Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bunga Hortensia
MENU
About Us  

Kami memutuskan berhenti sebentar di sebuah taman, menanyakan alamat pada wanita yang sedang kerepotan dengan anak kecil dalam gendongannya. Saat wanita itu menjelaskan dengan telaten, anak itu menangis lebih keras lagi.

“Yosh, yosh, yosh....“ Dia mengusap kepala anak kecil itu dengan lembut. Secara ajaib anak itu terdiam, lalu mengangkat wajahnya dari bahu ibunya, melirik gadis itu dengan tatapan malu-malu.

“Nah, ada kakak cantik. Clara jangan menangis lagi, ya,” kata si wanita.

Gadis itu membusungkan dadanya, melirikku dengan ujung mata. Dia terlihat sangat bangga dipuji cantik dan ingin pamer. Dasar narsistik.

Aku mengempaskan pantatku di bangku gazebo dan meletakkan tote bag yang kubawa di meja.

“Nah, jangan menangis lagi, ya.” Gadis itu mengacungkan telunjuknya padaku tanpa menoleh. “Kakak itu katanya suka menggigit.” Si anak kecil mengangguk.

Aku lalu melirik ke langit. Sekarang langitnya sudah ditutupi awan putih. Meski begitu udara masih terasa menyengat karena angin tak juga berhembus. Sudah seperti dalam sauna saja. Membuat Ttenggorokanku yang kering jadi terasa makin perih oleh gejela dehidrasi. 

Anak kecil itu kembali merengek. “Balon....”

“Ada apa dengan balonnya?”

Aku menengadah dan menemukan ada balon hitam melayang di langit-langit gazebo.

“Semua balonnya meletus bersamaan dengan cara yang aneh,” sahut si wanita.

“Maksudnya, aneh bagaimana, Buk?” Suara gadis itu terdengar ragu-ragu.

“Semua balon meletus serempak. Tidak hanya sekali tapi dua kali.”

Saat aku sibuk mengibas-ngibaskan ujung bajuku mencari kesejukan, tiba-tiba tanganku digenggam dan aku ditarik untuk berdiri. Karena begitu tiba-tiba, aku jadi linglung.

“Nate! Bukankah semua ini aneh?”

“Hah?”

Memang apa masalahnya dengan balon yang meletus? Semua balon juga meletus. Sangat pentingkah fenomena itu dan harus mengabaikan waktu istirahat seseorang yang singkat setelah dipaksa dengan egois berjalan begitu jauh?

Saat aku mendecak setelah berpikir seperti itu, gadis itu menatapku dengan pupil melebar. Wajahnya berseri-seri dipoles keingintahuan. Ah, inilah yang kubenci darinya.

“Semua balon juga akan meletus.”

Aku berusaha mengecilkan masalah. Menarik tanganku yang masih dikuasainya lalu kembali duduk. Aku tak heran lagi dengan sifatnya yang tidak paham konsep jarak antara laki-laki dan perempuan.

“Tapi, Nate.” Gadis itu berkeras. “Ini terjadinya dua kali. Ini tetap aneh. Ini sebuah misteri.”

“Tidak ada yang aneh. Tidak ada misteri. Aku tidak melihat apa yang perlu diributkan.”

Aku melirik si wanita yang duduk di bagian lain gazebo. Dia lagi meluruskan lehernya meneguk minum. Air di botol itu terlihat segar. Aku ikut menelan ludahku tiap kali melihat tenggorokannya bergerak. Setelah selesai, dia memberikan botol minum pada Clara. Begitu Clara selesai, si wanita langsung mengambil botolnya. Botol yang tadinya bening kini jadi buram.

Yeah, rasanya menyebalkan. Aku jadi ingin pulang sekarang juga.

Gadis itu membawakan benang dari balon hitam itu ke tanganku. “Coba perhatikan, Nate,” pintanya.

Aku mengambil benangnya. Ada sebongkah batu terikat pada bagian bawah benang sebagai pemberat. Di batu pemberat terdapat benang yang lain. Totalnya ada enam helai, dan masing-masing ujungnya terdapat sisa bagian balon yang meletus. Balon-balon itu terdiri dari warna kuning, merah, hijau, putih dan dua warna merah muda. Benang-benangnya agak kusut, tapi masih mudah diurai. Aku menarik satu benang. Panjangnya setengah dari panjang benang balon hitam yang tidak meletus.

