraba bahaya seperti apa yang ada di baliknya, dan ada pada tingkat yang bagaimana kekacauan yang harus kuantisipasi.
Sementara seorang gadis berdiri di depanku, udara dingin terasa mengalir di punggungku. Dia bukan hantu atau alien. Tukang kredit atau penagih utang dan semacamnya. Dia hanya manusia biasa, dengan iris hitam dan ekor mata lentik. Kulit wajahnya bersih terawat dan bibir tipis natural merah muda.
Dan bibir itu tersenyum padaku.
Aku meneguk ludah.
Celaka.
Dia gadis yang kemarin, yang memaksaku melakukan hal yang sia-sia. Gadis yang pasti akan membuat hari mingguku ini kacau ke tingkat maksimal yang tak pernah terpikirkan.
“Selamat pagi, Nate,” sapanya.
Aku diam saja, sampai dia menggembungkan pipi dan sudut mataku menangkap kaki kanannya bergerak. Aku tak mau terkena rasa sakit itu lagi. Jadi aku memaksa keluar suaraku yang tersekat. “Pa-pagi. Bagaimana kau bisa tahu alamat rumahku?”
“Tidak hanya rumah, aku juga tahu nomor ponsel dan alamat emailmu.” Lalu dia memandangi tubuhku yang sekarang dibalut sweater bertudung dan celana bola. “Kau belum siap-siap?”
“Siap-siap untuk apa?”
Gadis itu mendesah. “Kan, aku sudah bilang kemarin. Kau harus menemaniku mengantarkan tas ini.” Dia mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah tote bag.
Aku masih ingat dengan jelas, tapi aku masih tidak percaya kalau gadis ini benar-benar datang, bahkan sampai sekarang aku belum tahu siapa namanya.
“Kau tidak ingat?” tanyanya. “Aku kan sudah bilang di depan perpustakaan kemarin, aku akan menjemputmu ke rumah pagi ini.”
“Kau juga tidak ingat, kalau kubilang kemungkinannya hanya setengah-setengah,” sahutku.
“Tidak masalah.” Dia mengepalkan tangannya bulat-bulat di udara. “Satu banding sejuta pun, pasti akan aku lakukan. Kita harus tetap semangat!”
Satu banding sejuta?
Sementara wajah gadis itu bersinar seterang matahari, wajahku pasti berubah jadi kelabu-masam. Saat aku mati-matian memikirkan cara untuk menghindari, bencana kedua datang dari belakang, menghantam punggungku, “Siapa itu?” tanya Rain.
“Te—“ Man, aku melanjutkan dalam hati karena tak tahu harus menyebut gadis ini apa. Dia belum memperkenalkan dirinya dan aku tak ingin berteman dengannya. Terlebih lagi, selama satu tahun aku bersekolah di Akademi Riverwood aku tidak punya satu teman pun.
Aku berbalik dan mendapati Rain menatap kami dengan minat kentara. Dia menatapku dengan cengiran jahil setelah membawa tatapnya dari gadis di belakangku. “Apa?” tanyaku, dan suaraku terdengar lebih ketus dari yang kuniatkan.
“O.... teman, ya.” Suasana hati Rain jadi meningkat lagi. Dia bersenandung panjang-panjang dan itu terdengar menjengkelkan sekali.
Ya Tahun, aku begitu benci Rain melakukan itu, terlebih saat berbalik seraya bergumam, “Ini peristiwa besar. Sebaiknya ibu harus tahu.”
Kacau sudah, saat Ibu tahu aku mengundang seorang gadis cantik ke rumah, pasti aku akan jadi bahan olok-olok keluarga di meja makan selama sebulan.
Saat aku berbalik dan menatap gadis itu lagi, tanpa sadar aku sudah mendesah. Dia, Rain, dan ibuku, kurasa cocok duduk bersama di meja makan, dalam artian mereka sama-sama menjengkelkannya.
*****
Ok. Sekarang kita kembali saat gadis itu terjatuh dan dia berseru, “Jahat!” Lalu menepuk-nepukkan telapak tangannya yang kotor oleh debu. Dia menengadah padaku dengan wajah marah. Aku datang mendekat, “Apa salahku?” tanyaku.
“Kau itu dingin sekali jadi manusia, Nate. Aku ini cewek, dan baru saja terjatuh. Setidaknya tunjukkan sedikit rasa pedulimu.”
“Salahmu sendiri kenapa berlari.”
Disinari oleh cahaya matahari yang menyengat dari atas kepala kami, pipi gadis itu menggembung dan semakin memerah. “Kau itu, ya! Kau dingin sekali. Kau itu manusia atau robot? Suka manusia atau tidak?”
Lagi-lagi pertanyaan aneh itu. Aku tak berniat menimpali dan hendak melangkah lagi. Akan tetapi, gadis itu meraih pergelangan tanganku, menjadikannya tumpuan berat badannya saat berdiri. Tubuhku sedikit tertekuk, tapi aku berhasil meluruskannya lagi sekaligus menarik gadis itu.
