Beberapa jam sebelum pergi menuju ke stasiun, Mina menyiapkan segala hal yang mungkin akan dibawanya. Namun, begitu dia teringat tujuannya apa, dia tidak jadi membawa barang-barangnya. Lalu pergi menuju ke dapur dan mengambil sebilah pisau kecil dari sana.
Benda tajam itu masih sangat tajam, disentuh sedikit saja sudah membuat jarinya tergores. Mina tersenyum, merasa puas.
“Mina, kamu sedang apa?” tanya Lia. Hari ini Lia ada di rumah, tetapi Mina tidak memberitahunya akan melakukan apa saat pergi nanti.
“Aku cuman melihat ini agak asing di mataku. Tadinya aku kira ini bukan punyaku.”
“Oh, mungkin kamu lupa itu punya ibumu dan karena beliau sudah nggak ada, jadi sudah jarang dipakai.”
“Iya, benar. Aku juga tahu tentang hal itu.”
“Lalu buat apa kamu memegangnya? Letakkan seperti semula, Mina. Hati-hati nanti tergores.”
“Sudah terlambat,” ucap Mina yang kemudian membasuh luka goresan di bagian ibu jarinya.
“Ngomong-ngomong kamu akan pergi di jam segini?” Lia melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 1 malam.
“Ini masih agak awal. Aku akan pergi setelah satu jam lagi,” jawab Mina.
“Oh, ya sudah. Hati-hati ya.”
Dari semua benda yang berguna, hanya satu yang dia bawa dan itu adalah sebilah benda tajam yang berasal dari dapur. Sebelum kepergiannya, Lia meminta untuk ikut, tapi Mina menolaknya dan memintanya untuk menunggu. Tidak peduli meskipun Lia merengek, Mina akan tetap pergi sendirian menuju ke stasiun.
“Mina, coba jawab pertanyaanku ini. Apa kamu memang harus pergi?”
“Lia, aku sudah mengatakannya berulang kali padamu kalau aku akan pergi.”
“Pergi untuk apa? Jelaskan alasannya.”
“Aku ...hanya pulang kampung.”
Jawaban Mina sudah terdengar ragu, Lia jelas menyadari ada yang salah.
“Jangan bilang pergi mencari mereka? Atau jangan katakan kamu sudah menemukannya dan berniat balas dendam?” ujar Lia yang masih mengira-ngira meski firasatnya yang kuat juga berpikir seperti itu.
Mina cukup terkejut. Namun, juga tidak heran lagi karena Lia menyadari maksudnya. Terlebih setelah membawa benda tajam masuk ke dalam kantungnya.
“Mina, barang bawaanmu ketinggalan!” teriak Lia. Sayangnya Mina sudah pergi menjauh bersama seorang wanita yang mengantarnya pergi ke stasiun.
***
Berani menghadapi resiko tinggi, Mina yang hanya seorang gadis pun dengan cekatan mengarahkan ujung senjata tajam ke arah pria yang mendekatinya. Senjata itu disembunyikan dengan baik bahkan Hendrik sendiri tidak menyangka hal itu.
Reflek Hendrik juga cukup bagus, dia mampu menghindari bilah pisau lantas mencekik leher Mina dan mendorongnya hingga ke arah sudut jendela sambil menggenggam pergelangan tangan Mina yang masih memegang senjatanya.
“Tak kusangka kau menyembunyikan senjata di balik lengan bajumu, Mina? Aku khawatir jika tidak lengah maka tenggorokanku akan berlubang.”
“Kak Hendrik ...sendiri bisa melakukan ini kapan saja ...tapi kenapa baru bertindak sekarang?” Dengan suara serak dan hampir tidak bisa bernapas, Mina masih sempat tersenyum seolah mengejek.
“Kapan pun aku bertindak bukanlah urusanmu. Aku sendiri yang memutuskan garis keturunan pasangan Code demi mengubah pondasi negeri ini. Dengan begitu semua akan kembali seperti sedia kala,” tutur Hendrik.
“Aku sama sekali ...nggak paham!” Mina berniat ingin berteriak namun dirinya tidak bisa karena semakin lama tangan yang mencekik lehernya semakin kuat.
Senjata yang ada pada genggamannya pun terjatuh, Mina mengerang kesakitan dan mencakar tangan Hendrik karena kesulitan bernapas.