Saat aku mengangkat wajah, kutemukan gadis itu yang sedang memasang ekspresi penuh harap dan menahan napas. “Tidak ada yang aneh,” kataku lagi. Bibir gadis itu jadi meruncing, raut kecewanya terlihat menyedihkan.

“Begitu, ya,” sahutnya lemas.

Aku mengembalikan benangnya dan gadis itu meraihnya. Dari jarak sedekat ini, aku baru sadar dengan keberadaan gelang karet yang melingkar di tangannya. Gelang itu terlihat kontras dengan warna kulitnya yang mulus dan terlihat cocok dengan pakaian blouse yang dia kenakan hari ini.

Gadis itu berbalik, melangkah ke arah si wanita seraya bertanya, “Buk, bisa ceritakan pada saya kenapa balonnya bisa meletus?”

“Hm...” Wanita bergumam menatap udara kosong, sedang berusaha mengingat-ingat.

Dia lalu berkata seperti ini.

*****

Hari ini, ibuk sama suami pergi ke CFD. Ibu sama Clara pulang lebih karena Bapak katanya ada keperluan sebentar. Sebelum pulang, ibuk sempatkan singgah sebentar di supermarket beli buah. Clara suka buah. Setelah belanja, Ibu duduk sebentar di kursi luar supermarket, mengupas buah, lalu jalan lagi.

Cuaca hari ini sangat panas, ya? Ibuk juga terlupa membawa payung. Saat berjalan melintasi pertokoan, tepat di pintu gerbang selatan. Oh, iya, kalian berdua masuk dari gerbang mana? Oh, gerbang selatan. Jauhnya? Jaraknya ke sini sekitar tiga kilometer, lho. Komplek ini besar, jadi gerbang masuknya ada empat; di utara, timur, selatan dan utara. Oh, maaf, saya jadi bicara yang tidak penting. Sampai mana ya tadi? Oh, iya, sampai gerbang.

Tepat di depan pintu gerbang selatan ada penjual balon. Clara merengek minta dibelikan. Jadi ibuk belikan. Tadinya, ibuk cuma berniat membeli satu balon, tapi tiba-tiba ibuk berubah pikiran, jadi ibu beli tiga lagi. Ibu pegang balon dan kantong belanjaan dengan tangan kanan sambil menggendong Clara dengan tangan kiri. Kira-kira baru dua puluh meter memasuki gerbang, mata ibuk tiba-tiba kelilipan. Kayaknya kemasukan debu. Sudah dua bulan tidak hujan, jalanan jadi kering, jadi debu banyak berterbangan.

Lalu terdengar suara letusan balon. Ibuk kaget. Balonnya meledak. Ibuk pikir itu agak aneh. Kok bisa tiga balon meletus sama-sama? Tapi ibuk pikir mungkin hanya kebetulan saja. Hanya tersisa satu balon yang tidak meledak. Clara menangis, jadi saya membeli tiga lagi sebagai ganti. Awalnya ibuk ingin protes, kenapa kualitas balonnya jelek begini. Tapi karena merasa tidak enak, jadinya  tidak jadi.

Kalau yang kedua? Hmm... ah, benar, kalau tidak salah di sekitar tempat Kakak Cantik terjatuh tadi. Di sana tiga balon yang ibuk pegang meletus lagi. Meledaknya juga serempak. Di situlah ibuk merasa ada yang aneh.

Karena balonnya meledak Clara jadi merengek terus. Ibuk tidak mau buang-buang uang. Lalu berteduh di sini.

*****

Selesai bercerita, si wanita mengemasi barang-barangnya di bangku gazebo ke dalam tas, berpamitan, lalu pergi sambil menggendong Clara. Aku melirik balon hitam yang terbang rendah di atas kepala mereka.

Aku menekur, memijit pelipisku.