“Terima kasih,” katanya. Ekspresi marahnya lebih cepat mencair dari yang kuduga.
Kami berdiri berdampingan dan tinggi kami hampir sama. Untuk perbandingan saja, tinggiku normal untuk remaja seusiaku. Dia menyampirkan rambut ekor kudanya ke bahu yang lain, menepuk-nepuk bajunya untuk menghilangkan debu, lalu merukuk sedikit untuk membersihkan celana panjangnya.
Dari sudut manapun, dia tampak anggun. Seperti putri dari keluarga bangsawan. Namun itu semua hanya omong kosong. Gadis ini adalah bukti kebenaran dari pepatah: jangan menilai buku dari sampulnya—yang terkenal itu. Keanggunan hanyalah kesan pertama yang membalut tubuhnya dari luar. Mengelabui mata dari sifat gadis ini yang sebenarnya.
“Ada apa?” tanyanya saat aku memandangi karena merasa ada yang aneh dengan pakaiannya sekarang.
“Bajumu,” sahutku.
Gadis itu melirik tubuhnya sendiri. Melirik seutas tali di kerah bajunya yang ikatnya terlepas. Dari sana tulang selangkanya yang putih terlihat, serta sedikit bagian yang lain. Dia buru-buru menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
“Nate, apa yang kau lihat?” tanyanya. Bola matanya mengeras padaku, lalu dari mulutnya meluncur kata-kata yang membuat telingaku panas. “Otak kotor.”
Jujur saja, aku memang melihatnya sedikit dan itu kemujuranku, tapi bukan itu yang ingin kusampaikan. Tapi aku tak ingin berdebat dan memilih kembali berjalan.
Aku terus melangkah dan tak tahu arah. Selangkah demi selangkah sambil memandangi jalanan beton di bawah kakiku, dan merasakan panas matahari menikam kepala dan tengkukku sambil dibuntuti gadis itu. “Nate, jawab pertanyaanku tadi,” katanya. Aku diam saja, tapi dia tak menyerah dan bertanya lagi, “Kenapa kau tidak mau berteman dengan orang lain?”
“Bukankah sudah kuberikan jawabannya kemarin,” sahutku.
“Apa kau benci manusia?”
“Tidak.”
“Kalau begitu siapa namaku?”
“Aku juga tidak tahu.”
“Jadi benar kau benci manusia.”
Astaga. Aku tidak mengerti lagi dengannya. Padahal matahari sudah terlalu terik membakar otakku, dan isi kepalaku semakin mendidih lagi dengan pertanyaan tak berharga itu. Dari tadi itu sangat mengganggu. Seakan terdengar filosofis, tapi tidak sama sekali.
Aku berhenti dan menatapnya. “Dari mana kau belajar silogisme bodoh itu?” tanyaku.
“Itu bukan silogisme, tapi tollens.”
“Uh, terima kasih.”
“Soalnya kau tidak tahu namaku.”
“Memangnya kau itu sangat populer di sekolah? Kau itu artis? Bintang besar? Putri pemilik sekolah, atau apa?”
Gadis itu tertawa. “Semua orang di sekolah tahu siapa aku. Semua orang di sekolah tahu siapa Nate. Tapi hanya satu orang di sekolah yang tidak tahu dirinya terkenal dan tidak kenal siapa aku.”
“Lalu, apa hubungannya dengan namamu ini dan membenci manusia?”
Gadis itu kembali melangkah dan aku mengikutinya.
“Nama adalah awal dari sebuah hubungan. Seandainya seseorang membenci atau menyukai orang lain, dia akan mengingat namanya dahulu, baru memikirkan wajahnya.”
Aku diam saja. Raut kebingungan pasti tergambar jelas di wajahku, karena itu buru-buru gadis itu menambahkan, “Maksudku, nama itu membuktikan keberadaanmu di antara manusia.”
Pernyataannya berbelit-belit. Logika dari pemikirannya sangat aneh dan tak bisa kupahami. “Kau membuat otakku jadi ikut berkerut,” komentarku.
“Nate, kita ini sekelas.”
Aku mengerjap terkejut padanya. “Aku baru tahu. Aku tidak melihatmu saat homeroom. Dan dimana kau duduk selama ini?”
Gadis itu tersenyum dan aku tidak mengerti apa artinya. Tahun ajaran baru masih seminggu berjalan, jadi wajar-wajar saja jika aku tidak bisa ingat semua wajah dan nama anggota kelasku. Selain itu, Akademi Riverwood memiliki sembilan ribu siswa. Dan aku bukanlah orang aneh yang punya banyak waktu luang mengingat semua wajah dan nama mereka satu persatu.
“Kau selama ini hidup dalam kepompongmu sendiri, Nate.”
“Iya,” sahutku, “dan aku tidak suka berbagi kepompong hangatku dengan orang asing.”
Gadis itu tergelak. Dia berlari dan berhenti di depanku, menghadang langkahku seakan-akan ada yang penting lagi di dunia ini. “Ingat namaku baik-baik, Nate. Aku Mei, Hortensia Mei.”