Keterbatasan fisik yang sudah jelas sangat jauh perbedaannya tetap membuat Mina bertekad melawannya.
Pria yang dulu pernah dia cintai kini telah mengarahkan taring padanya. Hendrik tanpa ragu membalas perlawanan dengan lebih sadis. Dia benar-benar akan melakukannya.
“Apa kamu tahu pasangan Code tidak seharusnya ada. Lagi pula mereka tidak seharusnya bertemu satu sama lain apalagi melahirkan anak seperti dirimu.”
Perkataannya yang sama sekali tidak lembut. Dia telah mencerminkan sosok penjahat yang selalu Mina ketahui di buku cerita. Ekspresinya marah dan benci, tenaga yang kuat namun tampak seperti sedang menahan diri.
Gadis itu terus memberontak, sekujur tubuhnya gemetar takut, air mata pun mengalir dan membasahi wajahnya yang putih. Kesadaran perlahan memudar seiring berjalannya waktu. Mina sudah berada di ambang batasnya.
Detik demi detik, Mina hanya terpikirkan satu hal bahwa mungkin hidupnya memang benar akhir di tempat ini. Namun, nyatanya sebuah keberuntungan masih berada di pihaknya. Hantaman roda di atas rel yang berliku dengan kecepatan tinggi membuat posisi Hendrik goyah untuk sesaat.
Mina memanfaatkan kesempatan ini dengan sengaja menendang kaki Hendrik agar terjatuh ke samping. Tangan kekar Hendrik akhirnya terlepas dari lehernya.
Dengan langkah tertatih-tatih hingga tersedak hingga batuk, Mina berjalan menjauhi pria itu. Sejauh mungkin hingga menuju ke gerbong pertama. Dia bersandar pada pintu, menghadap Hendrik yang jatuh tersungkur.
“Keberuntungan yang bagus. Kau memang anak yang punya keberuntungan bagus.” Bukan dengan niat memuji, jelas Hendrik sengaja mengejeknya.
Keberuntungan sesaat tak dapat terjadi secara berulang kali. Mina harus segera memikirkan sesuatu untuk melawannya. Dia melirik ke sekitar tetapi tidak ada apa pun di dalam gerbong selain kursi penumpang.
“Kak Hendrik rupanya memang sudah tidak sabar. Aku jadi semakin penasaran, kenapa tidak melakukan ini saat aku sedang sendirian waktu itu?”
Napas Mina masih tidak stabil, pandangannya pun masih buram sehingga sulit baginya jika ingin menyerang.
“Seharusnya ada banyak kesempatan di saat kita hanya berduaan tapi kakak lebih memilih tempat ini?”
Beberapa saat lagi akan tiba di stasiun pertama, tapi suara pemberitahuan yang biasa terdengar justru tidak ada. Waktu demi waktu berlalu, tangan Mina hanya mampu meraih pintu gerbong, dia akan berlari begitu pandangannya pulih dan tenaganya kembali terkumpul.
"Sakit. Tenaga orang ini jauh lebih besar dariku, aku bahkan kalah cepat darinya," batin Mina.
Guntur telah berada di stasiun pemberhentian kereta lebih awal, dia telah lama menunggu sampai akhirnya kereta tiba sesuai jadwal. Namun, hal aneh terjadi pada kereta itu.
Angin berderu bagai topan menerpa syal hitam yang menutupi leher pria berumur itu, kereta api melesat cepat. Tidak ada tanda-tanda akan berhenti apalagi melambat. Kereta melewati stasiun dan membuat semua orang heran sekaligus panik.
“Bukankah seharusnya kereta itu? Kenapa tidak berhenti? Apakah peronnya salah?”
Guntur pun terkejut karena tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini sementara Mina dan Hendrik masih berada di dalam kereta itu.
“Kenapa tidak berhenti?” Mina bertanya-tanya dengan heran. Dia melihat ke arah luar dari jendela dan memastikan seharusnya stasiun itu adalah stasiun pemberhentiannya yang pertama.
“Kamu kaget? Di semua gerbong nggak ada orang lain selain kita berdua di sini. Kenapa bisa berpikir kalau keretanya akan berhenti sesuai jadwal?”
Tidak hanya tidak berhenti, bahkan laju kereta api justru semakin kencang. Mina bertahan di posisi yang sama dari guncangan yang membuat kepalanya pusing dan nyaris terjatuh.