Ada roda gerigi yang terasa berputar dalam kepalaku. Tanpa sadar aku tersenyum. Aku sudah paham. Jadi seperti itu yang terjadi.

Saat aku mengangkat wajahku lagi, seketika rasa tak nyaman membungkusku seperti asap.

Gadis di seberang sana sedang memandangku dalam-dalam.

“Nate, kau tahu sesuatu, kan?” tanyanya.

Aku berusaha bersikap sebiasa mungkin. Menengadah untuk memandangi langit lalu berkata, “Tidak, tidak tahu,” dengan nada sedatar mungkin.

“Bohong! Lalu kenapa kau tidak berani menatapku.”

“Oh, begitu? Jadi kau pikir, jika seseorang sedang berbohong, mereka jadi tidak berani melakukan kontak mata dengan lawan bicara mereka?”

“Itu sudah rahasia umum, Nate.”

“Itu salah besar. Fakta psikologisnya berkata lain.”

“Ayolah, Nate. Aku tahu kau tahu sesuatu.” Aku diam saja, lanjut menekuni awan di langit. Mengabaikannya ketika dia memohon lagi. Lalu tiba-tiba, gadis itu terdiam sebentar, lalu merengek seperti anak kecil yang minta dibacakan dongeng untuk tidur. “Nate.... aku penasaran.”

Begitu aku menatapnya lagi, gadis itu masang wajah memohon seperti anak kucing. Dan faktanya, aku benci kucing. Aku tidak tahu kenapa dia begitu berminat dengan sebuah misteri, dan kejanggalan yang di mata orang lain tidak ada artinya. Seolah baginya, semua itu adalah serpihan kayu di meja belajar atau lapisan cat yang terkelupas di dinding kamarmu, dan kau tak bisa menahan dirimu untuk tak mempreteli atau mencongkelnya.

Gazebo ini berbentuk segi enam. Ada meja bulat di tengah, dan bangku kayu di sekeliling meja tanpa sandaran. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya—di seberang sana—ke sebelahku. Menatapku dari samping lama-lama. Meski sudah berusaha untuk tak acuh, tapi kalau terus-terusan ditatapi seperti itu aku juga akan risih. Kesunyian menyelimuti kami hingga rasanya membuatku sesak napas.

Aku mendesah. “Bukannya kemarin kau bilang, kalau kau salah satu murid terpintar di sekolah?” tanyaku.

Gadis itu menggeleng. “Aku tidak ahli melakukan hal semacam ini. Mengingat dan memproses itu dua hal yang berbeda, Nate.”

Aku menelan ludah kuat-kuat. “Baiklah, akan kubantu kau memprosesnya, dan berhentilah menatapku dengan mata laser itu!”

“Benarkah?”

Wajahnya berubah cerah, pupil matanya tampak membesar menunjukkan rasa ingin tahunya yang membuncah. Dengan wajah seperti itu, lebih mudah menilainya sebagai gadis yang merepotkan ketimbang gadis yang manis.

“Tapi aku haus,” ujarku.

“Aku punya solusinya.”

“Kau punya minun? Kenapa kau tidak mengeluarkannya dari tadi?” protesku.

“Karena kau tidak tanya.”

Dia meraih tote bag di meja dan mengeluarkan botol air mineral dari sana. Airnya bening dan terlihat sejuk. Sesuatu yang kubutuhkan untuk menyiram tenggorokanku yang terbakar. Aku meraih botol itu, tapi gadis itu menjauhkannya dengan cepat. “Tidak boleh,” katanya.

“Aku kan sudah janji.”

“Sekarang bantu aku dulu, baru nanti aku berikan.”

“Aku haus. Sekarang dan nanti apa bedanya?”

Aku coba meraih botol itu lagi, tapi gadis itu menjauhkannya lebih tinggi, lalu disembunyikannya ke balik punggung.

“Jelas beda. Sekarang adalah pasti, dan nanti adalah masa depan penuh cabang. Kemungkinannya tanpa batas, Nate.”

Dahiku berlipat. Selain pandai memaksa, gadis ini juga lihai berdebat. Aku tidak punya cara lain. Aku haus dan ingin segera minum.