“Oh?”
Sudut bibir gadis itu terangkat cepat. “Kau sudah ingat?” tanya, dan suaranya itu terdengar diisi dengan banyak harap.
“Tidak,” sahutku sekenanya.
Senyum dan bahu gadis itu melorot jatuh. Aku melangkah melewatinya tepat saat suara dengusan keras terdengar. Dia mungkin sangat kesal, karena itu dia berteriak dari balik bahuku, “Awas kau Nate, akan kubuat kau selalu mengingat namaku!”
Kami sudah berjalan lebih dari setengah jam dan masih tak tahu arah. Ubun-ubunku terpanggang, pergelangan kakiku berdenyut-denyut. Bodoh sekali aku mau melakukan semua ini. Sekarang aku baru menyesalinya, mengutuk segala kesialanku di Senin yang lalu. Kalau tidak, aku tidak akan bertemu dengan gadis aneh yang suka mengedepankan kehendaknya ini.
“Hari ini dan komplek perumahan ini sama anehnya,” komentarnya.
“Oh, bisakah kau masukkan dirimu dalam hitunganmu itu?”
“Hari ini, kompleks ini, dirimu, dan aku, sama anehnya.”
“Oi,” protesku, dan itu tak berhasil. Gadis itu lanjut mengomel, “Sepanjang jalan kompleks ini tidak ada satu pohon pun. Aku lelah, ingin berteduh, bahkan angin pun tidak bertiup. Dan lebih aneh lagi, kita berjalan dengan riang gembira di bawah cuaca yang terik ini.”
Oh, yang benar saja. Apa wajahku ini terlihat sangat riang sekarang?
Namun, untuk pernyataannya kalau tidak ada satu batang pohon pun di jalan kompleks perumahan ini aku setuju. Sejak memasuki gerbang tadi, nyatanya memang tidak ada satu pohon pun yang kami temui.
“Uh, aku kuyup dengan keringat,” ujarnya. “Kenapa hanya aku yang berkeringat dan kau tidak?”
Saat aku meliriknya dengan ujung mataku, gadis itu sedang mengibas-ngibaskan bajunya. Salah sendiri kenapa memakai pakain dengan warna gelap seperti itu di tengah cuaca sepanas ini.
Saat aku menoleh ke samping gadis itu sudah tidak ada. Langkahnya tertinggal di belakangku. Mungkin saja ini hari keberuntungannya dan menemukan sekeping uang koin yang terjatuh. Menyadari hal itu, aku berbalik. Dia berjarak lima langkah dan sedang berdiri kukuh seperti patung, menghadap sebuah rumah di depannya.
“Ada apa?” tanyaku.
Gadis itu masih diam, bahkan setelah aku mengulanginya tiga kali dan mendekat. Saat aku mengibaskan telapak tangan di bidang pandangnya, dia tetap seperti itu. Jadi aku menyentil lengannya. Gadis itu terperanjat.
Dia menghalangi tubuhnya dengan kedua lengannya. Satu lengan di wajah dan satu lagi dada. Itu reaksi yang berlebihan. Seakan-akan aku adalah penyamun yang menghadangnya di jalan setapak kecil, dan hanya akan dibiarkan pergi setelah memberikan sesuatu sebagai ganti.
Dengan bibirnya yang bergetar gadis itu bergumam, “Akan aku ambil...”
“Apa maksudmu?” tanyaku.
Gadis itu menurunkan tangannya lalu mengelus dada. “Aku kira kau siapa tadi?”
“Apa yang sedang kau lihat?” Aku menoleh ke arah rumah. Dari sela pagar, kulihat banyak bunga tumbuh terawat di pekarangan. “Apa kau suka bunga?” tanyaku.
Gadis itu mendelik, seakan-akan yang kulontarkan itu adalah pertanyaan bodoh. Maksudku, memangnya ada di dunia ini perempuan yang tidak suka bunga?
“Ya,” sahutnya. “Nate, apa kau tahu Hortensia?”
“Itu juga nama bunga?”
“Itu juga namaku. Itu bunga yang sangat cantik, Nate.”
Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi aku menutup mulutku lagi. Gadis itu mengamatiku dan menatapku lekat-lekat, seolah menungguku bersuara.
“Apa?” tanyaku.
“Apa?” ulangnya. “Sepertinya tadi kau mau mengatakan sesuatu.”
“Tidak kok, hanya perasaanmu.” Aku mengibaskan tangan.
“Nate, jangan bohong!”
“Iya. Aku mau bilang, bunga cantik itu mungkin saja tersinggung karena namanya dipakai olehmu.”
“Nate!” Gadis itu berseru dan aku mati-matian menahan senyum, dan setelahnya, mati-matian menahan sakit karena gadis itu menginjak ujung sepatu sambil memelotot.
“Agh! Sakit! Berhentilah menginjak kakiku!”
Aku protes dan gadis itu semakin menekannya, lalu berlari mendahuluiku. Aku menatap ekor kuda yang berayun di punggungnya dengan mata jengkel.