“Menyerahlah Mina. Kamu sudah tidak punya siapa pun lagi yang bisa membantumu. Seharusnya kamu ikuti perkataanku sejak awal, memberi salam perpisahan pada sahabatmu.” Hendrik menghampirinya lagi dengan langkah yang tidak stabil.
Karena guncangan kuat ini, baik Hendrik maupun Mina sama-sama tidak bisa berdiri dengan stabil apalagi berjalan.
Mina tertawa hambar sembari melihat ke sekitar setelah pandangannya pulih kembali. Dia berpikir, “Sungguh kereta maut yang menjadi kuburan kita berdua.”
“Belum tentu,” sahut Hendrik yang tersenyum.
Lagi-lagi senyuman yang terlihat mengerikan kembali ditunjukkan. Hendrik berjalan sedikit lebih cepat sambil berpegangan di setiap kursi penumpang. Sedangkan Mina bersiap untuk melarikan diri dari gerbong ini menuju ke gerbong pertama.
Di lain sisi Guntur dan beberapa rekannya mencoba untuk menghentikan kereta itu dengan menghubungi masinisnya. Namun, semua hal yang dilakukan oleh mereka itu sia-sia.
Kereta sudah dibajak, masinis yang mengendalikan kereta sudah berganti. Mina seorang diri harus berjuang. Di setiap kesempatan yang ada, Mina pun bergegas melarikan diri menuju ke gerbong berikutnya.
Bertahan di gerbong yang terus berguncang, Mina mengatur napas sedemikian rupa. Bergerak menuju ke gerbong paling depan. Saking tergesa-gesanya, Mina sampai terjatuh
Sosok dua orang yang familiar ada di gerbong masinis. Mereka terkejut sesaat begitu tahu Mina menerobos masuk.
“Aku sudah bilang, kakak tidak bisa mengurusnya dengan baik,” ucap Aldi.
“Benar. Kak Hendrik terlalu sombing. Meskipun dia hanya gadis biasa, tapi kita tidak boleh lengah karena dia adalah anak dari pasangan Code.” Albert menatap tajam. Tatapannya jauh terlihat mengerikan dibandingkan dengan Hendrik.
Tubuh Mina gemetar. Seperti sedang kedinginan, ketakutan atau pun gemetar karena amarah yang besar. Mina menatap kedua wajah itu lekat-lekat. Wajah mereka yang tersenyum mengejek dan memandangnya dengan jijik.
"Mereka semua ada di sini. Mereka semua ada di sini. Ayah, Ibu, dan Ema. Kalau aku bukan pengecut maka aku akan takkan ragu melakukannya," batin Mina.
Jantung berdegup lebih kencang, napasnya memburu begitu cepat, keinginannya tuk membalas dendam semakin membesar. Amarah besar tak dapat terkendali dengan benar. Mina seperti dirasuki oleh iblis. Iblis yang selama ini bersembunyi dalam hatinya muncul dan terus mendorong nafsunya.
“Ayolah, tunjukkan taringmu. Lakukan apa yang harus kau lakukan. Bunuh mereka!”
Hasutan demi hasutan, membuatnya bangkit setelah terjatuh. Dia berdiri seakan menantang. Pandangan yang tajam menyiratkan aura jahat muncul darinya membuat ketiga pria itu seketika bergidik merinding.
“Tiada kata maaf dariku!” seru Mina mengamuk.
Gadis itu setengah berlari dan mengincar belati yang ada di pinggangnya. Merebut belati itu lalu menggunakannya pada mereka. Mina mengayunkannya dengan sembarangan, tak menentu arah dan hanya sekadar membabi buta.
Namun, itu bukan berarti mereka tidak dapat mengatasi satu gadis kecil itu. Albert tanpa ragu melayangkan tendangan yang membuatnya terdorong ke arah pintu gerbong pertama lalu mengangkat tubuh mungil itu ke arah luar gerbong.
“Kalau aku menjatuhkanmu dari sini. Maka tidak ada lagi yang bisa menghalangi.”
Aldi hanya berpangku tangan dengan kening yang berkerut tanpa melihat mereka. Sementara Hendrik tercengang, ada sesuatu yang tidak beres padanya yang membuat dia merasa ketakutan saat melihat Mina dalam bahaya.
“Selamat tinggal, pengganggu.”
“Jangan!” Hendrik berteriak lantas mendorong tubuh Albert dan Mina hingga masuk ke dalam gerbong penumpang.