“Baiklah,” kataku. Mendengar aku menyerah, dia menyinggungkan senyum usil.

Dia mengeluarkan botol mineral dari balik punggungnya. Memainkannya sebelah tangan tepat di depan dagu, sementara satu sikunya terbenam ke permukaan meja kayu di depan kami. Dia duduk sedikit menyamping ke arahku.

“Menurutku,” katanya, mulai berteori, “balon itu meletus pasti karena udara panas. Udara di dalam balon itu memuai, karena balon itu tipis jadi tidak mampu lagi menahan tekanan udara, lalu... DUAR!” Dia lalu diam, menatapku seolah menunggu persetujuan. “Bagaimana?”

“Itu salah.” Aku membantah.

Gadis itu membentur-benturkan ujung botol ke ujung dagunya. Tindakan itu memaksa mataku terpaku lurus pada botol itu.

“Kalau balon-balon itu meletus karena udara di dalamnya memuai, maka balon yang tidak meletus itu yang seharusnya terlebih dahulu meletus,” jelasku.

Gadis itu mengernyit, lalu menarik bola matanya ke samping untuk berpikir. “Aku tidak paham.”

“Coba perhatikan persamaan balon yang tidak meletus itu dengan pakaian yang kau kenakan sekarang. Jawaban kenapa balon itu harusnya meletus terlebih dahulu karena memuai oleh udara panas ada di sana.”

“Hmmm....” Gadis itu bergumam. Seolah dimantrai, pandanganku selalu erat pada botol yang dipegangnya. Gadis itu melihat ke badannya dengan gestur berpikir. Dia mengangkat pandangannya dengan cepat, wajahnya bersemangat, lalu dia berseru, “Ha! Warna!” Namun, beberapa detik berikutnya, wajahnya kembali kusut dan membawanya miring ke samping. “Hm... tapi, apa hubungannya?”

“Keringatmu.” Aku memberi sedikit petunjuk.

“Seluruh tubuhku kuyup? O, jadi begitu... Keringat, panas dan warna hitam. Aku paham sekarang.”

Benar. Warna hitam adalah warna yang menyerap panas dengan sempurna. Alasan gadis ini berkeringat lebih banyak dibandingkan aku adalah pakaiannya yang berwarna gelap, sedangkan pakaianku sekarang berwarna terang. Kalau seandainya balon-balon itu meletus karena udara di dalamnya memuai, maka seharusnya balon yang hitam juga ikut meletus. Akan tetapi kenyataannya balon itu tidak meletus, bahkan lebih aneh lagi balon yang putih juga ikut meletus.

Gadis itu tiba-tiba menyilangkan kedua tangan di depan dada. Matanya menyipit saat bertanya, “Nate, apa sih yang sedang kau lihat dari tadi?”  

Aku menjilat bibirku, mengalihkankan pandanganku ke arah lain.

“Hm...bagaimana kalau, teori balon-balon itu meletus terkena ranting?”

“Itu salah besar. Apa kau masih ingat dengan perkataanmu sendiri saat kau mengeluh tentang kompleks ini?”

“Hmm... saat aku bilang hari ini, kompleks ini, dan dirimu sama anehnya?”

“Rasanya ada sesuatu yang hilang,” protesku.

“Aku bilang tidak ada pohon dan angin yang bertiup dan lebih aneh lagi kau berjalan riang gembira. Ah, benar juga, kompleks ini tidak ada pohonnya. Ng? Kalau begitu teori seandainya balon-balon itu meletus karena pasir yang diterbangkan angin juga tidak bisa diterima, tetapi kenapa Ibuk tadi bilang kalau sebelum balon-balonnya meletus dia kelilipan?”

“Entahlah,” jawabku datar.

“Nate!” Gadis itu berseru di telingaku, sampai pendengaranku jadi berdengung statis. “Kau kau kan sudah janji. Sepertinya tidak memberimu botol ini di awal adalah keputusan terbaik.”

Tenggorokanku sudah sangat terbakar. Aku kembali melirik botol di tangannya. Rasanya, aku sudah tidak sanggup lagi menahan gejala dehidrasi hanya dengan terus-terusan menelan ludahku sendiri.

Aku ingin minum air dalam botol itu. Baiklah, langsung ke intinya saja.

Balon-balon itu meletus karena anak kecil itu memainkan kulit jeruk, menekannya sehingga asamnya muncrat keluar.

“Hah?”

Gadis itu membeku, mungkin saja masih dalam proses mencerna. Tidak ingin melewatkan kesempatan itu, aku berhasil merebut botol minum itu dari tangannya.

Yeah, inilah yang kutunggu-tunggu. Akhirnya. Sebentar lagi tenggorokanku yang terbakar akan dialiri air, dahagaku akan terpenuhi.

Aku melepas segel plastik yang menyegel pentutupnya, memutarnya, lalu membawa bibir botol itu ke bibirku. Tadinya kuharap pederitaanku akan selesai. Namun harapan itu sering kali berkhianat. Pertemuan yang kuinginkan tidak terjadi.

Tangan kananku ditahan gadis itu. Air dalam botol pun tumpah, merembes dari telapak tangan hingga sikuku. Terasa sejuk.

“Tidak boleh!” 

“Aku sudah bantu sekarang biarkan aku minum,” kataku.

“Tidak, ya, tidak boleh! Kesimpulannya belum bisa aku terima. Jangan-jangan hanya kebohonganmu supaya dapat minum.” Mata gadis itu mengeras seolah menuduh.

“Aku tidak bohong,” kataku, “nanti kujelaskan. Aku haus, setidaknya biarkan aku minum dulu.”

Aku mencoba menggerakan tanganku tapi genggaman gadis itu malah semakin erat.

“Maaf, sekarang lepaskan tanganmu,” pintaku.

“Tidak boleh, tetap tidak boleh!”

Kini ekspresi gadis itu terlihat sangat serius dan aku pun menaruh curiga. Aku memutar sedikit pergelangan tanganku untuk memutar botol minum itu, memeriksanya.

“Apa air ini ada racunya?” tanyaku.

“Bukan. Ada aturan penting yang mengatakan kalau perempuan itu harus didahulukan.”

Aku bisa merasakan kening sedang berkerut lagi, kesejuta kalinya.

“Aturan egois macam apa itu? Bahkan aturan itu tidak tertulis.” Aku mulai kesal. “Bukannya perempuan itu selalu ingin disejajarkan dengan laki-laki? Kalau didahulukan, jadinya tidak akan sejajar, kan? Lagipula, aku tidak pernah memandangmu sebagai perempuan.”

“Bohong! Itu juga bohong!” Entah kenapa, tiba-tiba wajahnya saat memandangku berubah jijik, seolah aku adalah seonggok tahi. “Lalu, kenapa dari tadi kau selalu melihat ke arah dadaku?”

Tiga detik bibirku kaku. Hal bodoh apa yang dia katakan?

“Aku hanya tertarik pada botol minuman ini, itu yang kupandangi! ” Suaraku jadi lebih keras, mengikis tenggorokanku dan terasa perih. 

Percuma saja bersikeras dengannya, hanya akan memperparah gejala dehidrasiku. Gadis ini adalah tipe manusia yang tidak akan mau mengalah. Dia adalah badai yang tak bisa kuhentikan. Setelah kejadian kemarin, seharusnya aku sudah paham bagaimana sifatnya itu.

Setelah gadis itu selesai minum, dia menyerahkannya botol minum itu dengan wajah penuh cengiran. Aku meliriknya dengan enggan. Karena haus yang begitu sangat, aku langsung saja mempertemukan bibirku dengan bibir botol itu.

Satu tegukan pertama. Kerongkonganku yang terasa terbakar dipadamkan oleh aliran air.

Satu tegukan kedua. Aku merasakan kesejukan menjalar dari tenggorokan ke seluruh tubuhku. Dengan sudut mataku, kulihat gadis itu mengerjap kaget seolah menyadari sesuatu yang penting. Dia menyodorkan wajahnya ke arah botol yang kupegang.

Satu tegukan ketiga, dahagaku mulai terobati, kini gadis itu sedikit membuka mulutnya. “Selamat, Nate. Sepertinya kita....“

Jangan pedulikan.

Begitu teguhkan yang keempat, gadis itu melanjutkan, “...Baru saja berciuman secara tidak langsung.”

Sedetik itu juga, tanpa bisa kukendalikan, paru-paruku kembang kempis dan udara naik ke tenggorokan. Air yang harusnya jatuh ke lambung memanjat lagi naik ke hidung. Aku terbatuk-batuk. Rongga hidungku terasa perih.

“Hahaha....” Sementara gadis itu terkekeh senang, aku terus memelototinya dengan kesal.

Ketika minumku selesai dan rasa hausku lenyap (meski masih ada sedikit rasa perih di dinding hidung dan perasaan kesal karena candaan gadis itu yang tidak masuk akal) aku yang baik hati ini menjelaskan teoriku kepadanya karena aku adalah jenis manusia yang memegang kata-katanya.

“Pertama, wanita tadi hanya membeli satu balon, lalu membeli tiga balon lagi. Menerutmu apa alasannya?

“Supaya Clara senang.”

“Bukan. Dia bermaksud menjadikan balon-balon itu sebagai payung untuk melindungi Clara dari terik matahari karena tidak bawa payung. Dia menerbang rendah kan balon-balon itu di atas kepalanya, tapi ada satu balon yang lebih tinggi dari balon-balon yang lain dan itu adalah balon yang tidak meletus. Kau bisa buktikan dengan panjang tali balon yang tidak meletus itu lebih panjang dari yang lain.

“Clara sepertinya sedang memainkan kulit jeruk. Hipotesisku didukung oleh perkataannya yang mengatakan dia kelilipan sebelum balon itu meletus, itu bukan debu melainkan cairan asam dari kulit jeruk yang ditekannya. Cairan asam memercik keluar seperti efek pistol air, lalu mengenai tiga balon sedang melayang rendah.”

Aku berhenti di situ. Mengira gadis itu sudah paham. Namun beberapa detik setelahnya gadis itu bertanya, “Tapi dari mana jeruk itu berasal?”

“Apa kau tidak dengar, saat akan pulang wanita itu singgah terlebih dahulu di supermarket membeli buah. Pasti diantaranya ada buah jeruk.

“Tempat balon-balon yang kedua meletus adalah di tempat dimana kau terjatuh tadi. Kau terjatuh karena kakimu menginjak sesuatu berwarna oranye, kan? Itu adalah kulit jeruk yang dijatuhkan Clara. Aku makin yakin dengan hipotesisku ini setelah mereka minum. Di tangan Clara terdapat sisa cairan asam yang bercampur dengan keringat, lalu menyebabkan botol bening yang dipegangnya jadi memburam.”     

Mendengarkan penjelasanku, gadis itu terus mematung. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Setelah beberapa jenak, “Jadi begitu, ya... aku paham sekarang. Jadi alasan kenapa Ibuk itu tidak tahu kejadian yang sebenarnya, sebab dia menggendong Clara dengan mengarahkannya ke belakang.”

“Begitulah.’’

Gadis itu diam sebentar, lalu menatapku. “Terima kasih, Nate,” katanya. “Hari ini aku senang.”

Entah kenapa gadis itu terus tersenyum-senyum sendiri setelah itu. Kegirangan setelah mengetahui alasan balon-balon itu meletus.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kaca yang Berdebu
114      93     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Kacamata Monita
1275      565     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Je te Vois
812      540     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Solita Residen
1885      950     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...
Can You Be My D?
97      87     1     
Fan Fiction
Dania mempunyai misi untuk menemukan pacar sebelum umur 25. Di tengah-tengah kefrustasiannya dengan orang-orang kantor yang toxic, Dania bertemu dengan Darel. Sejak saat itu, kehidupan Dania berubah. Apakah Darel adalah sosok idaman yang Dania cari selama ini? Ataukah Darel hanyalah pelajaran bagi Dania?
Monologue
632      431     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Lepas SKS
184      159     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
Warisan Tak Ternilai
606      245     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Unexpectedly Survived
117      104     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Simfoni Rindu Zindy
791      564     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...